Menimbang
Ormas-Ormas Anti-NKRI
Imam Shamsi Ali ; Presiden
Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA, 09 Mei 2017
Sebagai anak bangsa yang telah menghabiskan
dua pertiga umurnya di luar negeri, tetap konsisten cinta bangsa dan tanah
air. Bagaimana pun juga ikatan batin dan emosi kebangsaan itu tidak pernah
berkurang. Saya yakin, ini pula sentimen ribuan bahkan jutaan anak bangsa
yang hidup di berbagai belahan dunia
ini.
Ada rasa cinta dan kedekatan yang tidak bisa
diintervensi apapun, bahkan oleh kewarga negaraan itu sendiri. Dan ini pula
yang menjadikan anak-anak bangsa di berbagai belahan dunia itu tetap
mengikuti dari dekat, dan membangun perhatian penuh dengan Republik ini.
Suatu hari saya hadir dalam acara perkumpulan
lansia (lanjut usia) di kota New York. Mereka adalah orang-orang Indonesia
yang umumnya berumur di atas 70 tahun, yang juga rata-rata telah menjadi
warga negara Amerika. Mereka telah berpuluh-puluh tahun hidup di negara
Amerika, beranak dan bercucu warga negara Amerika.
Yang menarik adalah saya mendegarkan
percakapan hangat, dan terasa segar, justeru bukan mengenai Amerika. Tapi
mengenai perkembangan mutakhir di dalam negeri Indonesia. Secara iseng saya
bertanya ke beberapa orang di antara mereka: "kalau seandainya Tuhan
memberikan umur panjang dan kemudahan, apa yang bapak/ibu ingin
lakukan?".
Saya sungguh terkejut dengan respons mereka.
"Kalau ada umur panjang, saya hanya ingin memberikan kontribusi apapun
yang saya bisa kepada bangsa saya, Indonesia".
Ikatan emosi sekaligus pengalaman lansia ini
menjadikan saya yakin bahwa nasionalisme bangsa Indonesia itu begitu kuat.
Nasionalisme bangsa ini tidak semudah itu digeserkan oleh apapun, termasuk
idiologi-idiologi apapun. Terkecuali tentunya yang telah membuktikan diri
sebagai pengkhianat bangsa, seperti komunisme. Selebihnya diperlukan
kejelian, kehati-hatian, dan penelitian yang dalam sebelum sampai ke sebuah
kesimpulan.
Pancasila, UUD dan
NKRI
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah
merupakan konsensus nasional untuk menjadikan Pancasila dan UUD sebagai
fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Semua manusia Indonesia telah menerima ini
sebagai "warisan founding fathers" dan sekaligus napas perekat kebangsaan.
Dan karenanya memang dalam bingkai negara
kesatuan, menolaknya adalah penolakan kepada bangsa dan negara itu sendiri.
Dengan kata lain, menolak Pancasila dan UUD 45 adalah "treason"
(pengkhianatan) kepada negara ini. Siapapun dan apapun latar belakangnya, baik
secara etnis maupun agama harus menerima kedua pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara ini.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana
mengakomodir variasi penafsiran Pancasila itu? Dan lebih khusus lagi dalam
kerangka pemahaman agama-agama? Tidak saja dalam hubungan antar agama. Tapi
juga berbagai penafsiran yang ada dalam satu agama (intra agama).
Agama adalah keyakinan dalam hati sekaligus
petunjuk hidup. Dalam realisasinya agama bukanlah "bolduzer" yang
menggusur segala hal dalam hidup manusia. Tapi datang menguatkan yang sudah
baik dan memperbaiki yang tidak baik. Itulah sebabnya agama di satu sisi
tegas.
Namun di sisi lain sangat fleksible
mengakomodir berbagai paham dan praktek lokal dalam kehidupan manusia. Dan
itu pula yang menjadikan warna agama pada tataran prakteknya berbeda dari
satu bangsa ke bangsa yang lain. Sehingga wajar jika keragaman internal umat
ini tidak kalah dari keragaman eksternalnya.
Memahami Pancasila dari sudut pandang
keyakinan dan pemahaman agama ini tentu juga tidak lepas dari kemungkinan
keragaman itu. Ambillah misalnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sudah
pasti pemahaman makna dan defenisinya akan berbeda antara pemahaman seorang
Muslim dan Hindu. Lalu dari kedua pemahaman yang berbeda karena ikatan agama
masing-masing itu, mana yang dianggap benar dan loyal dengan Pancasila dan
mana yang tidak?
Saya melihat gegabah dalam menilai seseorang
atau sekolompok orang sebagai anti Pancasila, UUD dan NKRI justeru bisa
berdampak sangat negatif terhadap loyalitas dan nasionalisme kepada bangsa
dan negara itu sendiri. Penafsiran atas pasal-pasal Pancasila dan UUD
seharusnya tidak dijadikan pijakan kesimpulan jika orang atau sekelompok
orang telah anti Pancasila, UUD dan NKRI. Tentu dengan catatan masih
menerimanya sebagai pijakan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Mungkin sebagai ilustrasi saja. Dalam agama
Islam adalah sebuah kesalahan fatal
untuk mengkafirkan seseorang yang masih percaya dengan agama Islam, percaya
dengan Allah dan rasul-Nya, percaya dengan kitab suci Alquran, dan
seterusnya, hanya karena memiliki penafsiran yang mungkin dianggap nyeleneh,
bahkan salah. Selama itu penafsiran dan bukan pengingkaran, dia berhak untuk
tetap berada dalam rumah Islam itu (Muslim). Mengeluarkannya dari rumah Islam
hanya karena yang tidak sejalan dengan kita, bahkan salah sekalipun, tidak
akan dilakukan kecuali oleh golongan "takfiri" yang super radikal
itu.
Saya khawatir justeru menghakimi orang atau kelompok orang tertentu sebagai
anti NKRI hanya karena penafsirannya yang tidak disetujui merupakan sikap
ekstrim yang sama. Artinya kekhawatiran kepada ekstremisme justeru juga
dilakukan dengan sikap dan prilaku ekstrim yang sama.
Barangkali cara terbaik untuk mengukur
loyalitas seseorang atau sekelompok orang itu dilihat dari gerak gerik dan
sikapnya selama ini. Apakah sikapnya itu menguntungkan atau justeru
merugikan, bahkan mengarah kepada merusak dan merobohkan bangunan negara dan
kebangsaan?
Siapakah selama ini yang merongrong kehidukan
bernegara dan berbangsa melalui aktifitas ekonomi dan keuangan? Siapakah
selama ini yang bermuka dua, di satu sisi berpura-pura cinta Indonesia dengan
nasionalisme tapi di mana-mana bangsa dan negara ini diburuk-burukkan? Bahkan
tidak malu bekerjasama dengan pihak luar, baik pemerintahan negara lain
maupun organisasi-organisasi di negara lain untuk mencabik-cabik keutuhan
negara kesatuan Republik Indonesia?
Hubungan emosional dan solidaritas keagamaan
yang bersifat internasional, selama memang tidak mengarah kepada
pemberontakan dan pengrusakan NKRI harusnya wajar-wajar saja. Saudara-saudara
sebangsa kita yang kebetulan beragama Katolik jelas punya loyalitas tinggi
dan solidaritas kuat dengan Vatican. Apakah itu berbahaya bagi NKRI? Dan
apakah hal itu perlu dipertentangkan? Baru-baru ini ada seorang pengusaha
besar keturunan yang mengatakan bahwa bagi dia Indonesia itu ibarat ayah
tiri. Ayah kandungnya adalah negara China itu sendiri. Apakah ini bisa
dikategorikan pengkhianatan dan pelecehan negara?
Demikian pula dengan organisasi HTI yang saya anggap sekedar gerakan moral
yang tidak mengarah kepada pengrusakan NKRI. Tapi gerakan yang diikat oleh
ikatan ideologi dan solidaritas Muslim internasional. Relasi mereka dengan
gerakan HTI (Hizbut Tahrir Internasional) saya menganggap tidak lebih dari sebuah
koneksi moral dan solidaritas. Toh dalam Islam, selain adanya perdebatan
panjang tentang makna dan konsep khilafah, juga dengan realita dunia
sekarang, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersifat global (khilafah) itu
hampir mustahil.
Oleh karenanya, pembubaran HTI bisa berakibat
sangat negatif. Apalagi hal ini dilakukan di saat-saat meningginya kecurigaan
di antara elemen-elemen bangsa. Maka jika HTI dibubarkan karena dianggap anti
NKRI, lalu bagaimana dengan organisasi-organisasi yang jelas-jelas bekerja
sama dengan pihak luar untuk merongrong keutuhan NKRI?
Dan bagaimana pula mereka yang seringkali
menampakkan diri sebagai benalu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Mereka yang siap angkat kaki dan membawa kekayaan negara yang telah mereka kuras?
Tidakkah mereka ini adalah kelompok-kelompok yang setiap saat merusak,
melobangi perahu kebangsaan itu?
Oleh karenanya, ada dua hal penting yang perlu
diingat. Satu, diperlukan kehati-hatian dan kejelian dalam mengambil
kesimpulan tentang siapa yang anti Pancasila, UUD dan NKRI. Dua, diperlukan
keadilan tanpa memandang siapa dan apa dalam menegakkan hukum dan menjaga
keutuhan bangsa dan negara. Sehingga jika satu kelompok dinilai anti NKRI
karena pemikiran dan sikap, maka semua kelompok yang memiliki pemikiran dan
sikap yang sama diperlakukan sama di depan hukum.
Ada baiknya pemerintah melakukan pendekatan
dialogis, mencari tahu arah pemikiran semua anak bangsa ini, termasuk HTI.
Khawatirnya sebuah keputusan institusional justeru ditunggangi oleh kepentingan
lain, yang memang bertujuan untuk melemahkan bahkan mencabik kesatuan bangsa
ini. Sehingga pada akhirnya akan muncul kekuatan dominan yang punya
kepentingan sempit, di luar kepentingan nasional.
Tentunya perlu saya tegaskan sekali lagi,
bahwa sebagai bagian dari nasionalisme dan kecintaan kepada Indonesia kita
mendukung segala upaya pemerintah untuk menjaga keutuhannya. Termasuk
menindak tegas pihak-pihak yang memang ingin mencabik keutuhan NKRI ini.
Namun sangat diperlukan kejelian dan keadilan dalam meengambil tindakan. Jika
tidak, maka kebijakan pemerintah yang gegabah dan pilih kasih justeru bisa
memicu reaksi yang akan memporak porandakan kesatuan bangsa dan negara
Republik Indonesia.
Semoga Tuhan menjaga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar