Rabu, 18 September 2013

Anatomi Ekonomi RI

Anatomi Ekonomi RI
Mukhaer Pakkanna ;   Peneliti CIDES dan Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta 
REPUBLIKA, 16 September 2013


Penguatan kurs dolar AS dalam tiga bulan terakhir menjadi pemicu rontoknya beberapa kurs mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini menjadi cermin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap ekonomi negara maju. Hanya karena adanya rencana kebijakan pelonggaran quantitative easing (QE) yang diumumkan the Fed AS pada Mei 2013, telah memicu external shock, rupiah terpental, inflasi meroket, dan defisit transaksi berjalan kian menganga.
Konsekuensinya, Indonesia menghadapi ketidakpastian ekonomi.

Goncangan itu diperburuk lagi oleh kondisi anatomi struktural dan kultural ekonomi Indonesia. Kondisi struktural, terkait rapuhnya kebijakan pemerintah dalam mengafirmasi pelaku ekonomi, terutama pelaku ekonomi rakyat. Pelaku ekonomi rakyat yang bergerak sebagai petani, nelayan, usaha kecil-mikro, dan lainnya dibiarkan merana dalam minimnya stimulus dan insentif. 

Sementara, kondisi kultural, terkait rapuhnya sikap mental (mindset) masyarakat menghadapi banjirnya laju importasi barang dan jasa. Masyarakat kelas menengah bawah sudah terbiasa bersikap instan, menjadi mangsa produk-produk asing. Bayangkan, nyaris semua supermarket top dunia telah merajai pasar-pasar dalam negeri dan menyuguhkan etalase produk asing. Sejurus dengan itu, sikap entrepreneurship, terutama kalangan muda, makin kendur sehingga inovasi menjadi barang langka. Kita pun menjadi bangsa budak.

Anatomi struktural
Efek goncangan eksternal yang titik episentrumnya dari rencana The Fed AS telah membuat kondisi sktruktural ekonomi Indonesia keropos. Laporan CNBC (6/9) menyebutkan, Indonesia dan India adalah negara yang paling terancam dibanding negara-negara emerging market yang lain. Bahkan, kondisi ekonomi Indonesia lebih rapuh ketimbang India. Kedua negara itu mengalami defisit transaksi berjalan yang akut. Tapi, harap diingat, Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya telah surplus tinggi dan mendadak terjerembap jatuh.

Defisit transaksi berjalan Indonesia menganga 4,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau senilai 9,8 miliar dolar AS (Rp 98 triliun) pada triwulan II 2013 dibandingkan pada triwulan sebelumnya 2,6 persen. Padahal, pada 2011, Indonesia sempat surplus 1,7 miliar dolar AS (Rp 17 triliun). Sementara, India, defisit transaksi berjalan diperkirakan makin berkurang dalam beberapa bulan ke depan setelah impor nonmigasnya mulai dikurangi seiring peningkatan ekspor. Bahkan, CNBC memprediksi defisit India akan berkurang jadi 3,7 persen dari PDB atau sekitar 68,2 miliar dolar AS (Rp 682 triliun), dari tahun lalu kisaran 4,8 persen.

Pemicu utama tekanan terhadap ekonomi Indonesia, yaitu tingginya kepemilikan asing di pasar obligasi. Hal ini memicu pasar keuangannya volatile terhadap capital outflow arus dana asing. Sebanyak 30 persen surat utang Pemerintah Indonesia dikuasai oleh asing, bandingkan dengan India yang hanya tiga persen atau terendah di Asia. Selain itu, laju importasi makin membengkak.

Ketergantungan yang tinggi pada produk pangan impor telah membuat pelbagai kebijakan dalam negeri menjadi limitatif. Rapuhnya kebijakan struktural, khususnya dalam mengafirmasi pelaku ekonomi rakyat, terutama yang bergerak di sektor pertanian, menjadi biang pemicunya.

Mengacu data BPS (2012), di Indonesia terdapat 44 persen petani dari total jumlah pekerja di Indonesia atau ekui valen 46,7 juta orang. Lebih dari 50 persen dari mereka, petani gurem dan buruh tani dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektare. Ini ekuivalen, 38 juta rumah tangga dengan kontribusi sekitar 15 persen dari PDB, dan merupakan tempat bergantung lebih dari 60 persen penduduk Tanah Air.

Besaran jumlah petani itu tidak simetris dengan kebijakan afirmatif-struktural yang diterima petani. Kebijakan proteksi, pemberdayaan, pendampingan, dan advokasi sangat minimalis. Mengambil kasus di Uni Eropa (UE), sepanjang dekade 2000-an, pemerintah memilih kebijakan afirmatif dan protektif kepada petani di negaranya. Jenis proteksi yang dilakukan, pengenaan tarif bea masuk (BM) yang tinggi, dan pemberian subsidi terhadap sektor pertanian. Misalnya, UE menerapkan BM beras sebesar 211 euro per metrik ton (MT) per kilogram. Jepang menerapkan BM beras sebesar 402 yen per kilogram. AS menerapkan BM beras sebesar 2,1 dolar AS per kilogram. Sementara itu, Indonesia hanya menerapkan BM beras sebesar Rp 430 per kilogram. Selain penerapan BM yang tinggi, subsidi negara maju terhadap sektor pertanian mencapai miliaran dolar AS.

Anatomi kultural

Bukan saja secara struktural rapuh, secara kultural pun masyarakat kita telah terbiasa hidup dalam budaya instan. Tingginya laju importasi produk barang dan jasa merupakan konsekuensi sikap mental masyarakat dan pelaku usaha yang kerap berada dalam comfort zone. Kelebihan masyarakat Cina adalah memiliki nasionalisme terhadap produk lokal. Survei McKinsey (2011) menunjukkan, orang kaya Tiongkok menyukai hal-hal yang berbau negaranya. Jika semua faktor setara, orang Cina memilih merek Cina. Demikian pula, kemajuan ekonomi Cina didorong semangat kerja keras dan inovasi yang tangguh. Kemajuan Cina merupakan hasil dari perjuangan panjang, tekun, dan pemerintahan yang tegas.

Demikian pula masyarakat Jepang, produk-produk asing begitu sulit dipasarkan, bukan karena hambatan masuk, melainkan dipicu kentalnya kecintaan masyarakat Jepang terhadap produk bangsa sendiri. Orang Jepang begitu sadar, kalau bukan bangsa sendiri yang mau menolong, lantas siapa yang mau menolong diri mereka. Di Jepang, produk untuk pasar dalam negeri justru dibuat oleh para produsen lebih unggul kualitasnya dibanding produk untuk ekspor. Rasa cinta konsumen dalam negeri tidak dikhianati dengan memberi produk berkualitas jelek.


Maka, dalam konteks ketidakpastian ekonomi nasional saat ini akibat external shock, termasuk ancaman perang Suriah, telah menjadi pelajaran untuk mengonsolidasi kekuatan struktural dan kultural ekonomi Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar