Iwak Peyek pun
Tidak Menolong Tebu
Dahlan Iskan ; Menteri BUMN
SUMBER : JAWA POS,
14 Mei 2012
SAYA tertegun ketika berkunjung
ke Pabrik Gula Madu Kismo, Jogjakarta, Minggu pagi kemarin. Terutama ketika
melihat ada crane baru di situ. "Baru beli crane ya?"
sapa saya kepada Ir Putu Aria Wangsa, Kabag Instalasi, yang mendampingi saya
naik turun tangga di pabrik gula itu. Crane pengangkat tebu ke mesin
penggilingan itu memang terlihat masih baru. Catnya yang kuning mengkilap
terasa kontras dengan mesin-mesin lain di sekitarnya yang sudah tampak karatan.
"Itu bukan baru, Pak. Itu crane Ayu Azhari," jawab Putu sambil terlihat menahan tawa. Semula saya kurang paham apa maksudnya. Tapi, tawa saya segera meledak ketika Putu menyebut isi Manufacturing Hope 25 yang saya tulis pekan lalu: peralatan pabrik yang tua-tua pun akan kelihatan ayu dan rapi kalau dirawat dengan baik. "Setelah membaca Manufacturing Hope itu kami langsung bersihkan dan mengecat crane itu," tambahnya.
Memang pabrik-pabrik gula milik BUMN umumnya luar biasa kotor dan semrawut. Besi-besi tua berserakan di mana-mana, termasuk di dalam pabrik dan di sekitar mesin. Atap-atap bolong terlihat di seluruh pabrik. Dinding-dindingnya banyak yang compang-camping. Gundukan berbagai material terlihat di berbagai sudut halaman muka dan belakang. Besi-besi karatan mendominasi pemandangan.
Pabrik Gula Madu Kismo yang didirikan pada 1955 termasuk yang paling muda di jajaran pabrik gula BUMN. Juga termasuk yang masih relatif bersih dan teratur dibanding 52 pabrik lainnya. Tapi, tetap saja terasa seperti horor. Padahal, biarpun tua, kalau dirawat dengan baik, pasti berbeda penampilannya. Apalagi, ini pabrik yang mengolah makanan, yang seharusnya identik dengan kebersihan dan keindahan.
"Crane Ayu Azhari" tadi menjadi contoh nyata. Betapa hanya dengan sedikit sentuhan penampilan Madu Kismo terlihat mulai berbeda. Apalagi, kelak kalau bagian-bagian lain juga dirawat dengan cara yang sama. Saya yakin teman-teman di semua pabrik gula mampu mewujudkannya.
Tentu pembenahan fisik itu tidak perlu dilakukan sekarang. Saat ini semua perhatian harus tercurah pada persiapan dimulainya musim giling. Semua energi fokus dulu ke situ. Apalagi, seperti Madu Kismo ini sudah memutuskan memulai giling dua hari lalu, maju seminggu dari kesepakatan awal. Keputusan ini diambil untuk menolong petani tebu di sekitar Jogja dan Purworejo yang lagi berlomba melawan hama uret. Kian mundur dimulainya giling, kian luas hama itu menghancurkan tebu milik petani.
Semula saya heran mengapa hama uret tidak bisa diatasi. Karena itu, setelah urusan di PG Madu Kismo selesai, saya minta diantar ke kebun-kebun yang terkena hama. Saya iba melihat kebun tebu yang meranggas, yang kekuningan, dan yang terlihat sakit-sakitan.
Para petani di Sleman itu mengajak saya masuk lebih dalam ke areal yang terkena uret. Salah seorang di antaranya membawa cangkul. Dia ingin menunjukkan betapa sulitnya mengendalikan uret. Dia mencangkul tanah di bawah tebu yang sakit-sakitan itu. Dalam beberapa kali cangkulan, dia sudah bisa memunguti ulat-ulat gemuk sebesar jari bengkak orang dewasa.
"Dalam satu meter persegi bisa kami temukan 50 uret," ujar Gito Sudarno, petani tebu yang juga ketua DPD (Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Jogjakarta.
Uret-uret itu memakan akar tebu. Di Sleman saja 300 hektare terkena uret. Di Purworejo dua kali lipat luasnya. Itulah sebabnya, tebu yang terkena uret harus segera ditebang. Berarti pabrik gula harus mempercepat musim giling. "Yang sudah terkena uret pun masih bisa menghasilkan 60 persen," ujar Roby Hermawan, petani yang juga pengurus APTR
Di masa lalu berbagai upaya melawan uret itu sudah dilakukan. Berbagai bahan kimia juga sudah dicoba. "Belum ada yang berhasil," tambah Ristiyanto, petani tebu yang juga pengurus nasional APTR.
Bahkan, pernah dicoba gerakan membuat iwak peyek dari uret. Maksudnya agar pemangsa tebu itu balik dimangsa manusia. Gagal juga. Pertama, iwak peyek dari uret tidak segurih iwak peyek dari kacang atau teri. Kedua, uret itu bersembunyi di tanah yang dalam. Sedalam tiga meter pun masih ditemukan uret. Ini benar-benar tantangan bagi ahli dari universitas yang memiliki jurusan khusus bidang pemberantasan hama.
Pernah petani mengubah tanaman tebu menjadi ketela rambat dan ubi kayu. Sama saja. Bahkan, lebih hancur. Lalu ditanami jagung: idem ditto. Menurut para petani, satu-satunya yang tahan uret adalah tanaman wijen. Tapi, hasilnya tidak nyucuk.
Akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali menanam tebu. Biarpun hanya 60 persen dari normal, itu masih lebih menghasilkan daripada tanaman lain. Karena itu, para petani di kawasan tersebut berharap pabrik gula bisa membuat jadwal giling yang cocok untuk mereka.
Cara terbaik untuk mengurangi dampak uret itu, menurut pengalaman para petani yang sudah puluhan tahun bergaul dengan uret, hanyalah: kejar-kejaran waktu. Saat uret belum jadi semacam kepompong, tebu sudah harus ditanam. Ini agar tebu bisa dipanen saat kepompong itu bermetamorfosis menjadi uret. Itu berarti bulan Juni (bulan depan) petani sudah harus kembali menanam tebu.
Dalam proses metamorfosis, kepompong itu akan jadi binatang terbang semacam kwangwung dan menetaskan telur pada bulan tertentu. Saat itu nanti tebu mulai tinggi. Sebaiknya tebu sudah matang untuk ditebang pada awal Mei, menjelang uret gencar-gencarnya menyerang. Itu menurut ilmu para petani berdasar pengalaman mereka yang puluhan tahun. Entahlah, cara ilmiahnya seperti apa.
Memang uret tersebut hanya menyerang tebu di kawasan tertentu. Yakni, di daerah yang tanahnya agak berpasir. Petani menyebut jenis tanah ini dengan istilah "tanah ngompol". Tanah yang biarpun di musim kemarau yang kering masih menyimpan air di dalamnya. Tingkat kebasahan itulah yang membuat kelembaban di dalam tanah sangat ideal untuk berkembang biaknya uret.
Dalam kasus seperti ini pabrik gula memang tidak boleh egois. Tebangan tahap pertama memang harus memprioritaskan tebu dari kawasan rawan seperti ini. Ini persoalan khas Madu Kismo. Saya belum mendengar pabrik gula yang lain mengalami problem yang sama.
Meski begitu, minggu-minggu mendatang saya akan lebih banyak mengunjungi pabrik gula. Saya ingin melihat seberapa semangat masing-masing pabrik gula berbenah diri. Seberapa kuat tekad mereka untuk keluar dari neraka kesulitan selama ini. Saya tahu bahwa seluruh pabrik gula sudah mempunyai tekad baru.
"Itu bukan baru, Pak. Itu crane Ayu Azhari," jawab Putu sambil terlihat menahan tawa. Semula saya kurang paham apa maksudnya. Tapi, tawa saya segera meledak ketika Putu menyebut isi Manufacturing Hope 25 yang saya tulis pekan lalu: peralatan pabrik yang tua-tua pun akan kelihatan ayu dan rapi kalau dirawat dengan baik. "Setelah membaca Manufacturing Hope itu kami langsung bersihkan dan mengecat crane itu," tambahnya.
Memang pabrik-pabrik gula milik BUMN umumnya luar biasa kotor dan semrawut. Besi-besi tua berserakan di mana-mana, termasuk di dalam pabrik dan di sekitar mesin. Atap-atap bolong terlihat di seluruh pabrik. Dinding-dindingnya banyak yang compang-camping. Gundukan berbagai material terlihat di berbagai sudut halaman muka dan belakang. Besi-besi karatan mendominasi pemandangan.
Pabrik Gula Madu Kismo yang didirikan pada 1955 termasuk yang paling muda di jajaran pabrik gula BUMN. Juga termasuk yang masih relatif bersih dan teratur dibanding 52 pabrik lainnya. Tapi, tetap saja terasa seperti horor. Padahal, biarpun tua, kalau dirawat dengan baik, pasti berbeda penampilannya. Apalagi, ini pabrik yang mengolah makanan, yang seharusnya identik dengan kebersihan dan keindahan.
"Crane Ayu Azhari" tadi menjadi contoh nyata. Betapa hanya dengan sedikit sentuhan penampilan Madu Kismo terlihat mulai berbeda. Apalagi, kelak kalau bagian-bagian lain juga dirawat dengan cara yang sama. Saya yakin teman-teman di semua pabrik gula mampu mewujudkannya.
Tentu pembenahan fisik itu tidak perlu dilakukan sekarang. Saat ini semua perhatian harus tercurah pada persiapan dimulainya musim giling. Semua energi fokus dulu ke situ. Apalagi, seperti Madu Kismo ini sudah memutuskan memulai giling dua hari lalu, maju seminggu dari kesepakatan awal. Keputusan ini diambil untuk menolong petani tebu di sekitar Jogja dan Purworejo yang lagi berlomba melawan hama uret. Kian mundur dimulainya giling, kian luas hama itu menghancurkan tebu milik petani.
Semula saya heran mengapa hama uret tidak bisa diatasi. Karena itu, setelah urusan di PG Madu Kismo selesai, saya minta diantar ke kebun-kebun yang terkena hama. Saya iba melihat kebun tebu yang meranggas, yang kekuningan, dan yang terlihat sakit-sakitan.
Para petani di Sleman itu mengajak saya masuk lebih dalam ke areal yang terkena uret. Salah seorang di antaranya membawa cangkul. Dia ingin menunjukkan betapa sulitnya mengendalikan uret. Dia mencangkul tanah di bawah tebu yang sakit-sakitan itu. Dalam beberapa kali cangkulan, dia sudah bisa memunguti ulat-ulat gemuk sebesar jari bengkak orang dewasa.
"Dalam satu meter persegi bisa kami temukan 50 uret," ujar Gito Sudarno, petani tebu yang juga ketua DPD (Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Jogjakarta.
Uret-uret itu memakan akar tebu. Di Sleman saja 300 hektare terkena uret. Di Purworejo dua kali lipat luasnya. Itulah sebabnya, tebu yang terkena uret harus segera ditebang. Berarti pabrik gula harus mempercepat musim giling. "Yang sudah terkena uret pun masih bisa menghasilkan 60 persen," ujar Roby Hermawan, petani yang juga pengurus APTR
Di masa lalu berbagai upaya melawan uret itu sudah dilakukan. Berbagai bahan kimia juga sudah dicoba. "Belum ada yang berhasil," tambah Ristiyanto, petani tebu yang juga pengurus nasional APTR.
Bahkan, pernah dicoba gerakan membuat iwak peyek dari uret. Maksudnya agar pemangsa tebu itu balik dimangsa manusia. Gagal juga. Pertama, iwak peyek dari uret tidak segurih iwak peyek dari kacang atau teri. Kedua, uret itu bersembunyi di tanah yang dalam. Sedalam tiga meter pun masih ditemukan uret. Ini benar-benar tantangan bagi ahli dari universitas yang memiliki jurusan khusus bidang pemberantasan hama.
Pernah petani mengubah tanaman tebu menjadi ketela rambat dan ubi kayu. Sama saja. Bahkan, lebih hancur. Lalu ditanami jagung: idem ditto. Menurut para petani, satu-satunya yang tahan uret adalah tanaman wijen. Tapi, hasilnya tidak nyucuk.
Akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali menanam tebu. Biarpun hanya 60 persen dari normal, itu masih lebih menghasilkan daripada tanaman lain. Karena itu, para petani di kawasan tersebut berharap pabrik gula bisa membuat jadwal giling yang cocok untuk mereka.
Cara terbaik untuk mengurangi dampak uret itu, menurut pengalaman para petani yang sudah puluhan tahun bergaul dengan uret, hanyalah: kejar-kejaran waktu. Saat uret belum jadi semacam kepompong, tebu sudah harus ditanam. Ini agar tebu bisa dipanen saat kepompong itu bermetamorfosis menjadi uret. Itu berarti bulan Juni (bulan depan) petani sudah harus kembali menanam tebu.
Dalam proses metamorfosis, kepompong itu akan jadi binatang terbang semacam kwangwung dan menetaskan telur pada bulan tertentu. Saat itu nanti tebu mulai tinggi. Sebaiknya tebu sudah matang untuk ditebang pada awal Mei, menjelang uret gencar-gencarnya menyerang. Itu menurut ilmu para petani berdasar pengalaman mereka yang puluhan tahun. Entahlah, cara ilmiahnya seperti apa.
Memang uret tersebut hanya menyerang tebu di kawasan tertentu. Yakni, di daerah yang tanahnya agak berpasir. Petani menyebut jenis tanah ini dengan istilah "tanah ngompol". Tanah yang biarpun di musim kemarau yang kering masih menyimpan air di dalamnya. Tingkat kebasahan itulah yang membuat kelembaban di dalam tanah sangat ideal untuk berkembang biaknya uret.
Dalam kasus seperti ini pabrik gula memang tidak boleh egois. Tebangan tahap pertama memang harus memprioritaskan tebu dari kawasan rawan seperti ini. Ini persoalan khas Madu Kismo. Saya belum mendengar pabrik gula yang lain mengalami problem yang sama.
Meski begitu, minggu-minggu mendatang saya akan lebih banyak mengunjungi pabrik gula. Saya ingin melihat seberapa semangat masing-masing pabrik gula berbenah diri. Seberapa kuat tekad mereka untuk keluar dari neraka kesulitan selama ini. Saya tahu bahwa seluruh pabrik gula sudah mempunyai tekad baru.
Kerja, kerja, kerja.
Saya bangga ketika menerima informasi bahwa kini sudah ada pegawai yang berani menolak suku cadang pabrik yang tidak memenuhi spek. Itulah suku cadang yang kalau dipaksakan akan membuat pabrik lebih sering berhenti giling.
Kalau saja pembenahan manajemen tahun ini berhasil, masih ada pekerjaan besar lain tahun depan. Yakni, perang melawan lahan dan tanaman fiktif. Tidak boleh lagi pabrik memiliki lahan dan tanaman yang hanya ada di atas kertas, tapi kenyataannya tidak ada di lapangan. Biayanya sudah banyak keluar, tapi tebunya tidak ada.
Pekerjaan lain yang menanti adalah, itu tadi, pembersihan pabrik secara total. Ketika musim giling selesai, pembenahan pabrik harus dilakukan. Bagian-bagian pabrik yang kumuh, tidak rapi, gundukan-gundukan, dan besi-besi tua harus dirapikan. Memang ada kesalahan saya di sini: tidak segera mengubah peraturan Menteri BUMN yang menghambat terjadinya pembenahan ini.
Saya berjanji untuk dalam satu-dua hari ini mencabut peraturan itu. Dengan demikian, manajemen tidak ragu lagi dalam menyingkirkan benda-benda yang membuat kotor itu.
Kabar baik yang lain datang dari Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Beliau sudah memutuskan yang boleh mengimpor raw sugar nanti adalah pabrik gula milik BUMN. Tujuannya menambah efisiennya pabrik gula kita.
Dulu memang ada janji bahwa importer raw sugar haruslah yang punya pabrik gula, atau yang berjanji segera membangun pabrik gula. Sampai hari ini, setelah sekian tahun impor raw sugar diberikan, memang belum ada yang membangun pabrik gula.
Impor raw sugar itu nanti juga dijatuhkan tepat pada saat pabrik gula hampir selesai melakukan giling. Maksudnya, agar selesai menggiling tebu, pabrik gula bisa langsung menggiling raw sugar. Karena itu, pabrik gula yang baik akan mendapat kesempatan menambah efisien dengan cara menggiling raw sugar.
Hanya manajemen pabrik gula yang baik yang akan mendapat kepercayaan itu. Sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Hidup Ayu Azhari! ●
Saya bangga ketika menerima informasi bahwa kini sudah ada pegawai yang berani menolak suku cadang pabrik yang tidak memenuhi spek. Itulah suku cadang yang kalau dipaksakan akan membuat pabrik lebih sering berhenti giling.
Kalau saja pembenahan manajemen tahun ini berhasil, masih ada pekerjaan besar lain tahun depan. Yakni, perang melawan lahan dan tanaman fiktif. Tidak boleh lagi pabrik memiliki lahan dan tanaman yang hanya ada di atas kertas, tapi kenyataannya tidak ada di lapangan. Biayanya sudah banyak keluar, tapi tebunya tidak ada.
Pekerjaan lain yang menanti adalah, itu tadi, pembersihan pabrik secara total. Ketika musim giling selesai, pembenahan pabrik harus dilakukan. Bagian-bagian pabrik yang kumuh, tidak rapi, gundukan-gundukan, dan besi-besi tua harus dirapikan. Memang ada kesalahan saya di sini: tidak segera mengubah peraturan Menteri BUMN yang menghambat terjadinya pembenahan ini.
Saya berjanji untuk dalam satu-dua hari ini mencabut peraturan itu. Dengan demikian, manajemen tidak ragu lagi dalam menyingkirkan benda-benda yang membuat kotor itu.
Kabar baik yang lain datang dari Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Beliau sudah memutuskan yang boleh mengimpor raw sugar nanti adalah pabrik gula milik BUMN. Tujuannya menambah efisiennya pabrik gula kita.
Dulu memang ada janji bahwa importer raw sugar haruslah yang punya pabrik gula, atau yang berjanji segera membangun pabrik gula. Sampai hari ini, setelah sekian tahun impor raw sugar diberikan, memang belum ada yang membangun pabrik gula.
Impor raw sugar itu nanti juga dijatuhkan tepat pada saat pabrik gula hampir selesai melakukan giling. Maksudnya, agar selesai menggiling tebu, pabrik gula bisa langsung menggiling raw sugar. Karena itu, pabrik gula yang baik akan mendapat kesempatan menambah efisien dengan cara menggiling raw sugar.
Hanya manajemen pabrik gula yang baik yang akan mendapat kepercayaan itu. Sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Hidup Ayu Azhari! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar