Senin, 14 Mei 2012

Yunani, Turki, dan Takdir UE


Yunani, Turki, dan Takdir UE
Ahmad Erani Yustika ;  Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
SUMBER :  JAWA POS, 14 Mei 2012



PAGI, 4 April 2012, seorang kakek berusia 77 tahun menembak kepalanya di area Gedung Parlemen Athena, Yunani. Dia terlilit utang dan sudah tidak tahan menghadapi situasi ekonomi Yunani yang kian memburuk. Dengan uang pensiun hanya 300 euro (Rp 3,6 juta) sebulan, kakek tersebut merasa tidak mungkin menanggung beban hidup lagi. Peristiwa itulah yang kemudian memicu demonstrasi besar-besaran esoknya di Athena dan menandai hari-hari serbagelap di Yunani.

Celakanya, pemilu yang digelar tidak memunculkan satu pun partai mayoritas, sedangkan koalisi yang berspektrum luas tidak mudah dibangun. Tampaknya, pemilu akan dilaksanakan ulang, tapi hasil yang penuh ketidakpastian masih menyelimuti negara tersebut. Lebih dramatis, bila nanti yang menjadi penguasa baru Yunani berasal dari partai oposisi kiri (leftish), sikap politik mereka adalah merekomendasikan keluar dari UE (Uni Eropa) dan ingin menentukan masa depan sendiri.

Bila Yunani Keluar dari UE

Sampai akhir 2011, kinerja ekonomi Yunani dapat diterangkan sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi minus 6,9 persen; rasio utang 145 persen terhadap GDP; defisit anggaran 10,6 persen terhadap PDB; dan inflasi 3 persen (Bloomberg, 2011).

Dalam beberapa aspek, situasi Yunani tersebut masih lebih baik ketimbang Indonesia pada megakrisis ekonomi/moneter 1998. Saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok menjadi minus 13,1 persen; inflasi melesat 77,6 persen; dan rasio utang terhadap PDB sekitar 89 persen. Pada level tertentu, penderitaan yang dialami Indonesia lebih parah daripada Yunani saat sekarang.

Sungguh pun begitu, memang disadari, tidak lantas mudah bagi Yunani untuk memulihkan ekonominya karena di balik itu banyak jebakan yang mengintip. Misalnya, tanggungan anggaran untuk membayar gaji pensiun mencapai 12 persen dari PDB. Dari sisi itu saja, bisa dibayangkan berapa anggaran yang harus disisihkan cuma untuk membayar uang pensiun abdi negaranya.

IMF dan UE (lewat European Central Bank/ECB) tentu tidak berpangku tangan melihat kondisi Yunani. Sebab, hal tersebut dapat menjalar ke negara Eropa lainnya yang ekonominya juga parah. Misalnya, Italia, Portugal, Irlandia, dan Spanyol. Sampai kini, IMF sudah mengucurkan bantuan USD 11 miliar (sekitar Rp 100 triliun) ke Yunani dan ECB menyuntikkan USD 1,3 triliun (Rp 11.700 triliun) ke sistem perbankan Eropa demi mencegah perluasan krisis.

Saat ini, IMF dan ECB merencanakan untuk memberikan tambahan modal ke Yunani USD 130 miliar (sekitar Rp 1.170 triliun), tapi dengan syarat harus ada penghematan anggaran yang radikal di Yunani. Syarat tersebut sudah coba dilakukan Yunani tahun lalu. Misalnya, menaikkan pajak dan menurunkan gaji pegawai negeri. Namun, kebijakan itu disambut kecaman warga yang merasa tidak tahan dengan penderitaan. Lewat kebijakan tersebut, IMF dan ECB menargetkan rasio utang Yunani terhadap PDB pada 2020 harus turun menjadi 117 persen. Itu sebetulnya moderat karena selama sembilan tahun rasio utang hanya turun 30 persen.

Tapi, kebijakan tersebut memang tidak akan memberikan hasil cepat. Sebab, pada 2012 ini, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Yunani masih minus 4,5 persen dan baru pada 2014 bisa tumbuh positif. Seperti halnya Indonesia, pemulihan tersebut butuh waktu sekurangnya lima tahun.

Tampaknya, elite politik dan warga Yunani tidak tahan dengan cara itu, sehingga sebagian di antara mereka (yang ditunjukkan hasil pemilu lalu) memilih keluar dari UE agar bisa mendesain kebijakan secara mandiri seperti yang saat ini dikerjakan AS.

Jika pilihan itu yang akan diambil Yunani, harga yang harus dibayar memang cukup besar, baik dari sisi Yunani maupun UE (walaupun ongkos tersebut tidak akan sampai meruntuhkan UE). Yang justru patut disadari Yunani, opsi mengikuti model penyelesaian krisis ala AS bukan berarti jalan yang lebih baik. Terbukti, strategi pelonggaran fiskal (deficit budget) dan moneter (quantitative easing) tak banyak menolong ekonomi Negeri Paman Sam sampai kini.

Turki dan Takdir

Jadi, pilihan ekonomi-politik Yunani, tampaknya, masih kabur sampai akhir tahun. Hanya Prancis dan Jerman yang memberikan ketegasan. Bila tidak mau melakukan pengetatan anggaran, Yunani dipersilakan keluar dari EU.

Sebaliknya, poros lain sedang mengintip untuk merapat ke UE, yaitu Turki. Sudah lama Turki ingin bergabung ke UE, tapi selalu ditolak dengan alasan keterbelakangan ekonomi, demokrasi, serta HAM. Tapi, argumen tersebut sekarang gugur karena tampilan ekonomi Turki yang mengkilap, demokrasi tumbuh subur, dan tidak ada masalah mendasar soal HAM.

Tahun lalu ekonomi Turki tumbuh 8,9 persen, hanya kalah oleh Tiongkok. Pada 2012 ini, ekonomi Turki diproyeksikan tumbuh 4,5-6 persen (saat rata-rata UE tumbuh cuma 2 persen); pendapatan per kapita sekitar USD 12.000 (Rp 108 juta); dan rasio utang terhadap PDB hanya 46 persen (2010). Dengan modal tersebut, kinerja ekonomi Turki jauh lebih sehat ketimbang banyak negara EU lainnya.

Jika Yunani keluar, potensi Turki masuk ke UE menjadi cukup besar. Halangannya hanya dari Jerman dan Prancis yang merasa keberadaan Turki bisa menyisihkan dominasi dua negara itu. Diam-diam, dua negara tersebut sedang cemas melihat perkembangan ekonomi Turki yang begitu pesat, khususnya sejak terpilihnya Recep Tayyib Erdogan sebagai perdana menteri.

Sebaliknya, Italia dan Spanyol mendukung bergabungnya Turki ke UE agar bisa mengimbangi hegemoni Jeman dan Prancis.

Lepas dari itu, saya melihat keberadaan UE sudah tidak relevan karena bobot strategisnya yang mulai meredup. Lebih baik Turki membangun aliansi dengan negara-negara yang diperkirakan akan menjulang abad ini. Misalnya, Tiongkok, India, Brazil, Rusia, Timur Tengah, dan Asia Timur. AS dan UE sedang meratapi nasib, sebaiknya Turki menciptakan takdir bersama para pemenang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar