Konsideran
Mutu untuk Pendidikan Bangsa
Winarno Surakhmad ; Pengamat Pendidikan
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Januari 2013
KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) tentang
penghapusan rintisan sekolah bertaraf inter nasional (RSBI) karena dinilai
inkonstitusional sesungguhnya sangat membantu memperbaiki visi mutu
pendidikan berbangsa. Itu sekaligus menjadi momentum untuk melihat pendidikan
secara jauh lebih makroskopis. Di satu pihak, ada dorongan masyarakat yang
mempersyaratkan adanya pendidikan bermutu.
Namun, di lain pihak, masyarakat
tidak sepenuhnya meyakini jaminan mengenai cara yang sepatutnya ditempuh
untuk memperoleh mutu yang diinginkan. Sekolah berlabel internasional dan
bertarif lebih tinggi daripada sekolah biasa ialah salah satu indikator umum
yang cenderung menjadikan sekolah itu, bagi anggota masyarakat tertentu,
seolah-olah lebih bermutu. Tidak semestinya begitu! Namun, para pejabat dan
orangtua tertentu umumnya tidak sadar bahwa karakteristik itu, an sich,
bukanlah indikator mutu yang sebenarnya mereka cari.
Tentu, kita patut merasa bahagia ketika
mengetahui bangsa Indonesia sudah dimotivasi keinginan untuk memperoleh
pendidikan bermutu. Kita tahu bangsa ini, selama dijajah berabad-abad lamanya,
tidak pernah mempersoalkan mutu pendidikan seperti yang sekarang
dipertikaikan. Selama itu yang dibincangkan ialah pendidikan yang apa adanya.
Sekarang, kita berhadapan dengan masyarakat
yang mulai menuntut bahkan mempersyaratkan adanya mutu, apa pun standar yang
mereka gunakan sebagai penentuan dan ukuran mutu. Dengan kata lain, ada
kecenderungan di dalam masyarakat bahwa mutu pendidikan dipertengkarkan
sebagai isu praktis, tanpa kejelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud.
Masyarakat saat ini perlu mengetahui bahwa
mutu yang dituntut itu bukanlah sesuatu yang fixed, formal, dan otomatis. Mutu
pendidikan merupakan konsep yang sangat dinamis, berkembang melalui sesuatu
yang berproses, senantiasa hidup, serta penuh dengan berbagai rangsangan dan
perubahan.
Banyak persoalan jauh lebih urgen dan
memerlukan pertimbangan lebih serius demi bangsa. Terlebih bila dibandingkan
dengan percekcokan yang tidak menentu dan tidak bermakna tentang siapakah dan
mengapakah ada anak bangsa yang terhitung sebagai anak didik atau murid
sekolah internasional, termasuk mengapa ada anak bangsa lainnya yang harus
hidup dalam sistem (?) yang tampaknya berbeda karena pengaruh visi masa lalu
yang belum terkoreksi sepenuhnya. Sesuai dengan pascakeputusan MK pun, bukan
mustahil dan pada saat-saat tertentu, masih akan timbul berbagai bentuk `pembenaran'
dengan berbagai ar gumentasi `keunggulan', yang masih di pertahankan demi
mutu (yang juga tidak jelas) melalui berbagai terminologi yang sebenarnya
hanya menjebak!
Ukuran Urgensi
Yang lebih esensial untuk dipersoalkan
bukanlah apa sebaiknya nama sekolahnya yang seksi. Atau, berapa harga yang
harus dibayarkan orangtua supaya masih terjangkau. Kemudian dari negara mana
gurunya harus didatangkan supaya masuk akal. Apa lagi kurikulum nya yang
menarik agar kedengaran seperti datang dari angkasa luar!
Hal seperti itu tidak pernah perlu dibincang
kan karena tidak pernah berguna. Lagi pula isu semacam itu tidak kena-mengena
dengan persoalan mutu pendidikan berbangsa, yang justru merupakan urgensi
yang aktual dan serius.
Sekolah yang bermutu mengutamakan pen didikan
yang mencerdaskan dan memberani kan anak bangsa untuk berpikir, bukan sekadar
menghasilkan generasi bangsa yang fasih menghafal melalui berbagai latihan
dan ujian hafalan, apa pun namanya. Dengan menggunakan sekolah sebagai ukuran
keberhasilan, tidak berarti bahwa kita semua sudah bangga karena bisa mempertontonkan
Indonesia sebagai bangsa penghafal melalui berbagai ujian hafalan, yakni
ujian yang lebih sering disebut secara menakutkan dan menyeramkan sebagai
ujian nasional.
Kita biasanya sudah menganggap pencapaian
cukup baik apabila anak bangsa menjadikan bangsa yang tersekolah. Anak-anak
kita diamati dan diawasi agar mereka diyakini masuk sekolah. Akan tetapi,
kita sebenarnya tidak mengetahui apa yang terjadi sesudahnya dan selebihnya.
Kita sudah senang apabila anak kita sudah masuk sekolah yang megah. Sebenarnya
harus jauh lebih dari tujuan itu. Hendaknya yang menjadi tujuan utama ialah
anak kita tumbuh sebagai anak yang terdidik, bukan sekadar sebagai anak yang
tersekolah.
Bertentangan
Yang kurang disadari, bahkan yang termasuk
kurang dipertimbangkan para perumus kebijakan pendidikan nasional pun, ialah
sekolah internasional yang kita banggakan atau sekolah mana pun yang kita
jadikan sebagai model sebenarnya tetap mengandung berbagai kelemahan
internal, yang berarti tidak tanpa cacat.
Secara filosofis, yang sangat menonjol ialah
penilaian yang negatif dan bahkan bertentangan mengenai kedudukan sekolah
internasional yang diusulkan pemerintah sendiri, ditinjau dari amanah UUD
1945.
Sekolah yang semula diterima dengan tangan
terbuka sebagai pintu kemajuan dan perkembangan demokrasi kini secara politis
mulai dikecam sebagai perpanjangan kepentingan globalisasi, komersialisasi,
dan sejenisnya.
Makin banyak pula pengamat mengemukakan
berbagai kelemahan yang terkait dengan persepsi salah mengenai perpanjangan
kekuasaan, kedudukan sosial. Di antara kritik yang cukup keras mengenai peran
pendidikan misalnya timbulnya saran untuk menyelamatkan masyarakat dari
pengaruh detrimental dari sekolah yang salah jadi.
Dengan memperhatikan dan memperhitungkan
sekomprehensif mungkin mengenai masa depan bangsa, dan dengan menyimpulkan
apa yang patut menjadi konsiderans mutu untuk masa ini, tanpa putusan MK pun
RSBI dinilai bertentangan dengan undang-undang.
Sudah jelas bahwa yang menjadi urgensi
pendidikan berbangsa dewasa ini sama sekali bukanlah alternatif pendidikan
internasional versus pendidikan nasional.
Gagasan untuk menumbuhkan pendidikan
internasional, di samping tetap adanya pendidikan nasional, memang sama
sekali tidak berdasar. Malangnya, gagasan liar itulah yang telah menimbulkan
air liur di kalangan mereka yang sudah telanjur percaya akan superioritas
mutu RSBI versus sekolah nasional yang `tradisional'.
Apa yang salah mengenai sekolah `tradisional'
tersebut? Salahkah bila mutu pendidikan berbangsa dimulai dari situ? Mengapa
mutu sistem nasional tersebut harus ditingkatkan melalui barang baru dengan
apa yang disebut internasional?
Apakah barang baru itu merupakan sistem
tersendiri atau bagian dari sistem yang sudah ada?
Pertanyaan serupa sebenarnya menjadi tidak
relevan bila asumsinya sudah jelas. Namun sekarang, pertanyaan serupa itu
bisa menjadi urgen karena asumsinya masih kacau-balau. Pemerintah pun tidak
memiliki konsiderans mutu yang jelas dan mampu diterapkan dalam konteks
berbangsa.
Yang diperlukan sekarang bukanlah apakah anak
bangsa tercatat sebagai murid sekolah nasional ataukah murid sekolah
internasional. Yang jauh lebih utama yaitu apakah anak bangsa sekarang ini
tersekolah atau terdidik. Yang dibutuhkan ialah bagaimana peristiwa
pembelajaran ternyata mampu mengantar anak bangsa menjadi bangsa yang cerdas.
Yang penting ialah apakah anak
bangsa memiliki jati diri dan heroisme keindonesiaan. Dari satu bangsa yang
hari ini berkembang sekitar 240 juta jiwa, yang tetap berpulau-pulau sekitar
1.750 buah, dan dengan konsep pemekaran para pengelola sekitar 600 daerah
otonom, yang urgen ialah penerapan amanah konstitusi tentang pendidikan
berbangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar