Selasa, 06 Juni 2017

Momentum Optimisme Telah Tiba

Momentum Optimisme Telah Tiba
Nurkhamid Alfi  ;   Chief Representative Zelan Holdings
                                                   KORAN SINDO, 05 Juni 2017

                                                                            

                                                           
Sekarang ini saya baru ngeh apa yang dimaksud Joko Widodo (Jokowi) dulu. Ketika di masa kampanye presiden tahun 2014, Jokowi memberikan pernyataan mencengangkan berkenaan dengan ketersediaan dana pembangunan yang melimpah.

Mencengangkan karena ketika itu pada akhir pemerintahan SBY, pemerintah sedang kekurangan dana sehingga menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) untuk menambal defisit anggaran. Bagaimana mungkin Jokowi mengatakan dana untuk membangun melimpah ketika sumbernya dari pos yang sama, bahkan cenderung menurun? Andalan utama pemasukan negara hanya pada pajak. Namun, terjadi shortfall sejak beberapa tahun belakangan. Pada 2014 pajak hanya menyetor ke kas negara sebesar Rp981,9 triliun dari target Rp1.072 triliun sehingga shortfall pajak sebesar Rp90 triliun. Shortfall pada tahun berikutnya, 2015, lebih besar lagi. Dari target Rp1.294,25 triliun yang tercapai hanya Rp1.055 triliun. Artinya, pemasukan kas negara kurang Rp239,25 triliun.

Ekspor Indonesia juga makin menur un dari tahun ke tahun. Pada masa kampanye 2014 ekspor Indonesia tur un 0,93%. Apakah Jokowi akan memper - banyak utang untuk membiayai pembangunan? Ternyata bukan d ari utang. Dana pembang unan yang di - mak sudkan tak terbatas oleh Jokowi pada masa kampanye itu adalah dana investasi. Itulah sebabnya prasyarat Indonesia untuk mencapai negara layak investasi atau investment grade dipersiapkan sejak awal peme - rin tahannya seba gai mana mes - ti nya.

Paket-paket ekonomi diterbitkan untuk menata iklim investasi. Alokasi dana infra - struktur disiapkan dengan cara memotong subsidi energi. Ter - catat nilai subsidi susut secara signifikan dari Rp341,8 triliun (2014) menyusut sampai di angka Rp137,8 triliun (2015). Alhasil, pada pertengahan Mei 2017 predikat negara layak investasi telah berhasil diper - oleh dari jalan yang terjal dan berliku. Lembaga pemeringkat internasional, Standard & Poor’s (S&P), telah menaikkan sovereign credit rating Indonesia dari BB+ (speculat ive level) men - jadi BBB-/A3 dengan outlook stabil. Artinya, Indonesia telah masuk pada investment grade .

Prest asi ini pernah dicapai pada masa Soeharto sehingga Indo - nesia dijuluki sebagai Macan Asia. Namun, krisis moneter dan perbankan pada 1997/1998 me - nyebabkan status investment grade lenyap, bahkan S&P me - masukkan Indonesia dalam pe - ringkat terendah, yakni selective default (SD).

Stabilitas Politik dan Keamanan

Sebelumnya tiga lembaga pemeringkat global, yakni: Moody’s Investor Ser vices, Fitch Rating , dan Japan Credit R ating Agency (JCRA) telah lebih dahulu menyematkan pe - ringkat layak investasi. Namun, optimisme lebih berkualitas ketika pemeringkat paling bergengsi, S&P, juga menaikkan outlook yang positif. Secara sederhana, negara yang berperingkat layak inves - tasi dipersepsikan memiliki risiko rendah sehingga keper - cayaan investor meningkat.

Dampaknya akan mendorong aliran investasi, baik ke sektor keuangan maupun sektor r iil. Akumulasi aliran investasi akan mendorong turunnya bi aya dana (Desmon Silitonga, Bisnis Indonesia edisi 25 Mei 2016). Penurunan biaya dana (cost of money) akan mengakibatkan dana murah terj angkau karena interest dur ing construction (IDC) tidak begitu membebani capital expenditure (Capex) se - hing ga payback period pada se - buah proyek investasi lebih singkat . B eberapa studi juga menunjukkan bahwa peringkat layak investasi berdampak positif menurunkan yield spread obligasi pemerintah dan korpo - rasi.

Ini semua bisa digunakan untuk membiayai pereko no mi - an, khususnya infrastruktur melalui skema public private partnership. Momentum optimisme yang dinanti itu sebagai sarana dan prasyarat datangnya capital inf low, telah tiba bersamaan dengan predikat Indonesia sebagai negara layak investasi. Namun, predikat investment grade bagi Indonesia itu hanya pra syarat. Tidak secara oto - matis investasi masuk dengan deras karena ada prasyarat lain yang juga harus dipenuhi, yakni stabilitas politik dan keamanan sehing ga memungkinkan ter - ciptanya ik lim usaha yang aman.

Momentum hanya tinggal kenangan jika tidak diimbang i dengan kestabilan politik dan keamanan. Investor tetaplah investor yang menuntut ke - amanan dana yang diinves tasi - kan. Dengan begitu, per kem - bang an politik dan keamanan di Indonesia akhir-akhir ini justru paradoksal dengan investment grade yang baru disandang Indonesia. Ini adalah tantangan pertama yang harus diselesai - kan oleh pemerintah secepat - nya. Kesan bahwa negara dalam balutan turbulensi politik dan ketiadaan akan kepastian pe ne - gakan hukum sehingga menye - babkan hukum tebang pilih telah dipersepsikan sedemi - kian rupa .

Persepsi demikian itu sangat bahaya bag i stabilitas politik karena publik sud ah tidak percaya pada aparat yang ditunjuk negara untuk me laku - kan tind akan pengamanan. Dalam alam demokrasi se - perti Indonesia, hukum adalah panglima. Penegak hukum harus diposisikan sedemiki an rupa sebagai kekuatan utama untuk mendisiplinkan masya - ra kat. Tid ak boleh ada pihak mana pun yang mengintervensi penegak hukum d alam men - jalankan tugasnya. Semuanya harus patuh sesuai aturan.

Produktivitas Bangsa

Tantangan kedua setelah turbulensi politik ad alah pro - duk tivitas bangsa. Negaranegara yang masuk investment grade biasanya mampu men - didik bangsanya melakukan se - car a terus mener us pem baha - ruan pada pola pikir sehing ga didapatkan nilai efisiensi yang tingg i. Untuk mencapai pola pikir e fisien dan produktif tidak cukup hanya dengan meng - and alkan kebijakan fiskal dan moneter seperti yang selama ini dilakukan pemerintah.

Pening - katan produktivitas mem - butuh kan keberani an untuk mengubah tatanan struktural sehingga didapat hasil: yang awal nya ekonomi berbiaya ting - gi menjadi ekonomi berbiaya rendah; yang awalnya bernilai tambah rendah menjadi kegiat - an yang bernilai tambah tinggi. Pendek kata , segala hal yang berkenaan dengan hambatan dan gang guan str uktural dalam keg iatan ekonomi harus di - hilangkan untuk menuju pada efisiensi dan produktivitas. Sekarang ini tingkat pro - duktivitas ekonomi Indonesia, yang diukur dengan produk do - mestik bruto per tenaga ker ja, masih tertinggal d ari negara ber - kembang lain.

Lembaga Pene liti - an T he Conference B oard pada 2015, seperti yang dikutip Shinta Widjaja K, CEO Sintesa Group, pada Perspektif Bisnis Indonesia, mengemuka kan bahwa satu pe - ker ja di Malaysia bisa meng hasil - kan lebih dari USD50.000 dalam se tahun, sedangkan satu pekerja Indonesia hanya mampu mem - produksi setengahnya, yaitu USD25.000. Tenaga ker ja yang berkualitas dan mempunyai inovasi mer upakan prasyarat dari sebuah negara yang masuk pada investnent g rade . Ini masih merupakan pekerjaan rumah bagi Indonesia.

Sebab, latar pendidikan pekerja masih 40% berpendidikan setara SD dan hanya 10% peker ja memiliki pendidikan ting gi. Data dari Organization for Economic Corporation and Development (OECD) menunjukkan bahwa Indonesia hanya memiliki sekitar 8% dari populasi yang mengenyam pendidikan ting gi. Terlebih, persoalan ke se suai - an antara keterampilan yang dipasok oleh dunia pen didikan dengan kebutuhan nyata yang diminta oleh dunia industri.

Ketidaksesuaian kete ram pilan (skill mismatch) dirasa masih cu - kup lebar sehingga dunia usaha tidak bisa optimal meman faat - kan jumlah lulusan pendidikan tingg i. Praktik pe nye lenggaraan pendidikan ting gi di Indonesia harus di akui masih jauh dar i yang diharap kan. Angka-angka statistik dari penyerapan lulus - an pendidikan tinggi ke dunia usaha yang tersa ji setiap tahun menjadi salah satu parameter untuk kem bali memper tanya - kan apa kah benar pendidikan tinggi menghasilkan anggota masya rakat yang berdaya saing ung gul atau belum.

Tantangan lain adalah masalah klasik yang sulit dibenahi, yakni peraturan pusat dan daerah yang saling bertentangan (conflicting laws). Sering terjadi daerah memaksakan diri melalui perda yang tidak produktif karena adanya kepentingan politis secara terselubung. Hal ini masih sering dikeluhkan oleh para investor. Pada akhirnya waktu yang akan membuktikan apakah Indonesia mampu memanfaatkan momen optimisme ini sebagai modal untuk bangkit sebagai Macan Asia baru atau hanya mampu menciptakan momentum tetapi gagal memanfaatkannya. Wallahualam.

( Mohon maaf, karena proses edit belum diselesaikan )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar