|
Tanggal 8 September diperingati
sebagai Hari Aksara Sedunia. Peringatan ini bagi bangsa Indonesia sangat
strategis untuk merumuskan kembali kebijakan negara terkait dengan kondisi buta
aksara yang masih mendera rakyat Indonesia. Buta aksara sangat berpengaruh atas
Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index). Tinggi rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama
tinggi-rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia.
Angka buta aksara di Indonesia,
menurut Kementerian Pendidikan Nasional, masih tinggi, yakni 4,8 persen dari
jumlah penduduk. Itu setara dengan 8,5 juta jiwa. Tentu saja permasalahan itu
memerlukan penanganan khusus berupa pemberantasan buta huruf. Perlu penanganan
khusus karena selain jumlahnya masih banyak, juga 60 persen dari 8,5 juta jiwa
tersebut adalah kaum perempuan. Saat ini ada 10 provinsi dengan tingkat buta
huruf tinggi hingga di atas 10 persen. Provinsi itu, antara lain Papua, NTT,
NTB dan Jabar serta Sulsel. (Kemendiknas:
2011)
Data ini menjadi fakta untuk
membangun harapan akan optimisme merealisasikan pemberantsan buta aksara secara
maksimal. Optimisme ini terkait problem buta aksara yang dicanangkan pemerintah
tidak ada jaminan bahwa mereka akan melek aksara terus, karena terkait berbagai
hal, sangat mungkin akan kembali buta aksara. Hal ini juga diakui Kemendiknas
sendiri. Artinya, perlu kerangka kebijakan sistematis dan berkelanjutan dalam
menciptakan masyarakat Indonesia yang bebas buta aksara.
Agenda pemberantasan buta aksara
dalam gerak kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini terkendala oleh
beberapa hal.
Pertama, mereka berasal dari
keluarga miskin. Kemiskinan seringkali menjadi kendala sangat praktis dalam
upaya pembelajaran masyarakat. Mereka sibuk dengan agenda setiap hari dalam
upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena sibuk dengan ritualisme
kerja sehari-hari, mereka menganggap tidak penting lagi melek atau buta aksara.
Bagi mereka, mengatasi masalah kemiskinan jauh lebih urgen di tengah balutan
krisis multidimensi.
Kedua, mereka berada di daerah
terpencil dan pelosok. Karena jauh dari pusat kebudayaan dan pusat peradaban,
masyarakat menganggap diri mereka sebagai sosok inferior. Menjadi masyarakat
terbelakang kemudian dipahami secara kodrati, sehingga upaya dan usaha
pemberatasan aksara tidak begitu penting dalam agenda kemasyaratan, karena
melek aksara belum mereka sadari sebagai bagian dari upaya penciptaan kemajuan
dan kesejahteraan.
Ketiga, paradigma berfikir yang
kalut membuat mereka tidak mempunyai motivasi belajar tinggi. Belajar sudah
tidak menjadi prioritas kerja sehari-hari mereka karena menganggap sudah
terlambat untuk belajar. Yang lebih tragis, belajar bagi mereka malah dianggap
membuang waktu saja. Pola pemikiran yang demikian masih menggejala dalam
tradisi masyarakat Indonesia. Ini bukan saja melanda mereka yang masih buta
aksara. Mereka yang sudah melek aksara pun masih enggan dan bermalas-malas
dalam meningkatkan belajar dan tradisi membaca. Belajar dan membaca seringkali
dianggap sesuatu yang aneh, dan sok belajar. Inilah yang masih dilematis dalam
struktur kesadaran masyarakat Indonesia.
Di tengah problem kalut tersebut,
sudah saatnya dalam rangka merealisasikan pemberantasan buta aksara, pemerintah
bekerja sama dengan berbagai pihak melakukan kerja sosial yang strategis,
sistematis, dan berkelanjutan.
Pertama, membongkar kesadaran semu
ihwal belajar. Kesadaran akan lemahnya motivasi belajar merupakan pangkal
persoalan dalam hak pemberantasan buat aksara. Berbagai program bisa
diproyeksikan, tetapi kalau masyarakat enggan dan tidak semangat belajar,
hasilnya pasti tidak maksimal. Perlu dibongkar kesadaran semu tersebut, diganti
dengan kesadaran autentik ihwal motivasi belajar yang total dan penuh
kesungguhan.
Kedua, memaksimalkan kerja sama
dengan perguruan tinggi negeri dan swasta dalam upaya gerakan masif
pemberantasan buta aksara. Kerja sama dalam konteks bisa dilakukan lewat
program kuliah kerja nyata (KKN) yang langsung masuk dalam jantung tradisi
masyarakat. Kerja sama bisa digunakan dalam realisasi tersebut. Kalau selama
ini su-dah dilakukan, maka upaya maksimalisasi di berbagai tempat terpelosok
dan marginal. Kerja sama ini akan sangat efektif kalau pemerintah dan perguruan
tinggi juga bekerja sama dengan berbagai lembaga sosial yang mempunyai basis
kultural yang jelas di berbagai daerah terpelosok tersebut. Taruhlah, misalnya,
bekerja sama dengan organisasi sosial keagamaan yang mempunyai tradisi ritual
keagamaan yang ajeg dalam masyarakat. Kampanye pemberatasan buta aksara dapat
dimaksimalkan dalam berbagai ritual keagamaan, terlebih juga dikampanyekan oleh
agamawan dan tokoh masyarakat lokal.
Ketiga, program ini diintegrasikan
dengan program pemerintah lainnya. Dalam konteks sekarang, maksimalisasi
pemberantasan buta aksara bisa dilanjutkan lewat anggaran pendidikan 20 persen.
Anggaran 20 persen dari total APBN dapat dijadikan modal berharga dalam
mencipta masyarakat yang melek aksara. Anggaran besar tersebut jangan hanya
diorientasikan dalam penjaminan mutu (quality
assurance) pendidikan menengah dan tinggi. Kaum buta aksara harus
diperhatikan dengan serius, sehingga indeks pembangunan manusia (HDI) semakin
meningkat.
Demi masa depan bangsa, buta
aksara harus kita berantas. Melek aksara adalah bagian penting pemenuhan hak
asasi manusia (HAM). Peringatan hari aksara sedunia menjadi cacatan penting
bagi Indonesia untuk terus berbenah menyongsong mimpi visi Indonesia 2030 yang
maju dan berkeadaban. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar