|
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akhirnya memvonis bersalah
Irjen Djoko Susilo dalam kasus korupsi pengadaan simulator kemudi dan pencucian
uang. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Setelah
melalui jalan terjal, kasus pengadaan simulator kemudi akhirnya menemui titik
akhir. Walaupun putusan pengadilan tersebut belum inkracht karena besar
kemungkinan kedua belah pihak akan banding, publik sedikit bisa bernapas lega
atas putusan bersalah tersebut.
Jika menoleh ke belakang, pada awalnya tidak sedikit
masyarakat yang pesimistis KPK akan bisa menuntaskan kasus yang menyeret
seorang jenderal polisi aktif tersebut. Pasalnya, KPK sempat
"berdarah-darah" sebelum membawa kasus ini ke meja hijau.
Berbagai persoalan melanda. Mulai dari penarikan
besar-besaran penyidik kepolisian yang ditugaskan di KPK, upaya kriminalisasi
terhadap salah satu penyidik, Novel Baswedan, hingga upaya penyerobotan kasus
tersebut oleh pihak Mabes Polri. Beberapa persoalan tersebut tentu dapat
dipastikan menyedot banyak energi KPK untuk menuntaskan kasus simulator kemudi
hingga ke aktor intelektualnya.
Maka, penuntasan kasus simulator kemudi melalui putusan
pengadilan beberapa waktu lalu memberikan bobot ganda kepada perjuangan yang
telah dilakukan KPK di tengah hambatan yang mereka hadapi. Hal ini sekaligus
menjawab keraguan publik, khususnya kepada para penyidik yang berasal dari
kepolisian, karena pernah dicap memiliki "loyalitas ganda".
Walaupun KPK tidak memperoleh "kemenangan" utuh
dalam perkara tersebut karena vonis yang masih ringan dari tuntutan jaksa sebesar
18 tahun penjara, dan hak politik masih tetap diberikan hingga tidak
dikabulkannya uang pengganti sebesar Rp 32 miliar, putusan terhadap Irjen Djoko
bisa menjadi tonggak awal dimulainya rezim anti-money
laundering yang nyata dan konkret di negara ini. Hal ini dapat dilihat dari
putusan penyitaan aset hasil pencucian uang sebesar Rp 200 miliar karena
terbukti berasal dari hasil korupsi dan pencucian uang.
Putusan majelis hakim telah menegaskan kewenangan KPK dalam
melakukan penyitaan dan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang
waktu terjadinya perkara (tempus delicti) adalah sebelum dikeluarkannya UU
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Untuk diketahui, penasihat hukum Djoko sempat berupaya
merontokkan kewenangan penyitaan sekaligus penuntutan TPPU yang dilakukan KPK
terhadap aset-aset sang jenderal, karena beranggapan KPK tidak menggunakan UU
TPPU sebelum 2010. Jika upaya ini sempat berhasil, dapat dipastikan aset-aset
Djoko akan kembali ke genggamannya, meskipun nantinya ia divonis bersalah dalam
kasus tersebut.
Namun majelis hakim berpendapat bahwa KPK berwenang
menggunakan TPPU sekalipun tindak pidananya terjadi sebelum 2010. Walaupun
belum menjadi yurisprudensi, putusan ini memberi angin segar bagi upaya
penyitaan aset-aset yang tidak wajar dan diduga telah terjadi percampuran
dengan hasil kejahatan terhadap berbagai kasus-kasus korupsi di masa mendatang.
Di sinilah nilai lebih vonis Djoko oleh majelis hakim yang patut diapresiasi di
tengah berbagai kekurangan yang ada.
Langkah-langkah penyitaan aset para koruptor kelas kakap
sesungguhnya juga menjawab tuntutan paradigma baru pemberantasan korupsi yang
lebih menekankan pada upaya asset
recovery daripada hukuman badan semata. Apalagi lembaga pemasyarakatan selama
ini juga menjadi persoalan tersendiri dalam pembinaan para koruptor.
Harus dipahami, pelaku korupsi dengan motivasi menumpuk
kekayaan (corruption by greed) akan
lebih takut jika asetnya disita dibanding jika dipenjara. Mereka sadar, jika
kekayaan mereka terpelihara, mereka bisa menjadi raja di dalam penjara.
Sebaliknya, jika kekayaan disita negara, mereka kehilangan tujuan/obyek yang
dikejar selama ini.
Namun tantangan bagi penegak hukum sebelum menggunakan UU
Korupsi dan Pencucian uang secara bersamaan adalah melakukan asset tracing,
karena upaya asset tracing akan menjadi titik yang paling krusial dan
menentukan terhadap upaya menjerat pelaku korupsi dan pencucian uang bersama
kekayaannya sekaligus.
Dalam kasus Djoko Susilo sendiri, KPK sudah memulainya
dengan cukup baik. Walau belum seutuhnya sempurna dalam melakukan asset tracing
karena diduga masih ada aset-aset Djoko yang masih tersembunyi di dalam maupun
di luar negeri, penyidik KPK patut diapresiasi karena sudah bekerja melakukan
upaya tersebut.
Hanya, keterbatasan waktu, ditambah lagi dengan tingkat
kemampuan pelaku dalam menyembunyikan asetnya, tentu akan membuat tingkat
kesulitan dalam melacak aset-aset itu menjadi berlipat ganda. Harus dipahami,
dari waktu ke waktu pelaku kejahatan semakin canggih dalam menyembunyikan
asetnya dengan bantuan profesi-profesi tertentu yang menjadi gate-keeper.
Namun itu tentu tidak selamanya menjadi kendala. Paling
tidak, harapan baru muncul dari putusan kasus Djoko tersebut. Menelaah realitas
yang terjadi selama ini, penegak hukum seolah tidak bisa menyentuh
kekayaan-kekayaan yang tidak wajar dari seorang pejabat dan penyelenggara
negara. Penegak hukum seolah ragu untuk masuk ke "rimba belantara"
kekayaan mereka. Namun cerita telah berubah. KPK dengan putusan pengadilan
seolah telah membuat jalan setapak yang bisa diikuti oleh penegak hukum agar
tidak salah arah. Hanya tinggal kemauan Kepolisian dan Kejaksaan untuk
menelusuri jalan dan langkah yang sudah ditempuh KPK itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar