KEKUASAAN selalu perlu dibatasi. UU 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD tidak mengatur pembatasan masa jabatan anggota dewan. Anggota
dewan dipilih lima tahun sekali dan boleh mencalonkan diri dalam setiap pemilu
berikutnya. Idealnya, jabatan-jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan
umum maupun bukan memiliki batas masa jabatan.
Kekuasaan yang
tidak dibatasi mempunyai kecenderungan disalahgunakan. Sayangnya, DPR yang
membuat UU Pemilu melakukan politik hukum diskriminatif. Di satu sisi, jabatan-jabatan
publik, seperti presiden, kepala daerah, jabatan di KPK, komisi penyiaran, dan
lain-lain, dibatasi maksimal dua periode. Untuk jabatannya sendiri, DPR tidak
memberikan batas.
Karena itu, jangan
heran ada anggota DPR dan DPRD yang lima kali menjabat. Artinya, dia sudah 25
(dua puluh lima) tahun jadi anggota legislatif tanpa tergantikan.
Dengan tidak adanya
pembatasan jadi anggota dewan, para pengurus partai yang beberapa periode
menjadi anggota legislatif akan mencalonkan diri dalam pemilihan umum
legislatif 2014-2019. Ini tentu menghentikan regenerasi di tubuh parlemen.
Persyaratan anggota dewan diatur dalam pasal 12 untuk DPD serta pasal 51
untuk DPR dan DPRD UU 8/2012. Dalam pasal itu, persyaratan bersifat umum,
misalnya usia minimal, ijazah, sehat jasmani, dan sebagainya. Padahal, dalam UU
lain, seperti pilpres, pilkada, UU MK, UU KPK, ada persyaratan tambahan, yakni
maksimal jabatan dua periode.
Pemilihan presiden, kepala daerah, maupun anggota legislatif -dari sudut
pandang apa pun- mempunyai kesamaan. Sama-sama dipilih langsung oleh rakyat,
dilakukan oleh penyelenggara yang sama (KPU dan KPUD), dan jika tidak puas
diproses lembaga hukum yang sama (MK). Diskriminasinya, masa jabatan eksekutif
dibatasi, sedangkan legislator bisa sampai kapan pun.
MK dan DPR Setuju
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan Putusan Nomor 8/PUU-VI/2008
tanggal 6 Mei 2008 pada bagian [3.14.1] menyatakan, "Dalam kaitan dengan
jabatan kepala daerah, pembatasan dimaksud dapat diimplementasikan oleh
undang-undang dalam bentuk: (i) pembatasan dua kali berturut-turut dalam
jabatan yang sama, atau (ii) pembatasan dua kali dalam jabatan yang sama tidak
berturut-turut, atau (iii) pembatasan dua kali dalam jabatan yang sama di
tempat yang berbeda. Oleh karena pembatasan dimaksud terbuka bagi pembentuk
undang-undang sebagai pilihan kebijakan, maka hal demikian tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Sebaliknya, jika pembatasan demikian dianggap bertentangan
dengan UUD 1945, sebagaimana didalilkan pemohon, sehingga pasal yang bersangkutan
harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tidak akan ada
lagi pembatasan. Padahal, pembatasan demikian justru diperlukan dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan prinsip demokrasi dan pembatasan kekuasaan yang
justru menjadi spirit UUD
1945."
Hakikatnya, DPR sangat setuju adanya pembatasan untuk jabatan apa pun.
Itu tergambar dari Keterangan DPR dalam sidang Mahkamah Konstitusi Nomor
29/PUU-VIII/2010 halaman 31 yang menyatakan, "Bahwa pembatasan masa
jabatan dua kali masa jabatan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada
warga negara yang lain yang belum pernah menjabat sebagai kepala daerah dalam
dua kali masa jabatan yang sama."
Menurut DPR, pembatasan masa jabatan termasuk rambu pembatas kekuasaan
dan merupakan salah satu ciri utama kehidupan demokrasi. Tanpa pembatasan,
peluang penyalahgunaan kekuasaan terbuka. Akhirnya dapat timbul kekuasaan yang
cenderung melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Jika melihat penjelasan di atas, MK dan DPR setuju adanya pembatasan
kekuasaan. Baik jabatan yang tidak dipilih melalui pemilu maupun jabatan yang
dipilih melalui pemilu. Pertanyaannya, kenapa di dalam UU Pemilu tidak ada
batas maksimal dua periode? Apakah, kalau diatur, akan merugikan para
legislator sendiri?
Namun, bisa saja DPR berdalih bahwa anggota dewan terpilih atas kehendak
rakyat yang dimanifestasikan di dalam pemilu. Bukankah itu cermin dari
kedaulatan rakyat sehingga siapa pun tidak bisa menghalangi maupun melarang
anggota legislatif untuk berkali-kali mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif.
Pertanyaannya, presiden dan kepala daerah juga dipilih langsung oleh
rakyat. Kenapa jabatannya dibatasi? Apakah itu juga bisa disebut mengkhianati
kedaulatan rakyat?
Setiap warga negara yang ingin menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam
memajukan bangsa tidaklah harus dilakukan di lembaga legislatif. Anggota
legislatif yang sudah menjabat dua kali bisa saja aktif di partai masing-masing
dengan membina kader yang duduk di lembaga legislatif. Mereka juga bisa menyumbangkan
pikiran-pikiran mereka melalui tulisan-tulisan di media massa.
Pembatasan jabatan sejatinya juga memberikan ruang regenerasi yang sehat
terhadap masing-masing partai. Itu kalau tujuannya memang memajukan demokrasi
dan bangsa.
Bola sekarang ada di MK. Pasal UU Pemilu yang tidak mengatur pembatasan
masa jabatan dewan sudah digugat uji materiil di MK.
Saya berharap, MK segera membuat terobosan hukum dengan menyamakan
anggota dewan dengan presiden dan kepala daerah yang hanya boleh dijabat
maksimal dua periode. Dengan begitu, Pemilu Legislatif 2014 dipenuhi wajah baru
alias bukan 4L (loe lagi, loe lagi).
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar