Senin, 14 Mei 2012

Tragedi Sukhoi dan Peluang PT DI


Tragedi Sukhoi dan Peluang PT DI
Jusman Dalle ;  Analis Society Research and Humanity Development (Serum) Institute
SUMBER :  JAWA POS, 15 Mei 2012



TRAGEDI Sukhoi Superjet 100 (SSJ 100) adalah pertaruhan kredibilitas bagi industri pesawat komersial Rusia. Pesawat tipe menengah itu merupakan produk pertama yang sekaligus menandai bangkitnya industri pesawat sipil pasca bubarnya Uni Soviet. Selama ini Rusia memang dikenal andal dalam memproduksi jet-jet tempur untuk keperluan militer. Namun, beberapa kali negara itu gagal bersaing dalam industri pesawat sipil.

Sejumlah industri pesawat komersial dari negara itu telah berguguran karena tak mampu bersaing dengan dua raksasa industri pesawat komersial, Boeing dan Airbus. SSJ 100 telah dipersiapkan dua puluh tahun, yaitu sejak dekade 1990 dan digadang-gadang masuk ke segmen industri pesawat komersial menengah. Proyek ini didukung penuh oleh pemerintah Rusia dan dikatakan sebagai proyek nasional yang cukup penting. Kejelian Sukhoi dan pemerintah Rusia membaca lalu membidik segmen menengah tidak lepas dari dua alasan.

Pertama, persaingan di segmen itu tidak sekeras di segmen atas yang didominasi Boeing (Amerika Serikat) dan Airbus (Eropa, berbasis di Prancis). Di segmen menengah hanya ada dua pemain utama, yaitu Embraer dari Brazil dan Bombardier dari Kanada. Keduanya tak sulit ditaklukkan oleh Sukhoi yang memiliki nama besar. SSJ 100 pun termasuk pesawat paling modern karena dilengkapi semua teknologi penerbangan terbaru.

Kedua, penumpang pada segmen ini cukup potensial. Yaitu, penumpang dengan penerbangan rute pendek yang umumnya semakin banyak seiring dengan kebutuhan mobilitas manusia yang kian cepat. Apalagi untuk negara kepulauan seperti Indonesia. Harga SSJ 100 ditengarai lebih murah daripada pesawat sejenis. Tak hanya itu, SSJ 100 juga terbilang hemat bahan bakar sehingga memungkinkan harga tiket lebih murah dan mudah dijangkau masyarakat.

Di negara-negara dengan tingkat daya beli masyarakat sudah masuk ke level menengah, seperti Tiongkok dan Indonesia serta India, Sukhoi berpotensi menguasai pangsa ini. Namun, tragedi Gunung Salak menghadang upaya Sukhoi membuka ladang pesawat komersial ini.

Industri Pesawat BUMN

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI menyebut, 30 unit pesawat SSJ 100 telah dipesan. Maskapai yang memesan adalah Kartika Airlines, Pelita Air, Sky Aviation, PT Dirgantara Air Service, PT Sabang Merauke Air Service, dan PT Merukh Ama Coal. Pesawat pesanan dari maskapai di Indonesia tersebut rencananya mulai dikirim pada 2013.

Belakangan, kita memang menyaksikan bandara-bandara di Indonesia kian padat. Selain semakin tingginya pendapatan masyarakat, fenomena low cost carrier atau tiket pesawat dengan harga terjangkau menyebabkan sebagian pengguna moda transportasi laut dan darat berpindah ke moda transportasi udara.

Ini adalah peluang bagi semua sektor yang berhubungan dengan industri penerbangan, termasuk oleh PT Dirgantara Indonesia (dulu Industri Pesawat Terbang Nusantara) memiliki kejayaan memproduksi pesawat sendiri. Kita tentu ingin BUMN yang satu ini tak hanya memproduksi komponen-komponen di tengah peluang yang sangat besar, namun justru diambil alih oleh orang lain.

Potensi besar transportasi udara diprediksi semakin membaik seiring dengan dukungan pemerintah yang terus membenahi infrastruktur penerbangan seperti pembangunan bandara baru atau renovasi bandara lama. Pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi juga turut memacu daerah untuk berlomba dalam membangun bandara udara baru.

Artinya, pasar baru untuk industri penerbangan, dari hulu seperti pembuatan pesawat hingga ke hilir. Ini tantangan bagi PT DI sebagai perusahaan pelat merah. PT DI harus bisa memanfaatkan momentum untuk melipatgandakan kapasitas. Dari yang tadinya hanya memproduksi komponen, menjadi memproduksi pesawat.

Soal kemampuan sumber daya manusia, saya pikir Indonesia cukup baik. Bukankah banyak warga negara Indonesia yang bekerja pada industri pesawat luar negeri? Tak kurang dari 100 insinyur Indonesia yang bekerja di Amerika, Eropa, Kanada, dan Brazil. Lebih dari 30 orang di antara "alumni IPTN" bahkan direkrut Boeing, raksasa industri pesawat di Amerika, dengan jabatan cukup tinggi, seperti senior leader dan membawahkan puluhan insinyur penerbangan dari negara lain.

IPTN bahkan pernah mendapat pesanan 120 pesawat Casa N-250 yang diproduksi pada 1997. Namun, pabrik burung besi itu harus ditutup atas instruksi International Monetery Fund (IMF) yang kala itu memegang kendali ekonomi Indonesia. Kini potensi besar industri burung besi di depan mata. Semoga PT DI segera mewujudkan impian kita bersama, kembali memproduksi pesawat.

" Dik, Anda semua lihat sendiri, N-250 bukan pesawat asal-asalan dibikin! Pesawat itu sudah terbang tanpa mengalami 'Dutch Roll' (oleng berlebihan). Teknologi pesawat itu sangat canggih dan dipersiapkan untuk 30 tahun ke depan. Diperlukan waktu lima tahun untuk melengkapi desain awal, satu-satunya pesawat turboprop di dunia yang mempergunakan teknologi 'fly by wire', bahkan sampai hari ini".

Kutipan dari arsitek penerbangan Indonesia, Prof Dr Ing B.J. Habibie yang disampaikan di Bandara Soekarno Hatta pada 12 Januari 2012 lalu itu sepantasnya menjadi refleksi kita semua. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar