Selasa, 15 Mei 2012

Mengembalikan Kasih pada Politik


Mengembalikan Kasih pada Politik
Yudi Latif ;  Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
SUMBER :  KOMPAS, 15 Mei 2012



Air mata berderai membasahi pipi Ibu Pertiwi, mengiringi kepergian korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak. Namun, di balik air mata kematian, ada mata air kehidupan yang menyemburkan harapan pada bangsa. Relawan sipil, TNI, dan polisi, tanpa kalkulasi untung rugi, terpanggil menyatukan diri ke dalam tugas mulia mengevakuasi korban.

Sikap altruis para relawan itu menjaga kewarasan kita sebagai bangsa manusia. Filsuf Konfusius, Mencius, meyakini bahwa jiwa manusia sehat tidak akan kosong dari rasa simpati kepada sesama. Jika seseorang melihat anak kecil berdiri di tubir jurang, secara refleks dia akan menghela anak tersebut tanpa sempat berpikir apa suku, agama, atau keuntungan yang didapat.

Mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri adalah kaidah emas bagi kebahagiaan hidup. Kebahagiaan tertinggi, menurut Viktor Frankl, tidaklah terengkuh melalui pencapaian kehendak untuk bersenang (the will to pleasure) atau kehendak untuk berkuasa (the will to power), tetapi dalam pencapaian kehendak menemukan makna (the will to meaning).

Dalam istilah Karen Armstrong, ”Neokorteks kita telah menjadikan kita makhluk pencari makna yang menyadari akan kebingungan dan tragedi nestapa kita, dan jika kita tidak menemukan semacam arti paling mendalam dari hidup, kita mudah jatuh ke dalam keputusasaan”. Adapun makna hidup terengkuh dengan jalan mengembangkan welas asih: bergembira dalam kebahagiaan yang lain dan bersedih dalam kepedihan yang lain.

Ketulusan welas asih yang ditunjukkan para relawan bak tetes hujan di tengah terik kehidupan publik yang ditandai oleh perlombaan korupsi, menimbun harta, mementingkan diri, saling membohongi dan mengkhianati, serta mengembangkan kebencian dan permusuhan terhadap yang beda.

Para pemimpin negara yang semestinya menjadi gembala pelindung justru menjadikan perut mereka sebagai kuburan bagi rakyatnya sendiri. Di saat banyak rakyat menjerit karena kemiskinan, pengangguran, dan melemahnya daya beli, para penyelenggara negara justru sibuk menaikkan gaji dan tunjangan, mempersolek ruangan dan halaman, serta memewahkan sarana transportasi pribadi. Saat warga dan kelompok kewargaan merasa terancam oleh merebaknya tindak kekerasan, aparatur keamanan justru berpihak pada protagonis kekerasan.

Penyelenggara negara yang semestinya menguatkan solidaritas emosional warga dengan solidaritas fungsional berbasis perundangan dan kebijakan negara yang berorientasi kesejahteraan dan pemerataan justru lebih berintervensi secara ad hoc dalam bentuk-bentuk solidaritas emosional-karitatif. Partai dan pemimpin politik yang dalam kinerja institusionalnya lebih berpihak pada kepentingan korporatokrasi berlomba mengesankan populisme secara aji mumpung lewat bantuan musiman saat bencana atau menjelang pemilihan umum.

Para pemimpin dituntut mawas diri. Dalam terang mawas diri ini, akan tampak bahwa kesulitan warga meraih kebahagiaan hidup disebabkan tabiat pemimpin yang tertawan di kebahagiaan rendah karena rangkaian panjang keinginan yang tak pernah berakhir. Sa’di berkisah, ”Seorang raja yang rakus bertanya kepada seseorang yang taat tentang jenis ibadah apa yang paling baik. Dia menjawab, ’Untuk Anda, yang paling baik adalah tidur setengah hari sehingga tidak merugikan atau melukai rakyat meski untuk sesaat’.”

Adalah tugas para pemimpin untuk menciptakan surga di dunia dengan memulihkan kebahagiaan rakyatnya. Dunia dapat menjadi surga ketika kita saling mencintai, mengasihi, melayani, serta saling menjadi sarana bagi pertumbuhan batin dan keselamatan. Dunia juga bisa menjadi neraka jika kita hidup dalam rongrongan rasa sakit, pengkhianatan, kehilangan cinta, dan miskin perhatian.

Thich Nhat Hanh, dalam The Miracle of Mindfulness, mengisahkan seorang raja yang selalu ingin membuat keputusan yang benar. Raja itu mengajukan pertanyaan kepada seorang biksu. ”Kapan waktu terbaik mengerjakan sesuatu? Siapa orang paling penting untuk bisa bekerja sama? Apakah perbuatan terpenting untuk dilakukan sepanjang waktu?”

Biksu itu pun menjawab, ”Waktu terbaik adalah sekarang, orang terpenting adalah orang terdekat, dan perbuatan terpenting sepanjang waktu adalah memberikan kebahagiaan bagi orang sekelilingmu.”

Penghormatan besar publik dunia kepada Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Nelson Mandela, Dalai Lama, dan Abdurrahman Wahid mengisyaratkan bangsa manusia merindukan bentuk kepemimpinan yang lebih berprinsip dan penuh welas asih.

Dalam hal ini, Bung Hatta berpesan kepada para pemimpin kita. ”Indonesia, luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri.” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar