Vonis Salah Tetap Mengikat
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 31 Oktober 2015
Dalam kunjungan ke
berbagai tempat, baik untuk acara yang sifatnya umum maupun untuk memberi
kuliah di kampus-kampus, saya sering mendapat pernyataan dan pertanyaan
mengenai vonis-vonis Mahkamah Konstitusi (MK).
Pernyataannya,
belakangan ini banyak vonis yang bertentangan dengan rasa keadilan, terlalu
liberal, ceroboh, dan ditentang oleh masyarakat. Pertanyaan-pertanyaannya
antara lain, mengapa belakangan ini banyak vonis MK yang tidak sesuai dengan
aspirasi masyarakat? Bagaimana kalau putusan MK itu salah?
Sebenarnya penolakan,
kecaman, dan penilaian buruk atas vonis-vonis MK yang muncul dari
tengah-tengah masyarakat bukan hanya terjadi belakangan ini, tetapi sudah
selalu terjadi sejak dulu. Sejak dulu setiap ada vonis MK selalu ada saja
yang mencelanya.
Sekurang-kurangnya
pihak yang kalah dalam perkara di MK mengecam vonis MK sebagai vonis yang
tidak benar, kolutif, politis, mencari popularitas, dan sebagainya. Segemuruh
apa pun dukungan sebagian terbesar masyarakat atas suatu vonis MK, pasti ada
saja yang mencela dan mengecamnya.
Ketika pada 2009 MK
mengadili perkara ”cicak vs buaya” dengan memutar rekaman pembicaraan
rekayasa kasus yang melibatkan oknum-oknum penegak hukum, jutaan masyarakat
menyambut dan mendukungnya dengan menggelegar dan menggetarkan bumi, tetapi
ada saja yang mengatakan bahwa MK bekerja di luar wewenang dan mendramatisasi
masalah karena menilai kasus konkret dalam perkara pengujian UU yang
merupakan norma abstrak.
Begitu juga ketika MK
memvonis pembubaran BP Migas atau membatalkan hasil pemilu legislatif dan
pemilukada, meskipun disambut dengan gembira oleh sebagian besar masyarakat,
ada saja warga masyarakat yang mengecamnya. Pokoknya, setiap vonis MK pasti
ada yang mendukung dan ada yang mengecamnya.
Itu adalah konsekuensi
hidup berdemokrasi. Tapi, terlepas dari soal ada yang setuju dan ada yang
tidak setuju, vonis MK itu tetap mengikat, bukan hanya harus dihormati,
tetapi wajib ditaati dan harus dilaksanakan sebagai putusan hukum yang final.
Saya sendiri, baik sebagai warga masyarakat dulu dan sekarang maupun saat
menjadi hakim MK dulu, sering juga tidak setuju atas vonis-vonis MK,
tetapi saya menaatinya
sebagai vonis yang harus dilaksanakan. Saat menjadi ketua MK dulu, misalnya,
saya sama sekali tidak setuju kalau MK melakukan pengujian konstitusionalitas
(judicial review) atas peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu).
Alasan saya, karena menurut Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, MK hanya menguji
konstitusionalitas UU terhadap UUD dan menurut Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945
perppu itu diuji oleh DPR melalui legislative review atau political review
untuk menentukan keberlakuannya sebagai UU.
Tapi waktu itu saya
kalah voting dalam permusyawaratan hakim MK yang sebagian besar menyetujui
bahwa perppu bisa diuji konstitusionalitasnya oleh MK. Saya pun mendukung dan
mengampanyekan kepada publik bahwa vonis MK tentang kompetensinya untuk
menguji perppu berlaku mengikat karena vonis MK bersifat final.
Setelah tidak menjadi
hakim MK pun saya tidak setuju atas beberapa vonis MK yang menurut penilaian
subjektif saya tidak benar. Vonis MK yang membuka peluang peninjauan kembali
(PK) lebih dari satu kali menurut saya tidak tepat karena bisa menabrak
kepastian hukum dan tidak sesuai dengan filosofi bahwa PK adalah upaya hukum
luar biasa.
Tapi ketidak setujuan
saya tidak mengikat dan sebaliknya vonis MK itulah yang menurut konstitusi
mengikat. Saya pun tidak setuju dan menganggap tidak tepat vonis MK yang
membolehkan mantan narapidana yang baru keluar dari penjara (lembaga pemasyarakatan)
langsung boleh mencalonkan diri dalam pemilihan umum kepala daerah.
Menurut saya vonis itu
terlalu liberal. Masih ada beberapa vonis MK yang menurut saya kurang tepat,
tetapi vonis MK tetap mengikat, harus ditaati, dan harus ditegakkan. Mengapa
vonis MK mengikat? Karena pengadilan memang diberi wewenang oleh negara untuk
menyelesaikan perselisihan atau memutus perkara.
Putusan pengadilan
yang sudah final harus diikuti dan segera dilaksanakan, sebab jika putusan
yang sudah final masih bisa dipersoalkan atau dimentahkan karena ada orang
yang tidak setuju, masalah tidak akan selesai-selesai dan tidak ada gunanya
ada pengadilan. Ada kaidah dalam metodologi hukum Islam yang berlaku
universal: ”vonis hakim itu mengakhiri perselisihan (hukmul haakim yarfa (hukmul
haakim yarfaul khilaaf) ”.
Jadi apa pun isinya
putusan hakim itu harus diterima sebagai hukum untuk mengakhiri sengketa.
Bagaimana kalau vonisnya salah? Kalau vonis salah, asalkan sudah berkekuatan
hukum tetap (inkracht ), vonis itu tetap berlaku mengikat, sedangkan
kesalahan itu dilihat sebagai kasus yang bisa diadili tersendiri.
Misalnya kesalahan itu
terjadi karena penyuapan, maka hakim dan penyuapnya dihukum melalui
pengadilan tersendiri tanpa harus membatalkan vonis yang inkracht. Tentu
masih ada yang mempersoalkan dengan mengatakan bahwa itu tidak adil dan lebih
tepat kalau putusan yang salah itu dibatalkan.
Pikiran seperti benar
juga, tetapi risikonya akan banyak masalah hukum yang tak selesai-selesai
karena dituding vonisnya salah. Prinsipnya, vonis yang inkracht tetap
mengikat dan harus dilaksanakan, tetapi kalau salah, ada pengadilan hukum dan
atau etik tersendiri untuk menyelesaikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar