Minggu, 08 November 2015

Mengurai Hukum Pembuktian dalam Perkara TPPU

Mengurai Hukum Pembuktian dalam Perkara TPPU

Romli Atmasasmita  ;  Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran
                                                KORAN SINDO, 02 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Judul di atas mencontoh judul berita yang sama di Koran Tempo (28/10) sehubungan dengan uji materi ketentuan Pasal 69 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Ahli yang dihadapkan termohon, Yunus Husein—ahli hukum perbankan yang menggeluti tindak pidana pencucian uang, dan Ramelan—ahli hukum pidana dan mantan jampidsus Kejaksaan Agung. Pendapat kedua ahli tidak keliru, karena mengingatkan kembali majelis Hakim Konstitusi, bagaimana praktik penerapan hukum dalam perkara TPPU selama ini terkait perkara tindak pidana korupsi (sic.pen ).

Dalam praktik, dakwaan TPPU selalu dirumuskan secara kumulatif; dakwaan tersebut tidak juga keliru. Namun demikian, memperhatikan sejarah kriminalisasi pencucian uang hasil kejahatan terorganisasi yang bertujuan memusnahkan zero tolerance hasil kekayaan dari kejahatan, jelas bahwa terdapat keterhubungan erat antara perbuatan ”pencucian uang” dan perbuatan pidananya (predicate crime).

Dalam sistem hukum pidana Indonesia berdasarkan KUHP tentang Perbarengan Tindak Pidana (Bab VI), terdapat ketentuan mengenai lex specialis derogat lege generali (Pasal 63 ayat (2); ketentuan mengenai perbuatan berlanjut (vorgezettehandeling)- Pasal 64, dan ketentuan mengenai perbuatan yang berdiri sendiri (Pasal 65 dan Pasal 66).

Praktik penuntutan TPPU, perbuatan pencucian uang dan tindak pidana asal telah dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri (Pasal 65 dan/atau Pasal 66)), bukan perbuatan berlanjut (Pasal 64). Praktik tersebut telah dibenarkan dalam 136 putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun masih perlu dipersoalkan dari sudut teoritik hukum mengenai maksud dan tujuan pembentuk UU TPPU 2010 terkait kedudukan ketentuan Pasal 2 UU TPPU 2010 yang menegaskan 26 (dua puluh enam) jenis tindak pidana asal.

Ketentuan tersebut berbeda besar dengan ketentuan mengenai penadahan (Pasal 480 KUHP) yang tidak menegaskan tindak pidana asal dari barang yang diterima penadah. Jika kemudian ketentuan Pasal 69 UU TPPU 2010 tidak mewajibkan ada pembuktian tindak pidana asal dari harta kekayaan yang diduga dari tindak pidana, akan tetapi dalam ketentuan Pasal 77 dan 78 UU yang sama, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak terkait perkara tindak pidana (yang dituduhkan)—pembuktian terbalik, maka kedua ketentuan aquo jelas bertentangan dengan asas lex certa yang menuntut adanya kepastian hukum sesuai dengan asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP).

Dalam konteks beban pembuktian terbalik tersebut, bagi terdakwa, ketentuan Pasal 69, ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU 2010, jelas bertentangan dengan prinsip hukum universal: asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”non-self incrimination” serta ketentuan tentang jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan persamaan di muka hukum” sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945?.

Menurut Ramelan, dalam TPPU tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya (predicate crime) karena yang disasar adalah harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana asal, bukan kesalahan dari perbuatan terdakwa.

Namun jika merujuk pada ketentuan Pasal 77 dan 78 UU TPPU 2010, menjadi ganjil, karena hakim memerintahkan terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya ”tidak terkait tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa”. Pertanyaannya, bagaimana terdakwa dapat membuktikan harta kekayaan terdakwa adalah bukan atau tidak terkait tindak pidana (asal) jika terdakwa sendiri belum mengetahui kebenaran dugaan tindak pidana yang dilakukannya?

Pola rumusan ketentuan Pasal 69 jo Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU 2010 telah secara nyata menempatkan tersangka/terdakwa sebagai objek penuntutan atau perlakuan hukum bukan sebagai subjek hukum yang memiliki hak konstitusional dan hak hukum yang berlaku universal.

Ketentuan Pasal 69 jo Pasal 78 dan Pasal 79 UU TPPU 2010 justru telah menghapuskan hak konstitusional terdakwa (setiap orang) yang dilindungi oleh UUD 1945, untuk membela dirinya dari tuduhan/dakwaan dan tuntutan penuntut. Sementaraitu, penuntut merupakan representasi negara tidak melakukan kewajiban untuk membuktikan dakwaannya sebagaimana ditentukan dalam KUHAP dan UU Kejaksaan.

Bukankah sesuai dengan ajaran teori kausalitas (casualiteit leer) dalam doktrin hukum pidana bahwa, terbukti tidaknya keterkaitan harta kekayaan terdakwa mutatis mutandis, secara langsung atau tidak langsung adalah membuktikan atau tidak membuktikan dugaan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang telah didakwakan terhadap dirinya?

Dalam konteks praktik penerapan hukum, telah terdapat kekeliruan penerapan hukum oleh majelis hakim. Kekeliruan itu adalah hakim sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 77 dan 78 UU TPPU 2010, ”memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2ayat (1)”.

Dalam praktik tersebut di atas permintaan penuntut mengandalkan laporan hasil analisis PPATK tentang harta kekayaan terdakwa yang tidak terkait perkara tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.

Sang terdakwa diminta membuktikan keabsahan perolehan atas harta kekayaan lainnya yang meningkat secara signifikan yang diduga melebihi penghasilan terdakwa yang sah pejabat publik sekalipun harta kekayaan tersebut tidak terkait atau berasal dari tindak pidana yang didakwakan penuntut.

Hasil analisis PPATK mengenai keadaan harta kekayaan seseorang termasuk pejabat publik dan aliran dana masuk dan keluar dari rekening terdakwa, tidak termasuk ke dalam salah satu alat bukti sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Tidak ada satu pun ketentuan dalam UU TPPU 2010 yang menegaskan status hukum hasil analisis dimaksud sebagai alat bukti suatu tindak pidana.

Praktik penerapan pembuktian tersebut dikenal sebagai pembuktian atas tindak pidana memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment)- yang tercantum dalam Pasal 20 Konvensi PBB Antikkorupsi 2003, dan belum dikriminalisasi baik dalam UU RI Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah UU RI Nomor 20 tahun 2001 maupun dalam UU TPPU 2010.

Pasal 20 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 menyatakan: ”Each State Party shall consider adopting.... as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”.

Kata kunci dalam pasal aquo adalah, pejabat publik, peningkatan kekayaan yang signifikan tetapi tidak dapat dijelaskan ada hubungannya dengan penghasilannya yang sah dalam pasal aquo tidak ada perintah kepada terdakwa untuk membuktikan keterkaitan aset terdakwa dengan tindak pidana (asal). ***

Kekeliruan dalam penerapan hukum yang seharusnya dapat membedakan antara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment) mencerminkan pemahaman logika hukum yang lemah pada aparatur hukum, termasuk hakim.

Sedangkan fondasi ilmu hukum terletak pada kekuatan logika (the power of logic) bukan pada asumsi/ dugaan semata (prejudice). Bahkan, logika ketentuan Pasal 69 UU TPPU bertentangan secara diametral dengan teori ajaran kausalitas (casualiteit-leer) yang menerangkan hubungan erat antara perbuatan (daad) dan akibat (gevolg).

Sejatinya kehadiran teori ajaran kausalitas merupakan simbol kebangkitan rasionalisme ilmu pengetahuan termasuk ilmu hukum (pidana), dan pengingkaran terhadap kebangkitan rasionalisme sebagai parameter peradaban umat manusia justru menunjukkan derasionalisasi pemikiran manusia dan sekaligus bertentangan dengan landasan filosofis, sosiologis, dan historis Konstitusi UUD 1945.

Dalam pandangan saya, TPPU merupakan perbuatan berlanjut dan tidak merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, dan kedua, Pasal 69 UU TPPU tidak berdiri sendiri akan tetapi harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU 2010 agar diperoleh pemahaman utuh,jelas dan tidak keliru serta dengan tepat menempatkan status hukum tersangka/terdakwa yang memiliki hak asasi dijamin oleh Konstitusi UUD 1945.

Pendapat saya tersebut di atas sekaligus menafikan alasan telah ada 136 putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara TPPU terkait perkara tindak pidana asal. Ada dua alasan, pertama bahwa pendapat ahli tersebut merupakan penerapan hukum yang tidak termasuk objek dan wewenang majelis hakim konstitusi untuk memberikan penilaiannya.

Kedua, bahwa sistem kekuasaan kehakiman Indonesia tidak mengadopsi asas precedent yang berlaku dalam sistem hukum common law (antara lain di Amerika Serikat dan Inggris).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar