RSBI dan Kisah
Lowo Ijo
Tri Marhaeni Pudji Astuti ; Guru
Besar Antropologi
Jurusan
Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
|
SINDO,
15 Januari 2013
MASYARAKAT kembali tersentak ketika
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan membubarkan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) yang sering dipelesetkan orang sebagai Rintisan Sekolah
Bertarif Internasional. Ketersentakan itu menyusul "kejutan"
perubahan kurikulum pada tahun lalu, yang juga menimbulkan pro dan kontra.
Namun, kali ini
sudah bukan saatnya lagi kita berdebat tentang RSBI karena secara peraturan
sudah selesai. Yang terpenting sekarang, bagaimana langkah selanjutnya
setelah RSBI ditiadakan?
Yang harus menjadi
perhatian semua elemen masyarakat adalah masa depan eks RSBI, terlebih pada
masa transisi sekarang ini. Tugas berat terutama ada di pundak guru dan
sekolah.
Mendidik dan
mengajarkan suatu ilmu tidak bisa setengah-setengah. Akan sangat menjengahkan
manakala ada pembedaan "label" RSBI dan non-RSBI yang menciptakan
stereotipe: yang satu lebih unggul dari lainnya.
Lebih miris lagi
manakala stereotipe itu merasuki jiwa anak didik yang melahirkan konsep
"aku" dan "kamu", seakan-akan "aku" lebih
tinggi, lebih superior dibandingkan dengan "kamu".
Terlebih lagi jika
pembedaan label itu berimbas pada pembedaan materi dalam proses belajar
mengajar dan penyampaian ilmu pengetahuan. Bukankah memberikan ilmu tidak
boleh setengah-setengah? Jangan lantaran RSBI, ilmu diberikan sepenuhnya,
sementara yang non-RSBI hanya diberi separuh.
Para guru
menggunakan "kecepatan dan kemampuan penuh" ketika mengajar di
RSBI, sementara di non-RSBI "kecepatan dan kemampuan hanya
setengahnya". Logikanya tidak demikian.
Saya teringat
penggalan novel-silat Nagasasra dan Sabukinten mahakarya SH Mintardja yang
sangat populer pada 1960-an. Dikisahkan tentang tokoh golongan hitam Lowo
Ijo. Penguasa Alas Mentaok itu adalah murid kinasih Pasingsingan, tokoh yang
selalu mengenakan topeng dan jubah. Kepada Lowo Ijo, Pasingsingan menurunkan
semua kesaktiannya, karena mendapat "setoran" yang lebih besar,
sementara dua murid yang lain --Watu Gunung dan Wadas Gunung-- hanya mendapat
ilmu setengah-setengah karena upetinya terbatas.
Dampak
Inferior
Saat ini, yang
terpenting bagaimana meminimalkan dampak pascapembubaran RSBI, baik bagi
kelangsungan proses belajar mengajar maupun psikologi siswa dan guru. Salah
satunya, jangan sampai menciptakan inferioritas siswa eks RSBI. Hal itu bisa
dipahami, mengingat label sekolahnya yang dulu "unggulan", elite,
dengan fasilitas yang ìberbedaî dari teman-temannya yang non-RSBI.
Tidak menutup
kemungkinan muncul perasaan "tidak terima" ketika zona nyamannya
diusik. Siswa merasa rendah diri, malu, dan bingung berhadapan dengan
teman-temannya yang non-RSBI. Apalagi dalam pergaulan teman sebaya, bisa jadi
siswa-siswa non-RSBI merasa mempunyai kesempatan "membalas",
"melampiaskan" superioritasnya dengan mengejek siswa eks RSBI
karena statusnya yang dibubarkan, seolah-olah menjadi status yang tidak
jelas. Sementara dalam pergaulan di sekolah, siswa-siswa eks RSBI "tidak
bisa diterima setara" dengan yang non-RSBI karena dianggap "tidak
jelas statusnya" atau sudah "bukan kelompoknya".
Di sinilah
diperlukan peran guru dan pihak sekolah. Jangan sampai siswa yang non-RSBI
sekarang merasa punya kesempatan "memukul balik" yang eks RSBI, dan
mereka berbalik diliputi superioritas. Bagi guru eks RSBI, jangan sampai
pembubaran ini "melemahkan semangat mengajarnya". Dengan pemahaman
mengajarkan ilmu tidak setengah-setengah, guru tidak boleh berpikiran
"sudah tidak RSBI, jadi mengajarnya ya tidak usah yang bermutu
tinggi". Saya yakin para guru tidak akan bersikap demikian.
Bagaimana
Selanjutnya?
Setiap peralihan
status akan menimbulkan masa transisi. Menurut Victor Turner (1976),
peralihan status dalam ritus kehidupan maupun dalam peralihan status sosial
akan menciptakan "liminalitas" komunitas yang bersangkutan.
Liminalitas adalah suatu kondisi yang ambigu, "masa kebimbangan",
terkadang bingung. Hal ini juga akan dialami oleh semua komponen eks RSBI.
Satu kaki harus
keluar dari RSBI, sementara kaki lainnya terkadang masih berpijak pada era
RSBI. Karena itu, pada masa transisi liminal ini, semua elemen masyarakat,
guru, dan orang tua, mulai "meredakan keliminalan" itu dengan
memberikan penjelasan kepada siswa dan menenteramkan statusnya.
Para guru harus
tetap mengajar, tidak dengan setengah-setengah, justru tunjukkan bahwa mutu
unggul dan siswa berprestasi bukan karena "label" melainkan karena
kualitas pembelajaran. Label hanyalah atribut yang justru menimbulkan
kesenjangan dan stereotipe diskriminasi. Sekolah harus solid bahu-membahu
menunjukkan kepada masyarakat bahwa sekolah tetap unggul dan berprestasi.
Yang selama ini sudah unggul dan berpredikat prestisius dengan RSBI-nya
(dulu), tetap diteruskan tanpa "kehilangan semangat". Semua diberi
ilmu sepenuh Lowo Ijo, tetapi bukan lantaran besaran "setoran"-nya
ke Pasingsingan... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar