Surat Pembaca
Aseng Bagian Pers
Atmakusumah ; Pengamat
Pers;
Anggota Dewan Penyantun
Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
SUMBER : KOMPAS, 15
Mei 2012
LBH Pers saat ini sedang mengadakan
eksaminasi publik untuk membahas putusan kasasi Mahkamah Agung. Putusan itu
mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi
Jakarta tentang surat pembaca yang dimuat di media.
Penulis surat pembaca, Aseng—lengkapnya Khoe
Seng Seng—adalah pemilik kios di pusat perdagangan Mangga Dua, Jakarta Utara.
Ia dijatuhi hukuman penjara enam bulan dalam masa percobaan satu tahun karena
dituduh ”menista” lewat surat pembaca di harian Kompas dan Suara Pembaruan.
Surat pembaca Aseng mengandung opini selain
serangkaian fakta. Ia mengeluhkan ketidakjelasan informasi ketika membeli kios
di pusat perdagangan Mangga Dua.
Sejak membeli kios itu pada 2003 dari PT Duta
Pertiwi, ia tidak pernah mendapat keterangan bahwa status tanah tempat
kios-kios dibangun adalah milik Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta. Saat memperpanjang sertifikat hak guna bangunan (HGB) yang berakhir 17
Juli 2008, barulah ia tahu kios-kios itu bukan ”HGB murni di atas tanah milik
bersama” melainkan berstatus ”HGB di atas tanah dengan hak pengelolaan lahan
(HPL) milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta”.
Surat pembaca Aseng dimuat di Kompas pada 26
September 2006, berjudul ”Duta Pertiwi Bohong”. Sementara di Suara Pembaruan
dimuat 20 November 2006 berjudul ”Jeritan Pemilik Kios ITC Mangga Dua”.
Pendapat Aseng dalam karya jurnalistik sama
dengan ”opini interpretatif” karena dilengkapi dengan fakta-fakta yang
mendukung opini itu. Kode Etik Jurnalistik yang berlaku, disepakati 29
organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers pada 14 Maret 2006,
menyatakan pada Pasal 3: ”Wartawan Indonesia ... tidak mencampurkan fakta dan
opini yang menghakimi....”
Penjelasan c untuk pasal ini menyatakan:
”Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan
opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas
fakta”.
Hak Jawab
Baik Kompas maupun Suara Pembaruan telah
memenuhi kewajibannya sesuai dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik untuk
memuat surat tanggapan berupa penjelasan dari perusahaan penjual kios yang
dimiliki Aseng. Dengan demikian, publik sebagai pembaca kedua surat kabar ini
memperoleh informasi yang obyektif dan komprehensif dari kedua pihak yang
bersengketa. Kedua pihak diperlakukan adil oleh kedua surat kabar.
Kompas pada 4 Oktober 2006 memuat surat
bantahan Suyono Sanjaya, GM Legal PT Duta Pertiwi Tbk, berjudul ”Status HGB di
Atas HPL”. Suara Pembaruan menyajikan surat tanggapan Dhony Rahajoe, Corporate Communications General Manager
Sinarmas Developer & Real Estate, berjudul ”PT Duta Pertiwi Tbk. Tidak
Menipu”.
Mengenai hak jawab, UU Pers menjelaskan pada
Butir 11 Pasal 1: ”Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk
memberikan tanggapan dan sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang
merugikan nama baiknya.” Pasal 5 ayat (2) menegaskan, ”Pers wajib melayani Hak
Jawab.” Sementara Kode Etik Jurnalistik menyatakan pada Pasal 11 bahwa:
”Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.”
Penafsiran pasal ini tentang hak jawab sama dengan penjelasan UU Pers.
Kebebasan Pers
Gugatan hukum pidana terhadap surat pembaca
Aseng akan membuat Indonesia kembali mendapat peringkat rendah dalam hal
kebebasan pers. Lebih-lebih karena isi surat dipersalahkan ketiga tingkat
pengadilan, dari pengadilan negeri sampai ke Mahkamah Agung. Inilah yang disebut
”kriminalisasi pers”, menganggap isi media pers sebagai kejahatan.
Reporter Tanpa Perbatasan (Reporters sans frontières, RSF) yang
meneliti kebebasan pers di 179 negara menempatkan kebebasan pers Indonesia pada
peringkat ke-146 tahun 2011. Bandingkan dengan penelitian RSF tahun 2002 yang
menempatkan kebebasan pers di Indonesia pada peringkat ke-57 dari 139 negara.
Salah satu penyebab memburuknya kebebasan
pers di Indonesia adalah sejumlah putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman
penjara bagi wartawan karena karya jurnalistiknya. Pasal-pasal hukum yang
dikenakan berupa mencemarkan nama baik atau menghina, sama halnya yang
dituduhkan pada surat Aseng.
RSF secara khusus menyebutkan penggunaan
”hukum yang ketinggalan zaman (outdated
laws)” terhadap pers sebagai salah satu alasan untuk menempatkan kebebasan
pers di Indonesia pada peringkat rendah. Hukum ketinggalan zaman itu terutama
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), warisan pemerintah kolonial
Belanda.
Di banyak negara demokrasi yang menjamin
kebebasan pers dan kebebasan-kebebasan dasar lainnya, isi media pers tidak
harus menyebabkan pengelolanya masuk penjara, melainkan hanya dikenai sanksi
denda (untuk perkara pidana) atau ganti rugi (dalam perkara perdata). Sanksi
demikian tidak menyebabkan kalangan pers dan masyarakat menjadi orang-orang
yang takut mengungkapkan pandangan serta aspirasi mereka.
Pemakaian pasal pidana terhadap pekerjaan
pers dianggap melanggar kaidah universal dan standar internasional tentang
kebebasan berekspresi dan berpendapat. Komite Hak-hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United
Nations Human Rights Committee) memandang penggunaan undang-undang pidana
dengan sanksi hukum badan atau penjara bagi gugatan defamation atau libel—seperti
fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penistaan—sebagai pelanggaran
terhadap kebebasan berekspresi.
Hapus Ketentuan Pidana
Komite HAM PBB juga menyatakan, sanksi
penjara ”bertentangan dengan Pasal 19 ayat 3 International Covenant on Civil Political Rights (Perjanjian
Internasional mengenai Hak-hak Politik Warga)” atau kebebasan berekspresi. Ini
menanggapi perkara Alexander Adonis, penyiar Bombo Radyo di Davao, Filipina,
yang dituduh menghina atau mencemarkan nama baik (libel) dalam siaran radionya.
Penghapusan ketentuan hukum pidana tentang
pencemaran nama baik (defamation),
penghinaan (insult), fitnah (slander,
libel), dan kabar bohong (false news),
atau pengalihan dari pidana ke perdata sudah dilakukan di banyak negara
demokrasi termasuk Timor Lorosa’e. ”Perintah Eksekutif (Executive Order) UNTAET” pada 7 September 2000 menetapkan Pasal 310
sampai 321 KUHP tentang Penghinaan sebagai bukan-tindak-pidana.
Di Afrika, Presiden Niger Mahamadou Issoufou
pada 30 November 2011 menjadi kepala negara pertama yang menandatangani Declaration of Table Mountain yang
menyerukan agar mencabut pasal hukum pidana tentang pencemaran nama baik (defamation) dan penghinaan (insult) di Afrika. Deklarasi itu juga
menyerukan untuk meletakkan kebebasan pers pada tempat yang tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar