Dua Paradigma Desa
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB
|
KOMPAS,
07 November 2015
Analisis J Kristiadi
di harian ini empat hari lalu menempatkan pemilahan dua paradigma sebagai
pangkal kisruh desa dalam dua tahun terakhir: desa membangun dan (pemerintah)
membangun desa. Kesimpulan Kris berguna untuk memusatkan penyelesaian
persoalan pada pemupukan pertemanan paradigma. Tujuannya, memantik
implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa melalui soliditas
antarpemimpin, antarkelembagaan, dan pola perilaku solidaritas di lapangan.
Thomas S Kuhn
mengonsepkan paradigma sebagai cara pandang spesifik untuk memetik pemahaman
lingkungan, bersikap, dan berperilaku secara khas. Kacamata berbeda memaknai
pemberian uang dari desa kepada pendamping sebagai kesopanan berterima kasih,
kacamata lain menuduhnya penyuapan.
Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (DPDTT) menghuni kamar
paradigma desa membangun. Tak ada pintu penghubung ke kamar membangun desa
oleh Kementerian Dalam Negeri.
Sayang, konsep Kuhn,
yang amat dikenal di Indonesia, melalaikan basis kaidah diskontinuitas, yang
lalu dikembangkan dalam analisis diskursus. Ia percaya paradigma yang satu
putus-lepas dari paradigma lain. Namun, Michel Foucault menemukan tambahan
interaksi paradigmatik lain: perang antarparadigma ataupun pertemanan
antarparadigma.
Perang legalitas
wewenang terekam dalam UU No 6/2014, peraturan perundangan turunannya, hingga
peraturan presiden tentang otoritas tiap kementerian. Skornya sekitar 80
persen pasal kewenangan Kemendagri, 20 persen otoritas Kementerian DPDTT. Tak
mengherankan beberapa pekan ini Menteri DPDTT mengalihkan medan perang lewat
wacana revisi UU No 6/2014 agar kekuasaan terakumulasi hanya ke dalam
kementeriannya.
Sebenarnya perang
paradigma desa tak hanya menggaet kedua kementerian. Bappenas memasuki kancah
saat mengumumkan Indeks Pembangunan Desa, yang berlainan dari Indeks Desa
Membangun ciptaan Kementerian DPDTT. Pemda juga mengumpulkan berkas
pendaftaran pendamping, bersaing dengan kompilasi berbasis laman Kementerian
DPDTT.
Setelah pemisahan
wewenang melalui peraturan perundangan gagal menyelesaikan kisruh pengelolaan
desa, kini saatnya dibutuhkan pendekatan pertemanan paradigma. Juergen
Habermas mengusulkannya melalui diskusi deliberatif yang dikembangkan di
antara seluruh pelaku desa. Kepentingan setiap pihak yang berbeda-beda tetap
diakui karena percuma berpura-pura tanpa hasrat kuasa. Namun, musyawarah
deliberatif menundukkan ego ke bawah rasio bersama, yaitu tujuan memberi
manfaat bagi ratusan juta warga desa.
Apalagi, kenyataannya
ranah implementasi kebijakan tak pernah sesempit pasal peraturan perundangan.
Sebagian kecil pegawai dua kementerian itu telah berupaya membangun irisan ruang
publik di antara dua gelembung paradigma desa. Keterpaduan dibangun pada
aspek kegiatan dan subkegiatan lapangan, terjaga di kawasan transmigrasi dan
daerah tertinggal.
Keterpaduan metodologis
Implementasi toleransi
antarparadigma diusulkan Robert Ritzer melalui strategi menurunkan
metaanalisis itu pada kadar metodologi. Tataran birokrasi, lembaga, dan
perundangan nasional yang kaku dapat dipadu tataran interaksi tatap muka yang
konkret, fleksibel, dan lokal.
Di tingkat nasional,
Bappenas semula diserahi wewenang menciptakan ruang publik memadukan gerak
kegiatan dan anggaran kedua kementerian. Sayang, legitimasi mediasi pupus
seiring terjunnya dalam persaingan pengukuran desa. Mengingat kedua
kementerian pada menko berbeda, mestinya wahana deliberasi dapat muncul dalam
bentuk rapat kabinet atau rapat terbatas. Di antara kementerian dan lembaga
sendiri dapat dikembangkan kesatuan langkah. Preseden yang pernah diciptakan
berupa surat keputusan bersama, panduan kegiatan bersama, dan pengelolaan
proyek pembangunan bersama.
Unjuk jari aparat
pemda di beberapa rapat koordinasi sempat berisi usul agar akademisi turun
gunung bersama-sama membangun ruang pertemanan paradigma desa. Dilakukanlah
upaya harmonisasi peraturan perundangan, motivasi dalam diskusi di
kementerian, juga praktik advokasi batas desa dan pengelolaan administrasi
pemerintahan.
Titik kritis
pertemanan paradigma terletak di persambungan aras nasional dan lokal. Manajemen
wilayah sodaliti itu (istilahnya dipopulerkan Tjondronegoro) butuh kepiawaian
memahami kausalitas peraturan dan wewenang pemerintah pusat, sambil
mempraktikkannya sesuai dengan pola komunikasi dan sumber daya lokal.
Sejak Indonesia
merdeka, wilayah sodaliti mewujud pada kecamatan sebagai bayangan daerah
tingkat ketiga; sekarang pada desa. Selama Orde Baru, soladiti dipanggul
kader kemente- rian yang diturunkan ke desa. Mereka berpraktik sebagai
pialang budaya, membumikan kausalitas abstrak kebijakan jadi wahana prakarsa
warga meningkatkan kesejahteraan umum.
Sayang, selama
pelaksanaan proyek pemberdayaan masyarakat 1998-2014, kapasitas sodaliti
dikubur oleh peran dominan konsultan pendamping. Untuk membangkitkannya,
aparat kecamatan dan desa serta kader kementerian mendapat pelatihan yang
berpusat pada kecerdikan kolaborasi personel, kelembagaan, dan administrasi.
Jika mulai akhir tahun
ini aparat pemerintah, desa, dan warga di lapangan menguatkan pertemanan
paradigma membangun desa dan desa membangun, perang diskursus di pemerintah
pusat pupus legitimasinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar