Sabtu, 01 Desember 2012

RUU Ormas dan Ancaman Demokrasi


RUU Ormas dan Ancaman Demokrasi
Benny Susetyo ;  Sekretaris Dewan Nasional Setara
SINAR HARAPAN, 01 Desember 2012


RUU Ormas menjadi polemik. Kehadiran RUU tersebut dianggap justru ingin mengganggu relasi masyarakat dan negara. Cara berpikir negara terhadap kelompok masyarakat masih tidak berubah seperti era Orde Baru (Orba); ingin mengontrol dan mendikte masyarakat.

Berbagai pihak pun kini mempertanyakan dan menelisik sosok RUU Ormas ini. Ada banyak persoalan dan isu yang belum jelas. Inilah yang membuat kalangan masyarakat sipil menolak RUU Ormas yang saat ini sedang dibahas DPR dan pemerintah.

RUU ini tendensius untuk mengontrol masyarakat sipil!Dengan kata lain, kebebasan berserikat mendapatkan ancaman berbahaya. Bila negara berkeinginan mengontrol semua tindakan dan gerakan masyarakat sipil, tidak berlebihan jika dikatakan kekuasaan memiliki agenda tersembunyi yang patut dipertanyakan.

RUU Ormas menjadi cermin ketidakpercayaan negara pada mekanisme kebebasan yang terdapat pada masyarakat sipil. Kita akan menjadi negara yang akan kehilangan roh utama demokrasi, yakni kebebasan.

Semua berada dalam birokrasi dan kontrol pemerintah. Indeks demokrasi Indonesia yang mengalami perkembangan sejauh ini sepanjang reformasi, kembali mendapatkan ancaman dari sebuah keinginan kuasa yang berlebihan.
RUU Ormas juga dianggap mengancam eksistensi organisasi sosial keagamaan. Negara akan mengontrol secara penuh akses sumber dana dan memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban. Inilah bentuk ketidakpercayaan negara terhadap mekanisme yang sudah berjalan selama ini.

Kedewasaan kita dalam bernegara dan bermasyarakat mendapat sorotan tajam, karena negara cenderung ingin masuk ke semua ranah kehidupan masyarakat. Urgensi aturan ini mendapatkan sorotan tajam.

Pengalaman Indonesia memiliki aturan tentang ormas hanya merupakan sarana legitimasi dari hasrat represif penguasa. UU Ormas sejak dulu dibentuk hanya sebagai alat kontrol dan represi bagi kebebasan berserikat dan berkumpul di Indonesia.

Misalnya UU Ormas yang dibuat pada 1985, dalam praktiknya merupakan alat legitimasi Orba yang berusaha menempatkan segala jenis organisasi dengan kepentingannya masing-masing ke dalam satu jenis bentuk organisasi agar lebih mudah untuk dikontrol.

Korban pun berjatuhan. Pemerintah dengan mudah membubarkan dan menghentikan kegiatan masyarakat dengan aturan ini.Cara berpikir penguasa justru pada intinya hanya memperlemah dan membuat tidak berdaya entitas masyarakat sipil untuk menjalankan partisipasinya membangun bangsa ini.

Akibatnya, posisi tawar ormas tidak lagi optimal, karena dimatikan oleh intervensi penguasa yang begitu dominan dalam mengatur berbagai hal. Lembaga kemasyarakatan pelan-pelan tidak memiliki kemandirian dalam mengolah organisasinya.

Ancaman Demokrasi

Kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan roh penting dalam berdemokrasi. Kekuatan masyarakat sipil akan menjadi penyeimbang bagi negara, agar negara tidak menjelma menjadi monster. Masyarakat dalam berbagai aktivitasnya memberikan sumbangsih terhadap pembangunan bangsa.
Demokrasi terancam eksistensinya bila kebebasan sudah mulai dicerabut. Bila birokrasi sebagai alat kekuasaan telah menjadi tirani baru yang membatasi kreativitas masyarakat, demokrasi pun berbalik arah hanya sekadar menjadi slogan yang tak ada gunanya.

Argumentasi yang mengatakan agar keberadaan ormas lebih mudah diatur secara tertib sering kali terlihat hanya sebagai isapan jempol. Justru banyak substansi RUU yang bertentangan dengan semangat kebebasan berserikat dan berkumpul. Ini karena aturan ini dibentuk karena pertimbangan argumentasi politik yang represif terhadap masyarakat sipil.

Lebih jauh banyak aturan yang bersifat karet dan multitafsir. Negara memiliki otoritas untuk memberikan sanksi dan membekukan sebuah organisasi berdasarkan tafsirannya sendiri karena dianggap bertentangan. Di sini negara sangat potensial menjadi tirani baru kebebasan yang selama ini diperjuangkan.
Karena dianggap tidak cocok, negara bisa mematikan kreativitas masyarakat. Ada yang berargumentasi RUU ini dibuat sebagai perlindungan negara atas ancaman kekerasan yang dilakukan ormas tertentu. Argumentasi ini tentu sangat lemah, sebab tidak perlu UU untuk mengatasinya.

Sejauh ini problemnya karena aparat keamanan tidak memiliki kehendak untuk menegakkan hukum. Padahal KUHP pun sudah mengatur hal tersebut. Hukum kita sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum.

Pengaturan ormas dalam sebuah UU payung hanya menambah panjang birokrasi, perizinan, dan mekanisme rumit yang pada ujungnya akan mencederai kebebasan berorganisasi di Indonesia.

Selain itu, pengaturan ini akan membuka lebar negara untuk mendikte dan mengendalikan semua potensi pembangunan demokrasi negeri ini. Dalam berbagai argumentasi yang kurang akurat, kita justru mendapat ancaman elite berkeinginan menekan kelompok sipil khas seperti yang dilakukan rezim Orba.

Cara pandang represif tentu bertentangan dengan semangat demokrasi yang kita kembangkan selama ini. Pemerintah perlu kembali memikirkan secara jangka panjang efek terhadap pemangkasan kreativitas dalam regulasi seperti ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar