Mengurai Hukum Pembuktian dalam Perkara TPPU
Romli Atmasasmita ; Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 02 November 2015
Judul di atas
mencontoh judul berita yang sama di Koran Tempo (28/10) sehubungan dengan uji
materi ketentuan Pasal 69 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ahli yang dihadapkan
termohon, Yunus Husein—ahli hukum perbankan yang menggeluti tindak pidana
pencucian uang, dan Ramelan—ahli hukum pidana dan mantan jampidsus Kejaksaan
Agung. Pendapat kedua ahli tidak keliru, karena mengingatkan kembali majelis
Hakim Konstitusi, bagaimana praktik penerapan hukum dalam perkara TPPU selama
ini terkait perkara tindak pidana korupsi (sic.pen ).
Dalam praktik, dakwaan
TPPU selalu dirumuskan secara kumulatif; dakwaan tersebut tidak juga keliru.
Namun demikian, memperhatikan sejarah kriminalisasi pencucian uang hasil kejahatan
terorganisasi yang bertujuan memusnahkan zero tolerance hasil kekayaan dari
kejahatan, jelas bahwa terdapat keterhubungan erat antara perbuatan
”pencucian uang” dan perbuatan pidananya (predicate
crime).
Dalam sistem hukum
pidana Indonesia berdasarkan KUHP tentang Perbarengan Tindak Pidana (Bab VI),
terdapat ketentuan mengenai lex
specialis derogat lege generali (Pasal 63 ayat (2); ketentuan mengenai
perbuatan berlanjut (vorgezettehandeling)-
Pasal 64, dan ketentuan mengenai perbuatan yang berdiri sendiri (Pasal 65 dan
Pasal 66).
Praktik penuntutan
TPPU, perbuatan pencucian uang dan tindak pidana asal telah dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri (Pasal 65 dan/atau Pasal 66)), bukan perbuatan
berlanjut (Pasal 64). Praktik tersebut telah dibenarkan dalam 136 putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun masih perlu
dipersoalkan dari sudut teoritik hukum mengenai maksud dan tujuan pembentuk
UU TPPU 2010 terkait kedudukan ketentuan Pasal 2 UU TPPU 2010 yang menegaskan
26 (dua puluh enam) jenis tindak pidana asal.
Ketentuan tersebut
berbeda besar dengan ketentuan mengenai penadahan (Pasal 480 KUHP) yang tidak
menegaskan tindak pidana asal dari barang yang diterima penadah. Jika
kemudian ketentuan Pasal 69 UU TPPU 2010 tidak mewajibkan ada pembuktian
tindak pidana asal dari harta kekayaan yang diduga dari tindak pidana, akan
tetapi dalam ketentuan Pasal 77 dan 78 UU yang sama, terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak terkait perkara tindak pidana (yang
dituduhkan)—pembuktian terbalik, maka kedua ketentuan aquo jelas bertentangan
dengan asas lex certa yang menuntut adanya kepastian hukum sesuai dengan asas
legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP).
Dalam konteks beban
pembuktian terbalik tersebut, bagi terdakwa, ketentuan Pasal 69, ketentuan
Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU 2010, jelas bertentangan dengan prinsip hukum
universal: asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”non-self incrimination”
serta ketentuan tentang jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
dan persamaan di muka hukum” sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 D ayat (1)
UUD 1945?.
Menurut Ramelan, dalam
TPPU tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya (predicate crime) karena yang disasar adalah harta kekayaan yang
diduga berasal dari tindak pidana asal, bukan kesalahan dari perbuatan
terdakwa.
Namun jika merujuk
pada ketentuan Pasal 77 dan 78 UU TPPU 2010, menjadi ganjil, karena hakim
memerintahkan terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya ”tidak terkait
tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa”. Pertanyaannya, bagaimana
terdakwa dapat membuktikan harta kekayaan terdakwa adalah bukan atau tidak
terkait tindak pidana (asal) jika terdakwa sendiri belum mengetahui kebenaran
dugaan tindak pidana yang dilakukannya?
Pola rumusan ketentuan
Pasal 69 jo Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU 2010 telah secara nyata menempatkan
tersangka/terdakwa sebagai objek penuntutan atau perlakuan hukum bukan
sebagai subjek hukum yang memiliki hak konstitusional dan hak hukum yang
berlaku universal.
Ketentuan Pasal 69 jo
Pasal 78 dan Pasal 79 UU TPPU 2010 justru telah menghapuskan hak
konstitusional terdakwa (setiap orang) yang dilindungi oleh UUD 1945, untuk
membela dirinya dari tuduhan/dakwaan dan tuntutan penuntut. Sementaraitu,
penuntut merupakan representasi negara tidak melakukan kewajiban untuk
membuktikan dakwaannya sebagaimana ditentukan dalam KUHAP dan UU Kejaksaan.
Bukankah sesuai dengan
ajaran teori kausalitas (casualiteit
leer) dalam doktrin hukum pidana bahwa, terbukti tidaknya keterkaitan
harta kekayaan terdakwa mutatis mutandis, secara langsung atau tidak langsung
adalah membuktikan atau tidak membuktikan dugaan bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana yang telah didakwakan terhadap dirinya?
Dalam konteks praktik
penerapan hukum, telah terdapat kekeliruan penerapan hukum oleh majelis
hakim. Kekeliruan itu adalah hakim sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 77 dan
78 UU TPPU 2010, ”memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta
kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2ayat (1)”.
Dalam praktik tersebut
di atas permintaan penuntut mengandalkan laporan hasil analisis PPATK tentang
harta kekayaan terdakwa yang tidak terkait perkara tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa.
Sang terdakwa diminta
membuktikan keabsahan perolehan atas harta kekayaan lainnya yang meningkat
secara signifikan yang diduga melebihi penghasilan terdakwa yang sah pejabat
publik sekalipun harta kekayaan tersebut tidak terkait atau berasal dari
tindak pidana yang didakwakan penuntut.
Hasil analisis PPATK
mengenai keadaan harta kekayaan seseorang termasuk pejabat publik dan aliran
dana masuk dan keluar dari rekening terdakwa, tidak termasuk ke dalam salah
satu alat bukti sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Tidak ada satu
pun ketentuan dalam UU TPPU 2010 yang menegaskan status hukum hasil analisis
dimaksud sebagai alat bukti suatu tindak pidana.
Praktik penerapan
pembuktian tersebut dikenal sebagai pembuktian atas tindak pidana memperkaya
diri sendiri secara tidak sah (illicit
enrichment)- yang tercantum dalam Pasal 20 Konvensi PBB Antikkorupsi
2003, dan belum dikriminalisasi baik dalam UU RI Nomor 31 tahun 1999 yang
telah diubah UU RI Nomor 20 tahun 2001 maupun dalam UU TPPU 2010.
Pasal 20 Konvensi PBB
Antikorupsi 2003 menyatakan: ”Each
State Party shall consider adopting.... as a criminal offence, when committed
intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the
assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in
relation to his or her lawful income”.
Kata kunci dalam pasal
aquo adalah, pejabat publik, peningkatan kekayaan yang signifikan tetapi
tidak dapat dijelaskan ada hubungannya dengan penghasilannya yang sah dalam
pasal aquo tidak ada perintah kepada terdakwa untuk membuktikan keterkaitan
aset terdakwa dengan tindak pidana (asal). ***
Kekeliruan dalam
penerapan hukum yang seharusnya dapat membedakan antara tindak pidana
pencucian uang dan tindak pidana memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment) mencerminkan
pemahaman logika hukum yang lemah pada aparatur hukum, termasuk hakim.
Sedangkan fondasi ilmu
hukum terletak pada kekuatan logika (the
power of logic) bukan pada asumsi/ dugaan semata (prejudice). Bahkan, logika ketentuan Pasal 69 UU TPPU
bertentangan secara diametral dengan teori ajaran kausalitas (casualiteit-leer) yang menerangkan
hubungan erat antara perbuatan (daad)
dan akibat (gevolg).
Sejatinya kehadiran
teori ajaran kausalitas merupakan simbol kebangkitan rasionalisme ilmu
pengetahuan termasuk ilmu hukum (pidana), dan pengingkaran terhadap
kebangkitan rasionalisme sebagai parameter peradaban umat manusia justru
menunjukkan derasionalisasi pemikiran manusia dan sekaligus bertentangan
dengan landasan filosofis, sosiologis, dan historis Konstitusi UUD 1945.
Dalam pandangan saya,
TPPU merupakan perbuatan berlanjut dan tidak merupakan tindak pidana yang
berdiri sendiri, dan kedua, Pasal 69 UU TPPU tidak berdiri sendiri akan
tetapi harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU 2010
agar diperoleh pemahaman utuh,jelas dan tidak keliru serta dengan tepat
menempatkan status hukum tersangka/terdakwa yang memiliki hak asasi dijamin
oleh Konstitusi UUD 1945.
Pendapat saya tersebut
di atas sekaligus menafikan alasan telah ada 136 putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara TPPU terkait perkara
tindak pidana asal. Ada dua alasan, pertama bahwa pendapat ahli tersebut
merupakan penerapan hukum yang tidak termasuk objek dan wewenang majelis
hakim konstitusi untuk memberikan penilaiannya.
Kedua, bahwa sistem
kekuasaan kehakiman Indonesia tidak mengadopsi asas precedent yang berlaku
dalam sistem hukum common law (antara
lain di Amerika Serikat dan Inggris). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar