Ancaman dalam
Penerbangan
Yaddy Supriyadi ; Ketua Ikatan Dosen dan Instruktur
Penerbangan Curug
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 12 Mei 2012
ICAO
membagi tahapan dekade keselamatan pe nerbangan dalam tiga tahapan, yaitu
fragile system (1920-1970), safe system
(1970-1990), dan ultrasafe system
(1990 ke depan). Dalam tahapan fragile
system upayaupaya peningkatan keselamatan penerbangan diarahkan kepada
manajemen risiko individual dengan mengedepankan pelatihan-pelatihan yang
intensif.
Pendekatan
itu digabungkan dengan mengambil pembelajaran dari hasil-hasil investigasi
kecelakaan pesawat. Pada kurun waktu ini terjadi satu kecelakaan setiap seratus
kegiatan penerbangan.
Dalam
tahapan safe system peningkatan
keselamatan penerbangan dilakukan melalui pendekatan teknologi dan regulasi,
yaitu teknologi penerbangan yang makin canggih dan regulasi yang semakin ketat.
Dalam periode itu pembelajaran diambil dari hasil-hasil investigasi insiden di
samping investigasi kecelakaan. Target kecelakaan ialah satu kecelakaan setiap
sepuluh ribu penerbangan.
Dalam
tahapan ultrasafe system pendekatan
yang dilakukan ialah peningkatan keselamatan dengan pola manajemen bisnis (safety management system). Pembelajaran
bukan hanya dari hasil-hasil investigasi kecelakaan dan insiden, melainkan juga
dari hasil-hasil observasi terha dap operasi normal penerbangan sehari-hari.
Dalam kurun waktu itu diharapkan kecelakaan fatal hanya terjadi satu kali dalam
sejuta penerbangan.
Ultra = Safe System
Sungguh
sangat tragis, di celah program ultrasafe system ICAO, dengan ban dar udara dan
ATC serta maskapai penerbangan harus secara bertahap melaksanakan SMS (safety
management system) kita dihadapkan pada realitas tragis pesawat angkut
komersial Sukhoi Superjet 100 (SSJ100) yang sedang mempromosikan diri. Dalam
dunia penerbangan kita tidak boleh bertanya siapa yang salah.
Pertanyaan
siapa yang salah ialah pertanyaan pidana yang sangat tidak efektif dalam upaya
peningkatan keselamatan penerbangan. Pertanyaan yang benar ialah apa yang
salah? Ketika ada indikasi human error dalam suatu kecelakaan, investigasi
justru baru dimulai, yaitu apa yang salah dalam sistem penerbangan? Human error
merupakan konsekuensi sistem yang kurang baik dan sistem memang tidak pernah
sempurna karena di dalamnya terdapat berbagai konflik dan kontradiksi.
Dalam
tahapan safe system ICAO dikatakan
bahwa pada bahwa pada kurun waktu 1970-1990 pendekatan yang dilakukan ialah
investigasi insiden. Pendekatan itu berdasarkan pada teori yang mengatakan dari
600 insiden bisa terjadi satu kecelakaan fatal.
Negara
kita telah mencantumkan kewajiban melaporkan setiap insiden dalam Undang-Undang
Penerbangan No 1 Tahun 2009. Pelaksanaan wajib lapor dan analisisnya bukan
pekerjaan mudah. Negara kita sangat luas dengan ratusan bandar udara dan
kemungkinan ribuan insiden per tahun. Pelaksanaan investigasi insiden
memerlukan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia dan perubahan struktur
organisasi.
Pelaksanaan
investigasi insiden juga sangat berkaitan erat dengan budaya. ICAO membagi
negara dalam tiga tahapan budaya penerbangan, yaitu patologis, birokrasi, dan
generatif. Pelaksanaan wajib lapor dan investigasi insiden tidak dapat
dilaksanakan di negara yang masih dalam tataran patologis dan birokrasi.
Di negara patologis laporan insiden selalu disembunyikan dan kegagalan (failures) ditutupi. Di negara birokrasi
laporan insiden diabaikan dan kegagalan dimaafkan tanpa penelitian. Di negara
generatif laporan insiden selalu dicari dan kegagalan diteliti dengan cermat
untuk kemudian diperbaiki.
Situational Awareness
Salah
satu hal yang harus diperhatikan dalam penerbangan ialah situational awareness,
yaitu faktor-faktor yang merupakan ancaman (threat)
yang harus menjadi perhatian penerbang. ICAO telah mengungkapkan beberapa
faktor tersebut, yaitu passengers,
terrain, ATC, call sign, time
pressure, flight diversion, system malfunction, missed approach, automation,
airport, heavy traffic, ground crew, maintenance, weather, cabin crew, dan
distraction.
Faktor-faktor
tersebut harus diperhatikan penerbang, konsekuensi dan risikonya dikalkulasi,
dan diambil tindakan-tindakan yang diperlukan sehingga faktor-faktor tersebut
tidak membentuk human error.
Pengelolaan ancaman (threat management)
yang tidak benar akan menumbuhkan human
error dan pengelolaan kesalahan manusia (human error management) yang tidak benar akan menumbuhkan gerakan
pesawat yang tidak dikehendaki (undesired
state of aircraft). Pengelolaan yang tidak benar terhadap gerakan pesawat
yang salah itu akan menumbuhkan kecelakaan atau insiden.
Dalam
penerbangan SSJ100, ancaman yang harus diwaspadai penerbang ialah terrain (gunung, bukit yang tidak
diketahui dengan baik oleh penerbang), heavy
traffic (lalu lintas udara yang padat di Jakarta Control Area dan Jakarta
Control Zone), time pressure (tekanan
untuk melakukan demo berkali-kali), weather
(cuaca di sekitar Jakarta yang masih musim hujan, banyak pembentukan awan),
dan system malfunction (sistem
peringatan dini atau ground proximity
warning system/GPWS ketika terbang terlalu rendah yang mungkin tidak
berfungsi).
Tidak
mengenal terrain (bukit, gunung)
dengan baik akan menumbuhkan human error,
yaitu minta turun ke ketinggian 6.000 kaki. Bila human error ini tidak dikelola
dengan baik (tidak dikoreksi teman sejawat), jadilah gerakan pesawat yang tidak
benar, yaitu turun ke ketinggian 6.000 kaki. Bila gerakan tidak benar itu tidak
dikoreksi dengan baik melalui GPWS, jadilah tragedi menabrak gunung.
Dalam
dokumen Human Factors ICAO tentang
Organisasi dan Manajemen diungkapkan tentang kasus DC-10 yang menabrak
Gunung Erebus di Kutub Selatan. Pesawat tersebut dalam penerbangan wisata (joy flight) membawa penumpang yang ingin
melihat gunung di Kutub selatan. Dalam hasil investigasi diungkapkan bahwa
salah satu faktor yang berkontribusi dalam kecelakaan ialah keputusan manajemen
yang memasang kapten pilot dan kopilot yang sama-sama belum pernah terbang ke
daerah tersebut sehingga ketika terjebak fenomena white-out, pilot tidak menyadari pesawatnya menuju dan kemudian menabrak
gunung.
Mengapa
SSJ100 menabrak gunung? KNKT tentunya nanti yang akan memberikan jawaban.
Semoga kecelakaan itu bisa menjadi bahan pembelajaran di masa depan. ●
Ingat autopilot dalam status on engaged, saat itu taws berbunyi, lalu pilot mengira ada database yang bermasalah sebab autopilot on dan diradar tampak tidak ada apa2 (karena belum tercantum di database), pilot memarikan alarm sementara sambil ngobrol2, pilot juga confident karena dalam status autopilot on, tt tt tt tt tt tt tt...alarm warning berbunyi......lalu pilot mematikan autopilot dan bermanufer menghindar akan tetapi terlambat.....
BalasHapus