Selasa, 15 Mei 2012

Menuntaskan Transisi Politik di Mesir


Menuntaskan Transisi Politik di Mesir
Ibnu Burdah ;  Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
SUMBER :  KOMPAS, 15 Mei 2012



Gaung dan pengaruh peristiwa-peristiwa politik di Mesir terhadap negara-negara Arab lain amatlah besar. Dalam konteks transisi politik menuju demokrasi, deretan peristiwa di Mesir akhir-akhir ini menyita paling banyak perhatian, bahkan melampaui perhatian terhadap peristiwa-peristiwa politik serupa di Tunisia, negara ”pelopor” revolusi rakyat Arab saat ini.

Jika Mesir mampu melewati masa-masa krusial ini dengan baik, niscaya negara itu bukan hanya memperoleh perhatian luas. Mereka juga berpeluang menjadi salah satu model bagi proses transisi di negara-negara Arab lain yang sedang menapaki jalan perubahan. Harapan akan kesuksesan pemilu presiden yang segera digelar tersebut itu cukup besar, setidaknya didukung oleh fakta-fakta berikut.

Pertama, kuatnya kesadaran rakyat bahwa merekalah yang paling berhak menentukan masa depan negerinya, setidaknya melalui pemilu. Mereka juga memiliki keberanian luar biasa untuk memperjuangkan hak tersebut. Hal ini membuat Mesir tidak mungkin lagi mundur ke era kediktaktoran sebagaimana masa-masa sebelumnya. Meski demikian, hal itu juga bukan berarti jaminan bahwa negeri ini akan melampaui proses pemilu presiden dengan mulus.

Kedua, kekuatan politik di Mesir telah terdifusi pada banyak aktor yang memungkinkan terjadinya saling mengawasi. Bukan hanya di trias politika-nya, juga di masyarakat dan di jalanan. Pers, kaum intelektual, pemuda revolusioner adalah situs-situs kekuatan baru Mesir yang tak bisa diabaikan. Kekuasaan sudah tak mungkin lagi hanya bertumpu pada senjata dan aparat kekerasan, sebagaimana masa sebelumnya. Semua kekuatan penting ini akan berupaya mengawal proses transisi ini agar sesuai jalur yang dibentangkan revolusi 25 Januari 2011, setidaknya mereka akan berteriak lantang ketika proses perubahan dibelokkan.

Ketiga, Mesir adalah negara dengan tradisi akademik dan kultur yang kuat. Sekalipun kebebasan berpolitik praktis dihambat selama masa Mubarak, khazanah dan perkembangan intelektual dan budaya tetap berkembang pesat. Hal ini bisa jadi kapital berharga untuk mengawal proses transisi ini secara damai menuju cita-cita revolusi.

Hambatan

Namun, pemilu presiden dalam iklim seperti sekarang ini adalah pengalaman baru dalam sejarah Mesir. Pemilu presiden sebelumnya tidak pernah diikuti lebih dari satu kontestan, kecuali pada tahun 2005 ketika Ayman Nur dari partai al-Ghad berani ”melawan” Mubarak pada pemilu presiden. Patut disesalkan, ia dan beberapa tokoh potensial lain dianulir dari kandidat presiden pada pemilu kali ini.

Saat ini, pemilu diikuti 13 kontestan yang disaring dari 25 orang yang mendaftarkan diri. Suasana kebebasan, di mana semua orang dan kelompok bisa berteriak lantang tanpa kemampuan mendengar yang lain secara memadai, juga atmosfer baru di langit politik Mesir. Oleh karena itu, tidak ada jaminan pemilu presiden sekarang akan berjalan mulus tanpa rintangan berarti.

Hal ini terutama mengingat beberapa hal. Pertama, anasir- anasir rezim lama tidak bisa dipandang remeh. Kendati mereka saat ini masih tiarap atau menyusup ke organ-organ hasil revolusi, seperti organisasi pemuda dan partai politik atau bahkan LSM, mereka adalah orang-orang yang memiliki sumber daya amat besar sebagai hasil berkuasa dalam waktu lama.

Bagi mereka, keberhasilan pemilu ancaman nyata. Sebab ”revolusi politik” di Mesir berarti satu paket dengan pengadilan terhadap kejahatan anasir-anasir rezim lama. Kondisi ini masih diperburuk dengan dianulirnya beberapa tokoh dengan pengikut kuat, seperti Abu Ismail, Ayman Nur, dan Umar Sulaiman.

Kedua, Dewan Militer yang secara de facto berkuasa saat ini juga tak bisa dilepaskan dari rezim Mubarak. Meskipun didesak oleh hampir semua kekuatan partai dan kekuatan revolusioner, Dewan Militer belum juga menyerahkan kekuasaan kepada sipil hasil pemilu. Meskipun mengajukan berbagai argumen, terus molornya penyerahan kekuasaan itu dipandang sebagai bagian dari upaya Dewan Militer untuk tetap berkuasa.

Pemberlakuan jam malam beberapa hari ini kian menegaskan mereka. Sebagian pihak bahkan menuding Dewan Militer berupaya keras memegang kendali kekuasaan agar mampu memengaruhi, bahkan melakukan kecurangan, pada pemilu presiden.

Ketiga, faktor lain yang tidak bisa diabaikan, keinginan kuat negara-negara asing untuk mencegah Mesir jadi negara besar demokrasi yang stabil di Timur Tengah. Sebab, hal itu potensial menjadi ancaman bagi mereka.

Sebagai contoh, beberapa negara dengan kekuatan uang hampir tak terbatas di Timur Tengah berupaya mempertahankan kekuasaan mereka dengan cara menunjukkan akibat-akibat dari gerakan revolusioner rakyat yang ternyata hanya membawa kesengsaraan dan penderitaan. Mereka tampaknya juga menginginkan agar hal itu benar-benar terbukti di lapangan. Keinginan itu amat jelas dari siaran televisi mereka yang cenderung hanya mengupas sisi negatif revolusi rakyat di negara-negara Arab.

Dan, yang tidak diragukan lagi adalah Israel dan Amerika Serikat, yang sejak jatuhnya Mubarak terus berupaya memengaruhi arah politik luar negeri negara itu. Aspirasi rakyat bawah Mesir amat jelas: cenderung menolak kerja sama dengan dua negara tersebut. Artinya, kesuksesan pemilu presiden kali ini bisa menjadi sumber ancaman bagi masa depan hubungan mereka dengan Mesir.

Jika bangsa Mesir mampu melampaui rintangan-rintangan itu, dan pemilu presiden sekarang berhasil melahirkan pemerintahan demokratis yang stabil, maka satu episode transisi politik dari kediktaktoran menuju demokrasi di Mesir sudah dituntaskan. Itu artinya, Mesir baru siap menatap masa depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar