Rabu, 04 September 2013

Urgensi Penataan PKL

Urgensi Penataan PKL
Djoko Subinarto Kolumnis, Alumnus FISIP Unpad
KORAN SINDO, 04 September 2013



Salah satu persoalan pelik yang masih membelit Kota Bandung kiwari adalah masalah pedagang kaki lima atau lebih beken disingkat PKL. Alih-alih menyusut, jumlah PKL di Kota Bandung malah terus meningkat dari waktu ke waktu. 

Kini, sebutan Bandung lautan PKL bukan sesuatu yang berlebihan tampaknya. Tidak sedikit orang berpendapat, selain membuat paras kota jadi amburadul, PKL berkontribusi pula bagi terjadinya kemacetan lalu lintas, polusi suara, dan meningkatnya volume sampah. Walaupun para PKL umumnya mengetahui bahwa aktivitas mereka sering mengganggu keindahan dan ketertiban kota, toh mereka memilih menekuni profesi sebagai PKL karena tuntutan kebutuhan dapur ngebul yang harus mereka penuhi. 

Sebagian besar warga Bandung sudah lama mendambakan kotanya benar-benar bebas PKL. Berbagai keluhan, saran, sekaligus harapan dilontarkan warga lewat berbagai media. Intinya, mereka ingin suasana Kota Bandung merenah tumaninah dan tidak heurin ku PKL. Program demi program – yang tentu saja menyedot dana yang tidak sedikit – untuk membebaskan berbagai kawasan di Bandung dari kepungan PKL sering kali digulirkan pengelola kota. 

Namun, tetap saja PKL masih menjamur hingga detik ini. Bukan saja jumlah mereka terus membengkak, cara menggelar dagangan maupun wilayah ekspansi mereka pun telah mengalami peningkatan. Dulu, sekitar 1970-an, mayoritas PKL menggelar dagangannya hanya beralaskan plastik sederhana di emperan toko. Namun, kini banyak dari mereka berani membangun jongko, kios, maupun tenda permanen. 

Kalau dulu mereka berjualan sebatas di emperan toko, sekarang sebagian dari mereka nekat berjualan di badan jalan, juga di ruang-ruang publik lainnya, semisal taman kota hingga depan instansi pemerintahan. Bahkan, halaman rumah ibadah – yang mestinya steril dari transaksi jual-beli – terkadang tidak luput dari rambahan para PKL.

Empat kategori 

Jika dilihat dari frekuensi kemunculannya sekarang ini, secara garis besar PKL di Bandung dapat dibagi dalam empat kategori. Pertama, PKL harian. Mereka muncul dan berjualan saban hari, tujuh hari sepekan, dari pagi hingga petang menjelang malam. Kedua, PKL mingguan. PKL jenis ini muncul berjualan sepekan sekali. 

Ketiga, PKL bulanan. Mereka muncul dan berjualan sebulan sekali. Mereka biasanya berjualan pada harihari saat pengambilan pensiun untuk para pensiunan di kantor pos atau bank. Keempat, PKL tahunan. PKL ini muncul setahun sekali dengan memanfaatkan momen bulan Ramadan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri atau malam menjelang pergantian tahun. 

Berdasar pola kemunculannya tersebut, kemungkinan besar para PKL yang menyesaki berbagai kawasan di Bandung saat ini dapat dibagi lagi ke dalam dua kelompok, yakni kelompok PKL purnawaktu (full timer) dan kelompok PKL paruh waktu (part timer). Para PKL purnawaktu adalah mereka yang profesi sehari-harinya memang PKL, sedangkan PKL paruh waktu adalah mereka yang nyambi memanfaatkan peluang untuk menjadi PKL pada momen- momen tertentu. 

Sementara itu, dari segi sumber permodalannya, PKL terbagi dalam dua kelompok. Pertama, PKL yang dimodali cukong. Kedua, PKL yang sumber modalnya berasal dari kantung pribadi. Sesungguhnya PKL bukan cuma masalah yang dihadapi Bandung dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Di banyak kota di negara-negara lain pun, khususnya negara-negara yang sedang berkembang, PKL menjadi bagian dari masalah perkotaan mereka. 

Akan tetapi, dengan program dan pendekatan yang baik, menyeluruh, serta penegakan aturan hukum yang tegas, para pengelola kota di sejumlah negara terbukti berhasil menangani masalah PKL dengan tuntas dan tanpa gejolak. Kawasan-kawasan yang dulunya disesaki PKL akhirnya bisa dibebaskan dan ditata kembali sesuai peruntukannya. Lantas, bagaimana dengan para PKL di Kota Bandung? 

Program dan pendekatan yang tidak jelas, ditambah penegakan hukum yang lembek, sejauh ini dinilai banyak pihak sebagai salah satu titik lemah penyelesaian masalah PKL di Bandung. Buktinya, berbagai program digulirkan para pengelola Kota Bandung. Hasilnya, masih belum bisa membebaskan berbagai kawasan di ibu kota Jawa Barat ini dari serbuan dan rongrongan PKL hingga saat ini. 

Karena itu, sebelum jumlah PKL semakin bertambah dan masalahnya semakin ruwet dan tidak terkendali, upaya pendataan ulang secara menyeluruh dan detail semua PKL yang beroperasi di seantero Bandung tampaknya memang mutlak harus dilakukan. Minimal, dari hasil pendataan nantinya diketahui mana PKL purnawaktu, mana yang paruh waktu. 

Begitu juga bakal diketahui mana PKL yang merupakan penduduk lokal dan mana yang bukan penduduk lokal, berikut lokasi mereka biasa mangkal serta produk yang mereka jual, termasuk sumber permodalannya. Berangkat dari data yang terkumpul inilah, pihak pengelola kota, bekerja sama dengan berbagai pihak pemangku kepentingan, dapat menyusun sejumlah program secara lebih terarah dan komprehensif dengan target jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. 

Apa pun bentuk programnya, idealnya hasil akhirnya harus mampu memberdayakan para PKL sehingga status dan martabat mereka terangkat. Artinya, semua program yang terkait dengan masalah PKL mesti dirancang dan diarahkan untuk menjadikan para PKL meningkat kelasnya. Dengan demikian, diharapkan mereka tidak menjadi PKL seumur hidup dan turun-temurun. 

Dalam konteks ini, programprogram pelatihan dan pendampingan yang berkesinambungan guna meningkatkan keterampilan, wawasan, pengetahuan dan kesadaran hukum sangat perlu diberikan kepada para PKL. 

Bagaimanapun, jika keterampilan, wawasan, pengetahuan, dan kesadaran hukum mereka meningkat, dipastikan mereka akan dapat berkontribusi lebih nyata bagi perekonomian kota maupun ketertiban dan keindahan kota. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar