Kita dan Bahasa
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 30 Oktober 2015
Berbahasa itu tidak
hanya berbicara. Tetapi berbahasa juga berpikir dan berperilaku. Ketika
seseorang berbicara, otaknya ikut berpikir, hatinya ikut merasakan, lalu
tindakan fisiknya mendukung.
Makanya ada istilah
speech act. Jadi, berbahasa melibatkan pikiran, emosi, pengucapan, dan
tindakan. Mereka yang menderita kelainan tidak bisa berbicara, misalnya, maka
digunakan bahasa gerak isyarat. Ketika seseorang berdiam diri melamun,
mulutnya memang tidak berbicara, tapi pikiran dan hatinya lagi sibuk bekerja.
Dia berbicara dalam diam. Jadi, bahasa dan pikiran tak terpisahkan.
Dalam masyarakat yang
sudah maju, pikiran dan ucapan dilengkapi dengan tulisan. Bahkan dilengkapi
lagi dengan mesin percetakan. Tapi ada juga komunitas yang tidak punya
tradisi menulis. Mereka tidak mengenal huruf. Di Indonesia ada beberapa suku
yang memiliki bahasa lokal, namun tidak memiliki huruf. Suku Jawa yang
terbesar saja semakin tidak mengenal huruf dan tulisan Jawa, sehingga bahasa
lisan yang lebih dominan. Masyarakat Sunda pun demikian.
Majalah lokal dengan
bahasa dan huruf lokal pelan-pelan mati. Sekian puluh bahasa lokal bahkan
sudah lama hilang. Saya sering membayangkan dan membandingkan ketebalan kamus
bahasa. Kamus bahasa Inggris dan Arab mungkin paling tebal. Masyarakat dan
bangsa yang semakin maju peradabannya akan diikuti dengan ketebalan kamusnya.
Ini menunjukkan progresivitas, keluasan, dan ketinggian garis batas bahasa
dan pikiran mereka.
Sebaliknya, masyarakat
yang khazanah kata dan bahasanya sempit dan sedikit, maka alam pikiran mereka
juga terbatas karena aktivitas berpikir memerlukan instrumen bahasa. Anak
kecil yang pengetahuan kata dan bahasanya terbatas juga terbatas olah
pikirnya. Pada anak kecil pertumbuhan pikiran berbarengan dengan perkembangan
khazanah bahasanya. Lalu, bagaimana halnya dengan bahasa Indonesia?
Bahasa ini mulanya
merupakan bahasa orang-orang Melayu yang tinggal di daerah Riau yang
jumlahnya tidak sebanyak orang Jawa dan Sunda. Dengan dipilihnya bahasa
Melayu sebagai nasional, mengandung nilai pembelajaran yang sangat berharga
bagi kita sekarang ini. Bahwa para pejuang kemerdekaan dan angkatan muda 1928
itu sangat bijak dan toleran.
Bayangkan, kalau saja
bahasa Jawa yang dipilih, mungkin sekali masyarakat Sunda akan iri dan
menolak karena mereka sama-sama penduduk pulau Jawa dengan jumlah yang besar.
Kedua, karakter bahasa Melayu yang menjadi bahasa orang pantai dan juga
pedagang, jauh lebih egaliter ketimbang karakter bahasa Jawa dan Sunda yang
mengawetkan kasta sosial.
Sifat bahasa Melayu
yang telah menjadi bahasa nasional lebih cocok dengan semangat kemerdekaan
dan modernisasi yang menekankan persatuan dan kesatuan Indonesia serta
kesamaan derajat di depan hukum. Kalau kita amati, penyebaran bahasa
Indonesia yang sedemikian cepat tidak luput dari aktivitas dan jaringan pada
pedagang yang juga penyebar Islam yang berpusat di kotakota pantai.
Dulu, dan bekas
peninggalannya masih terlihat sampai sekarang, kota-kota pantai adalah pusat
perdagangan dan penyebaran agama Islam, dengan penduduknya yang majemuk.
Posisi kota pantai dengan jejaring kegiatan perdagangan dan penyebaran agama
telah berperan sebagai tonggaktonggak pengikat simpul persatuan Nusantara.
Karenanya, semangat dan perjuangan keindonesiaan tak bisa dipisahkan dari
penyebaran bahasa nasionalnya.
Dalam hal ini
Indonesia merupakan bangsa dan negara yang paling berhasil dalam perjuangan
politik bahasa. Bangsa yang sedemikian besar dan majemuk dengan mulus dan
sukses berhasil memperjuangkan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia yang
menjadi pengikat, penghubung, atau jembatan komunikasi lintas etnis dan
pulau. Bayangkan, betapa repot, lambat dan mahalnya ongkos dan proses
pembangunan kalau saja warga Indonesia tidak bisa berbahasa Indonesia.
Jadi, kita pantas
berterima kasih pada para pendahulu kita yang telah berhasil membangun rumah
budaya yang sedemikian besar berupa bahasa Indonesia. Kita tinggal dan
berpikir dengan dan dalam bahasa. Kita dan bahasa bagaikan ikan dan airnya.
Tanpa bahasa dunia sekeliling tidak memiliki struktur dan nama. Tanpa bahasa
tak ada bangunan ilmu pengetahuan.
Tanpa bahasa tak ada
yang namanya peradaban. Yang ada tak ubahnya kerumunan hewan- hewan yang
hanya mengejar kebutuhan fisik untuk bertahan hidup (survive). Karena bahasa
adalah rumah budaya, mereka yang menguasai banyak bahasa pasti dunianya lebih
luas. Dengan membaca buku, novel, atau menonton televisi yang menggunakan
bahasa asing, serasa kita rekreasi dan masuk rumah budaya lain sehingga
kehidupan lebih luas, kaya, dan warna-warni.
Perkembangan sebuah
bahasa sangat dipengaruhi oleh jumlah pemakainya. Sekarang ini bahasa Inggris
berkembang paling luas mendunia karena bahasa Inggris berhasil sebagai bahasa
ilmu pengetahuan yang menyebar ke seluruh lembaga pendidikan di dunia. Ilmu
pengetahuan modern yang dimotori ilmuwan Inggris maka konsekuensi logisnya
bahasa Inggris menjadi alat penyebarannya.
Di samping faktor
inovasi keilmuan, Inggris juga yang memiliki negara koloni terbanyak di
dunia, maka praktis bahasa Inggris juga paling ekspansif penyebarannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar