Rabu, 18 September 2013

Krisis Lagi

Krisis Lagi
Iman Sugema ;   Ekonom
REPUBLIKA, 16 September 2013


Selama enam bulan terakhir ini, nilai tukar rupiah dan pasar saham terus mengalami kemerosotan yang cukup tajam. Sebetulnya, fenomena ini bukanlah hal yang baru, para ekonom sudah cukup lama menyampaikan kekhawatiran tentang apa yang terjadi. Rupiah sendiri telah mengalami pelemahan sejak September 2011 sampai saat ini sebesar 30 persen. Hanya, pelemahan tersebut mengalami akselerasi baru sejak Juni yang lalu.

Apa sih yang sebetulnya terjadi? Indonesia sedang mengalami krisis neraca pembayaran! Harap dicatat, krisis yang dialami sekarang jauh berbeda dengan yang terjadi pada 1997. Jangan salah paham. Krisis neraca pembayaran terjadi ketika arus uang ke luar negeri terlalu besar untuk diimbangi oleh arus uang yang masuk ke dalam negeri. Permintaan valuta asing lebih tinggi dari penyediaannya.

Kalau Bank Indonesia tidak menutupi kekurangan pasokan valas, konsekuensinya adalah pelemahan nilai tukar. Maksudnya, pelemahan nilai tukar hanyalah sebuah simtom dari krisis neraca pembayaran. Simtom yang lainnya adalah berkurangnya cadangan devisa yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Itu karena BI harus terus-menerus menyediakan talangan valas untuk menghindari pelemahan nilai tukar yang sangat tajam.

Persoalannya sekarang adalah sampai kapan dan sejauh mana krisis ini akan merembet? Hanya ada dua skenario, yakni krisis segera berakhir atau kita berdarah-darah dalam jangka waktu yang cukup lama.

Krisis akan segera berakhir jika investor asing masuk lagi ke Indonesia secara besar-besaran dengan skala sekitar 50 miliar dolar AS. Kalau pemain dana jangka pendek menginvestasikan kembali uangnya di Indonesia, baik dalam bentuk saham maupun obligasi, pelarian modal yang selama lima bulan ini terjadi setidaknya akan terhenti. Harga saham akan bergerak naik kembali dan ini akan memberikan daya tarik untuk mengundang masuk jumlah dana yang lebih besar.

Biasanya, kalau ini terjadi dalam enam bulan, akan timbul kesan bahwa keadaan sudah jauh membaik. Yang paling kita khawatirkan adalah pemerintah tidak mengerjakan berbagai hal untuk mengatasi sumber utama terjadinya krisis, yaitu memburuknya neraca perdagangan dan beban utang luar negeri swasta. 

Neraca perdagangan memburuk karena laju impor lebih tinggi dibanding ekspor. Beban utang swasta membengkak karena swasta nasional terlalu rajin meminjam utang ke luar negeri dengan jangka waktu yang sangat pendek.
Bahkan, banyak perusahaan yang beorientasi domestik telah mendapatkan pinjaman valas dalam jumlah besar. Karena situasi ekonomi domestik sedang bagus-bagusnya dalam beberapa tahun terakhir ini, mereka menjadi lupa bahwa utang luar negeri sangat berbahaya bagi perusahaan yang tak hasilkan devisa.

Jadi, kalaupun rupiah akan dengan cepat mengalami penguatan kembali, kedua masalah tersebut harus segera diselesaikan. Kalau tidak, krisis dapat saja berulang kembali tahun depan. Daya tahan neraca pembayaran menjadi sangat bergantung pada aliran masuk hot money. Kalau uang panas tersebut tiba-tiba hengkang lagi, krisis mungkin terjadi lagi tanpa pemberitahuan.

Skenario yang kedua adaah krisis menjadi membesar dan merembet ke mana-mana. Kalau saja masalah nilai tukar ini tidak kunjung terselesaikan, mungkin akan terjadi panik yang kemudian memicu krisis yang lebih luas. Perusahaan yang berutang valas akan mengalami kesulitan likuiditas dan harus mencari valas yang harganya lebih mahal. Bisa jadi perusahaan- perusahaan tersebut mengalami apa yang disebut financial distress sehingga kemudian harus mengalami kebangkrutan. Kalau ini terjadi, krisis bisa jadi tidak terkendali. 


Keadaan bisa menjadi lebih parah ketika kabinet tidak lagi bekerja efektif karena meng hadapi pemilu. Bukan hanya yang menjadi caleg, melainkan juga menteri-menteri yang bukan dari partai akan sibuk mencari cantolan baru. Maklum, mereka harus cepat-cepat mengamankan posisi. Kita akan sangat berterima kasih kalau banyak menteri yang lebih mengutamakan tugasnya dibanding mencari posisi di pemerintahan akan datang. Terlebih, yang paling penting, skenario kedua ini mudah-mudahan tidak terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar