Tahun Berkabut
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
07 November 2015
Matahari musim kemarau
begitu terik, tetapi langit Indonesia selalu tampak mendung dan berkabut.
Berbulan-bulan kabut asap telah menggelapkan ruang udara Sumatera dan
Kalimantan hingga negara tetangga. Jutaan orang tersiksa hingga merenggut
korban jiwa. Namun, para pembakar lahan, entah itu korporasi tamak yang
diduga dibekingi para pembesar/mantan pembesar negeri atau individu
keblinger, tidak lagi punya hati. Itulah kabut pertama di dunia nyata.
Kabut kedua adalah
suasana mendung di ruang publik yang diselimuti caci maki, fitnah, dan
kebencian di dunia maya (media sosial). Ucapan yang terlontar didominasi dari
pikiran negatif yang destruktif, bukan pikiran-pikiran positif yang
konstruktif. Ujaran kebencian (hate
speech) yang memuncak sejak Pemilihan Presiden 2014 tak jua berhenti.
Maka, kabut asap dan kabut kebencian telah menipiskan oksigen kehidupan. Di
tengah krisis global, langit Indonesia makin dinaungi kemurungan.
Dan, upaya Kapolri
mengeluarkan Surat Edaran No 06/X/2015 tentang ujaran kebencian (hate speech) seyogianya mampu
mengurangi kebencian di ruang publik sekaligus menumbuhkan sikap toleran.
Namun, diingatkan agar SE tidak lantas menjadi ancaman bagi demokrasi.
Terlebih lagi demokrasi kita sudah telanjur terkontaminasi. Pasca reformasi
1998, demokrasi tidak tumbuh sehat, tetapi mengarah pada gejala patologis.
Demokrasi makin transaksional. Inilah kabut politik yang sulit sekali sirna.
Kasus korupsi bantuan
sosial (bansos) di Sumatera Utara yang melibatkan Gubernur Sumut Gatot Pujo
Nugroho, yang politisi PKS, menandakan pemimpin hasil reformasi juga ikut
main gelap-gelapan di tempat terang benderang. Politisi masih saja menjadi
pialang-pialang politik. Dua politisi Partai Nasdem, Rio Patrice Capella dan
OC Kaligis, ditahan KPK. KPK juga menjerat semua pimpinan DPRD Sumut periode
2009-2014.
Kasus lain politisi
Partai Hanura Dewie Yasin Limpo juga ditangkap KPK Oktober lalu karena
berjanji memuluskan alokasi anggaran di Kementerian ESDM (proyek pembangkit
listrik tenaga mikrohidro) dalam APBN 2016 untuk Kabupaten Deiyai, Papua.
Anggota DPR hasil reformasi ternyata tidak sedikit memakai topeng-topeng
palsu (simulacra). DPR kita memang
aneh. Kasus terakhir, kegaduhan DPR ketika pengesahan APBN 2016. Mati-matian
menolak penyertaan modal negara (PMN) di BUMN, tetapi tutup mata dengan
anggaran Rp 740 miliar untuk mereka sendiri, yang dirancang untuk memoles
wajah Senayan, yang berulang kali ditolak publik. Padahal kinerjanya saja
amburadul. Setahun ini cuma dua UU selesai dari 39 RUU yang dijanjikan.
Inilah tahun penuh
kabut. Jadi teringat kemelut era 1950-an. Setelah mengeluarkan pidato tahun
penentuan (year of decision) pada
1957, tahun tantangan (year of
challenge) pada 1958, Bung Karno meneriakkan tahun "penemuan kembali
revolusi kita" (rediscovery of our
revolution) pada 1959. Saat pidato 17 Agustus 1959 itu, Bung Karno
berapi-api mengatakan pentingnya mengganti alat-alat perjuangan (retooling) demi masa depan lebih baik.
Maksudnya bagaimana
Bung, mengganti DPR? "DPR
hendaknya menjadi satu tempat perwakilan rakyat yang bersifat baru... dalam
semangat membina masyarakat adil dan makmur, saya harap supaya Gedung DPR itu
bukan lagi hanya satu tempat berbicara tele-tele dan tempat pemungutan suara
saja, tetapi terutama sekali tempat di mana dilahirkan pikiran-pikiran,
ide-ide, konsepsi-konsepsi yang berguna dan bersejarah bagi rakyat,"
kata Bung Karno dalam pidato yang kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik
(Manipol) itu.
Bagaimana mungkin bisa
melahirkan konsepsi segar karena banyak pemimpin negeri ini kerap memunggungi
rakyatnya? Bung Karno memberi jawaban: "Peringatan
ini baik sekali didengarkan oleh orang-orang yang menyebut dirinya pemimpin.
Kalau mereka memimpin, maka ketahuilah bahwa yang mereka pimpin itu bukan
satu rombongan kambing, atau satu rombongan bebek, atau satu rombongan tuyul,
tetapi satu rakyat yang kesadaran sosialnya dan kesadaran politiknya telah
tinggi!"
Bung Hatta saat
menerima gelar honoris causa di UGM pada 27 November 1956, tiga hari sebelum
mundur dari kursi wakil presiden, berpidato: "Apa yang kita alami di Indonesia sehari-hari sekitar kita,
tidak menjadi pelita di dalam hati untuk membangun masyarakat baru. Tiap-tiap
golongan berkejar-kejaran mencari rezeki. Golongan sendiri dikemukakan,
masyarakat dilupakan... partai itu dijadikan tujuan dan negara menjadi
alatnya... sering kali ke- anggotaan partai menjadi ukuran, bukan dasar the
right man in the right place... akhirnya orang masuk partai bukan karena
keyakinan, melainkan karena ingin memperoleh jaminan... partai-partai politik
ditungganginya, ...Maka timbullah anarki dalam politik dan ekonomi.
Kelanjutannya korupsi dan demoralisasi merajalela."
Lagi asyik menyimak
Bung Karno dan Bung Hatta, dua bung besar yang pernah dimiliki Ibu Pertiwi,
Rabu (4/11) siang, tiba-tiba tersentak saat mendengar ada gempa berkekuatan
5,2 SR di Pandeglang yang terasa sampai Jakarta. Lamunan tengah mewawancarai
Bung Karno dan Bung Hatta pun buyar. Saya tersadar masih berada di tengah
kabut pekat. Maka reformasi tidak boleh berhenti. Seperti makna revolusi Bung
Karno, reformasi juga berarti construct
tomorrow, pull down yesterday. "Orang
pesimis melihat kesulitan di setiap kesempatan, tetapi orang optimis akan
melihat kesempatan di setiap kesulitan," kata Winston Churchill
(1874-1965), mantan jurnalis yang dua kali menjadi PM Inggris (1940-1945 dan
1951-1955). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar