Ling Lang Ling
Lung Buaya Putih
Tandi Skober ; Penasihat Kebudayaan Indonesia
Police Watch
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 12 Mei 2012
ADAKAH
ini isyarat langitan ketika meja marmer di ruang Istana Merdeka Jakarta ambruk
(10/1), Wamen Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo meninggal
(21/4), dan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih wafat Rabu (2/5)?
Tentu, tidak. Pada titik terjauh, roh manusia akan kembali ke Sang Pemilik,
Allah SWT.
Meski
begitu, meja marmer ambruk pecah saat Presiden Yudhoyono melantik Wantimpres
Albert Hasibuan dalam perspektif metafisika nagari
hayuningrat kerap ditengarai sebagai sinyal kewibawaan negara telah
terpuruk di ruang tak berbentuk. Negara batin wong Cirebon mengadopsi hal itu
sebagai, “Yen wis tibo titiwancine, niki
sing disebat nagari pager doyong apa jare gebrage bae.“ Terjemahan bebasnya
bahwa pada titik tertentu, ketika pilar rapuh, yang tersisa adalah negara
gagal.
Nagari pager doyong bernama Indonesia ini--dengan
indeks kumulatif 83,1--diposisikan majalah Foreign
Policy dan Yayasan Fund for Peace
sebagai negara gagal (failed states).
Itu ditandai dengan adanya banyak hal tentang luka kultural yang diciptakan
para penguasa bergincu culas. Suara bruk
saat marmer pecah itu mengisyaratkan suara risau yang menuturkan ilalang
kering. Ketika kemarau tiba, dengan sedikit percikan api, Indonesia hanya
tinggal asap, abu, dan debu di ruang peradaban tanpa jenis kelamin.
Nini Towok
Catatan
tadi mengingatkan saya kepada dialektika pergulatan kultural Cirebon seputar
mitos buaya putih yang kerap muncul di Kali Cimanuk saat negeri dalam posisi pager doyong. Buaya putih itu sosok (khewan) hewan kutukan yang bersemayam di
garis batas air asin dan air tawar Sungai Cimanuk Indramayu.
Buaya putih itu diyakini sebagai jelmaan gaib sosok pesinden--mohon tidak dibaca `presiden'--bernama Saida Saini. Tertuturkan bahwa Saida Saini tidak hanya memuja gemerlap emas. Ia juga bersetubuh dengan setan merkayangan. Tersebab itu, ia menjadi idola, cerita citra juga dolanan kebudayaan penguasa era itu. Hingga pada titik terjauh saat sadar ia tersesat, saat itulah, `saida-saini' menjadi buaya putih.
Buaya putih itu diyakini sebagai jelmaan gaib sosok pesinden--mohon tidak dibaca `presiden'--bernama Saida Saini. Tertuturkan bahwa Saida Saini tidak hanya memuja gemerlap emas. Ia juga bersetubuh dengan setan merkayangan. Tersebab itu, ia menjadi idola, cerita citra juga dolanan kebudayaan penguasa era itu. Hingga pada titik terjauh saat sadar ia tersesat, saat itulah, `saida-saini' menjadi buaya putih.
Manusia
khewani ini muncul di permukaan sungai tiap kali ada prahara kala tida.
Ronggowarsito melukis nagari prahara itu dalam pahatan kalimat yang menyentak, Mangkya darajating praja. Kawuryan wus sunyaruri/Rurah pangrehing ukara/Karana tanpa palupi/ Atilar silastuti. Negara porak-poranda ambruk, tata nilai rusak, tak satu pun penggede negeri bisa dijadikan pola anut an. Manusia berpaling dari kearifan petuah lama.
Ronggowarsito melukis nagari prahara itu dalam pahatan kalimat yang menyentak, Mangkya darajating praja. Kawuryan wus sunyaruri/Rurah pangrehing ukara/Karana tanpa palupi/ Atilar silastuti. Negara porak-poranda ambruk, tata nilai rusak, tak satu pun penggede negeri bisa dijadikan pola anut an. Manusia berpaling dari kearifan petuah lama.
Konon,
jelang prahara, buaya berwajah manusia itu pun tengadah, mencari isyarat
langitan di lengkung malam bertabur ribuan bintang. Dalam ritual tarling Dermayon, pesinden menerjemahkan
suara batin buaya putih dalam wangsalan
trenyuh, “Tang ke teng lan ji dang.
Lintang akeh peteng wulan siji padang.“ Meski banyak bintang tetaplah
gelap, tapi dengan satu rembulan jadi benderang. Buaya putih itu tahu betul
pada saat purnama akan muncul kearifan linuwih
dalam bentuk seorang wanita suci uni suci rupi suci ati.
Wanita
itu bernama Nini Towok. Sosok wanita sepuh ini tak juga letih me-manage bintang-bintang di langit agar
tetap bercahaya terang. Tiap kali ada meteor melintas, itu diyakini sebagai
bintang berkelamin binatang sekaligus bintang iblis korup. Ninik Towok pun
melepaskan lintang suci untuk mengusir sang meteor. Saat itulah buaya putih
melihat lintang suci. Ada lintasan sunyi di mata sang buaya untuk mendapatkan
sisa cahaya lintang suci. Tapi, nihil! Yang didapat adalah jerat-jerat oyod mingmang yang pedih.
Air
mata buaya putih pun meleleh. Yang menarik, pada saat buaya itu berurai air
mata, saat itulah mengalir macapat Tapal
Adam. Serat Tapal Adam merupakan
bagian dari Kitab Babad Zaman yang ditulis Pangeran Jatmaningrat dari
Kesultanan Kaprabon. “Sekedhap netra,
ngerupa gilang gumilang lir surya ingkang dipun sebut lintang jauhar. Nurcahaya
dipuntingal sekedhap cahaya mencorong ning duwur murub gempur. Kang murub
dipuncipta malih iku dados Hijab Rahman. Nur murub dipuncipta malih dumateng
Gusti Hyang Maha Agung nuli medal keringet kinclong.“ Terjemahan bebas
bermakna `Sekejap mata, ada cahaya saat
matahari redup bernama lintang jauhar. Dari cahaya yang berbinar tercipta lagi
Hijab Rahman. Dan dari sinilah mengalir keringat mengkilat bercahaya kebenaran.'
Isyarat langitan lintang jauhar itu dalam konteks kekinian, dalam nalar
imajiner saya mencuat dari meja marmer di ruang Istana Merdeka Jakarta. Simak
di sudut-sudut ruang yang muram selalu saja ada amarah yang tumbuh dari akar
perseteruan antarelite (factionalized
elites). Yang malang, tiap kali ada perseteruan antarelite, yang
terkalahkan selalu saja anak-anak akar rumput. Rakyat tiarap, megap-megap!
Demokrat alirkan hipokrisi sebagai pembenaran bahwa wong duwur-lah yang layak langgeng menjadi bendera Merah Putih di
ujung tiang yang mangmung.
Ini
tentu aneh! Tapi itulah sudah! Nagari
pager doyong sedang menapaki takdir yang ia ciptakan sendiri. Telah sirna
tanpa karna nilai, etika, dan tata krama demokrasi. Padahal, hal yang tiga itu,
itulah hakikat dari kedaulatan rakyat.
Nilai bisa dimaknai sebagai peranti akal. Etika bergerak di ruang nurani. Nafsu menari di pusaran tata krama. Sinergi nan tiga itu, holisme nan tiga itu, masih jauh panggang dari api. Nyaris di semua lini yang terjadi adalah paternalisme dan feodalisme!
Nilai bisa dimaknai sebagai peranti akal. Etika bergerak di ruang nurani. Nafsu menari di pusaran tata krama. Sinergi nan tiga itu, holisme nan tiga itu, masih jauh panggang dari api. Nyaris di semua lini yang terjadi adalah paternalisme dan feodalisme!
Pepesan Kosong
Dramaturgi
negeri pager doyong paling menarik
ketika buaya putih itu--seperti bisa kita petik dari Suluk Linglung Sunan
Kalijaga--cuma bisa mangap tertelikung, “Ling
lang ling lung pan kendel pribadi, tanpa rewang pan ucek-ucekan, tetukaran pada
dewe, tan adoh swaranipun.“ Terjemahan bebas, tertelikung bingung, sendiri, bisu. Terpuruk di sudut pucat. Tetapi
selalu saja ada konflik bermahkota amarah. Ada unjuk tarung di sebuah ruang
tanpa cahaya. Dan suara risau terasa semakin jauh. Konflik di ujung
pemberhalaan diri itu tidak bisa dihentikan! Mereka berseteru memperebutkan
pepesan kosong. Mereka cuma seonggok hantu yang menjahit kekalahan dan
kekerdilan di atas involusi closet berbau busuk.
Maka
ketika marmer ambruk pecah, adakah Yudhoyono menyadari bahwa dari sebuah marmer
licin mengkilat tidak akan tumbuh rumput dan ilalang? Hmm, emang guwe pikirin. Tapi dari sebuah marmer yang pecah, langit
kerap mengisyaratkan banyak hal. “Bagen
pribenpriben, negeri iki wis kaya pager doyong. Wis gah apa jare gebrage bae.“
Telah terbentang kabar dan isyarat, negeri ini akan ambruk. Sudahlah, apa yang
terjadi, terjadilah! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar