Senin, 14 Januari 2013

Taraf Internasional Serahkan ke Sekolah Swasta


Taraf Internasional Serahkan ke Sekolah Swasta
Sinung D Kristanto ; Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur
JAWA POS, 14 Januari 2013



 PERTANYAAN pasca putusan MK adalah dapatkah mencapai pendidikan bertaraf internasional tanpa RSBI? Kita harus yakin bahwa pendidikan berkualitas internasional itu dapat dicapai tanpa model pendekatan yang diskriminatif tersebut.

Ingin menggapai tingkat pendidikan bertaraf internasional tidak menyalahi konstitusi atau UUD karena memang amanatnya mencerdaskan kehidupan bangsa. UU Sistem Pendidikan Nasional juga menargetkan pendidikan berkualitas. Itu menjadi masalah manakala upaya bertaraf internasional tersebut menjadi proyek miliaran rupiah untuk sekelompok anak di suatu sekolah atau kelas tertentu. Dana APBN dan APBD seyogianya dinikmati oleh semua anak Indonesia dan tidak mendiskriminasi ada yang menerima dan ada yang tidak menerima. Apalagi yang menerima dana itu sebagian besar malah anak dari keluarga berada yang mampu membiayai anaknya bersekolah di sekolah swasta yang bagus. 

Kenapa "rintisan" itu tidak diserahkan saja kepada swasta? Sudah banyak sekolah swasta yang bertaraf internasional. Anak-anak cerdas dan mampu secara finansial dapat bersekolah di sekolah swasta tersebut. Kenapa pemerintah harus repot-repot mengembangkan RSBI untuk menaraf-internasionalkan pendidikan di Indonesia? Biayanya terlalu mahal untuk melatih guru, membayar lisensi, dan menyediakan sarana serta prasarana pendidikan.

Keberatan lain dari RSBI bahwa ternyata sebagian besar lulusan SMA RSBI melanjutkan kuliah di dalam negeri. Seandainya mereka tidak ikut unas, tapi ujian internasional dan sekolah di luar negeri, RSBI dapat disebut sebagai sekolah persiapan ke universitas di luar negeri (SPULN). Ini baru hebat! Mereka tidak mengurangi kesempatan anak-anak yang tidak sekolah di SPULN untuk masuk perguruan tinggi di dalam negeri. Mereka memang benar-benar bibit unggul yang akan menjadi teknokrat masa datang. Jumlah sekolah semacam itu tentu terbatas.

Pendidikan Menuju Kualitas Internasional 

Internasionalisasi taraf pendidikan di Indonesia tidak dapat dicapai dalam waktu yang pendek. Oleh karena itu, acuan dan tahap harus jelas. Acuan kata "internasional" itu harus jelas. Apakah itu mengacu pada taraf pendidikan di Australia, AS, RRT, Jerman, Belanda, atau campur-campur, dan sebagainya.

Jika memang ingin pendidikan Indonesia bertaraf internasional, harus disadari adanya komponen-komponen pokok yang harus ditata. Penataan tersebut akan dinikmati oleh semua anak didik. Sementara itu, RSBI yang mahal itu hanya mencakup sedikit sekolah dan sedikit anak didik. Sebagian besar anak didik apakah dikategorikan sebagai bertaraf nasional dan, bahkan, lokal?

Hal-hal yang perlu dibenahi kalau mau menarafinternasionalkan pendidikan adalah pertama, apakah kurikulum sudah memberi kemungkinan untuk anak didik menghadapi masa depannya, khususnya dalam persaingan global. Mungkin tidak perlu bersusah payah membuat kurikulum baru. Mengacu saja pada kurikulum dari negara-negara yang dianggap "internasional" itu. Sudah ribuan dosen dan guru dibelajarkan ke luar negeri, mengapa tidak dapat mengubah proses belajar-mengajar? 

Kedua, bagaimana kualitas guru yang harus menjalankan kurikulum itu. Apakah kompetensi dan penghargaan terhadap guru sudah sesuai untuk tuntutan kepada mereka menjalankan kurikulum menuju pendidikan berkualitas internasional? 

Ketiga, apakah manajemen sekolah memberi ruang bagi kepala sekolah beserta guru, orang tua murid, dan masyarakat mengelola dengan transparan dan bersinergi untuk kepentingan terbaik bagi anak? 

Keempat, apakah sarana dan prasarana pendidikan memadai? Kadang kita terlalu berfokus pada sarana pendidikan pabrikan. Para guru tidak didorong untuk memaksimalkan potensi yang ada di sekolah dan masyarakat. Misalnya, "buku" yang dibukakan Tuhan secara gratis tidak dibaca dan dipergunakan sebagai bahan ajar. "Buku" itu adalah kejadian dan keadaan dari rumah murid ke sekolah.

Nasib Anak Cerdas dalam Proses Internasionalisasi Taraf Pendidikan 

Anak cerdas dari keluarga miskin tentu tidak harus menunggu proses internasionalisasi pendidikan di Indonesia untuk dapat bersekolah di sekolah bertaraf internasional. Pemerintah menyediakan beasiswa bagi anak cerdas dari keluarga miskin untuk bersekolah di sekolah-sekolah swasta yang sudah bertaraf internasional. Sudah barang tentu diperlukan seleksi yang ketat oleh dewan guru sekolah yang bersangkutan dan pemerintah yang membiayai sekolah anak-anak itu. 

Memang harus ada beasiswa selanjutnya di perguruan tinggi yang kemungkinan di luar negeri. Tetapi, semua itu adalah investasi yang jelas karena harus ada kontrak imbal balik dengan penerima beasiswa. Setidaknya setelah lulus dari perguruan tinggi di luar negeri, mereka harus bekerja di Indonesia.

Anak-anak cerdas dari keluarga mampu dapat bersekolah di sekolah-sekolah swasta yang sudah bertaraf internasional. Kalaupun pemerintah akan membantu, tentu dari sisi regulasi, perizinan, dan kemudahan mendatangkan guru asing dan pembebasan bea masuk sarana pendidikannya. Selebihnya, swasta pasti dapat mengembangkan sendiri dan orang tua murid dapat membiayai sendiri. Bagaimanapun, pasar mengatakan bahwa lebih murah menyekolahkan di dalam negeri dengan taraf yang sama daripada mengirim anak bersekolah di luar negeri.

Hal yang juga kurang terjadi adalah interaksi atau pertukaran ilmu, kreativitas, serta keterampilan antara guru-guru dari sekolah swasta yang sudah bertaraf internasional dan guru-guru dari sekolah negeri. Dengan demikian, terjadi pengayaan pada dua pihak yang dapat memberi manfaat bagi murid cerdas di sekolah negeri dan sekolah swasta tersebut.

Semoga pembatalan RSBI tidak mematikan semangat untuk menggapai pendidikan Indonesia bertaraf internasional sesuai amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar