Minggu, 08 September 2013

Memberantas Buta Aksara

Memberantas Buta Aksara
Siti Muyassarotul Hafidzoh  ;   Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
SUARA KARYA, 07 September 2013


Tanggal 8 September diperingati sebagai Hari Aksara Sedunia. Peringatan ini bagi bangsa Indonesia sangat strategis untuk merumuskan kembali kebijakan negara terkait dengan kondisi buta aksara yang masih mendera rakyat Indonesia. Buta aksara sangat berpengaruh atas Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Tinggi rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama tinggi-rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia.

Angka buta aksara di Indonesia, menurut Kementerian Pendidikan Nasional, masih tinggi, yakni 4,8 persen dari jumlah penduduk. Itu setara dengan 8,5 juta jiwa. Tentu saja permasalahan itu memerlukan penanganan khusus berupa pemberantasan buta huruf. Perlu penanganan khusus karena selain jumlahnya masih banyak, juga 60 persen dari 8,5 juta jiwa tersebut adalah kaum perempuan. Saat ini ada 10 provinsi dengan tingkat buta huruf tinggi hingga di atas 10 persen. Provinsi itu, antara lain Papua, NTT, NTB dan Jabar serta Sulsel. (Kemendiknas: 2011)

Data ini menjadi fakta untuk membangun harapan akan optimisme merealisasikan pemberantsan buta aksara secara maksimal. Optimisme ini terkait problem buta aksara yang dicanangkan pemerintah tidak ada jaminan bahwa mereka akan melek aksara terus, karena terkait berbagai hal, sangat mungkin akan kembali buta aksara. Hal ini juga diakui Kemendiknas sendiri. Artinya, perlu kerangka kebijakan sistematis dan berkelanjutan dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang bebas buta aksara.
Agenda pemberantasan buta aksara dalam gerak kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini terkendala oleh beberapa hal.

Pertama, mereka berasal dari keluarga miskin. Kemiskinan seringkali menjadi kendala sangat praktis dalam upaya pembelajaran masyarakat. Mereka sibuk dengan agenda setiap hari dalam upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena sibuk dengan ritualisme kerja sehari-hari, mereka menganggap tidak penting lagi melek atau buta aksara. Bagi mereka, mengatasi masalah kemiskinan jauh lebih urgen di tengah balutan krisis multidimensi.

Kedua, mereka berada di daerah terpencil dan pelosok. Karena jauh dari pusat kebudayaan dan pusat peradaban, masyarakat menganggap diri mereka sebagai sosok inferior. Menjadi masyarakat terbelakang kemudian dipahami secara kodrati, sehingga upaya dan usaha pemberatasan aksara tidak begitu penting dalam agenda kemasyaratan, karena melek aksara belum mereka sadari sebagai bagian dari upaya penciptaan kemajuan dan kesejahteraan.

Ketiga, paradigma berfikir yang kalut membuat mereka tidak mempunyai motivasi belajar tinggi. Belajar sudah tidak menjadi prioritas kerja sehari-hari mereka karena menganggap sudah terlambat untuk belajar. Yang lebih tragis, belajar bagi mereka malah dianggap membuang waktu saja. Pola pemikiran yang demikian masih menggejala dalam tradisi masyarakat Indonesia. Ini bukan saja melanda mereka yang masih buta aksara. Mereka yang sudah melek aksara pun masih enggan dan bermalas-malas dalam meningkatkan belajar dan tradisi membaca. Belajar dan membaca seringkali dianggap sesuatu yang aneh, dan sok belajar. Inilah yang masih dilematis dalam struktur kesadaran masyarakat Indonesia.

Di tengah problem kalut tersebut, sudah saatnya dalam rangka merealisasikan pemberantasan buta aksara, pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak melakukan kerja sosial yang strategis, sistematis, dan berkelanjutan.

Pertama, membongkar kesadaran semu ihwal belajar. Kesadaran akan lemahnya motivasi belajar merupakan pangkal persoalan dalam hak pemberantasan buat aksara. Berbagai program bisa diproyeksikan, tetapi kalau masyarakat enggan dan tidak semangat belajar, hasilnya pasti tidak maksimal. Perlu dibongkar kesadaran semu tersebut, diganti dengan kesadaran autentik ihwal motivasi belajar yang total dan penuh kesungguhan.

Kedua, memaksimalkan kerja sama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta dalam upaya gerakan masif pemberantasan buta aksara. Kerja sama dalam konteks bisa dilakukan lewat program kuliah kerja nyata (KKN) yang langsung masuk dalam jantung tradisi masyarakat. Kerja sama bisa digunakan dalam realisasi tersebut. Kalau selama ini su-dah dilakukan, maka upaya maksimalisasi di berbagai tempat terpelosok dan marginal. Kerja sama ini akan sangat efektif kalau pemerintah dan perguruan tinggi juga bekerja sama dengan berbagai lembaga sosial yang mempunyai basis kultural yang jelas di berbagai daerah terpelosok tersebut. Taruhlah, misalnya, bekerja sama dengan organisasi sosial keagamaan yang mempunyai tradisi ritual keagamaan yang ajeg dalam masyarakat. Kampanye pemberatasan buta aksara dapat dimaksimalkan dalam berbagai ritual keagamaan, terlebih juga dikampanyekan oleh agamawan dan tokoh masyarakat lokal.

Ketiga, program ini diintegrasikan dengan program pemerintah lainnya. Dalam konteks sekarang, maksimalisasi pemberantasan buta aksara bisa dilanjutkan lewat anggaran pendidikan 20 persen. Anggaran 20 persen dari total APBN dapat dijadikan modal berharga dalam mencipta masyarakat yang melek aksara. Anggaran besar tersebut jangan hanya diorientasikan dalam penjaminan mutu (quality assurance) pendidikan menengah dan tinggi. Kaum buta aksara harus diperhatikan dengan serius, sehingga indeks pembangunan manusia (HDI) semakin meningkat.


Demi masa depan bangsa, buta aksara harus kita berantas. Melek aksara adalah bagian penting pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Peringatan hari aksara sedunia menjadi cacatan penting bagi Indonesia untuk terus berbenah menyongsong mimpi visi Indonesia 2030 yang maju dan berkeadaban. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar