Sabtu, 07 November 2015

Bahasamu Kastamu

Bahasamu Kastamu

Eko Endarmoko  ;  Munsyi; Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia
                                                     KOMPAS, 07 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tidak ada yang istimewa benar pada bahasa Indonesia kita dibandingkan dengan bahasa umumnya di mana-mana pun. Bahasa Indonesia adalah cara orang Indonesia terhubung satu sama lain. Antara mereka yang bersekolah tinggi dan yang buta huruf, antara si kaya dan si melarat, antara lelaki dan perempuan, antara kaum Muslim dan mereka yang punya agama berbeda, antara pejabat dan rakyat, antara orang Lamongan dari tanah Jawa dan Patipi dari bumi Papua, antara penegak hukum dan para durjana. Bahasa Indonesia dipakai bukan hanya oleh mereka yang berasal dari golongan, kelamin, derajat, agama, dan ras yang sama. Dan ”Indonesia” dalam frasa ”bahasa Indonesia” jelas menjadi pewatas kita sebagai (sesama) bangsa Indonesia yang bertutur dalam bahasa Indonesia, entah sebagai bahasa ibu atau bahasa kedua.

Bahasa Indonesia yang kita pakai itulah alasan pertama masing-masing dari kita bisa menyebut diri sebagai orang Indonesia. Namun, tidak bisa dengan gampang kita bilang bahwa bahasa gado-gado dalam pertuturan dengan bahasa Indonesia yang bercampur dengan sejumlah kata dari bahasa asing dan daerah tidak dapat disebut sebagai bahasa Indonesia (yang baik dan benar). Definisi ”bahasa Indonesia” saya pikir bukan pertama-tama berangkat dari kemestian bahwa ia dibangun dari kata asli Indonesia. Tidak saja karena batasan ”asli” itu goyah, tetapi karena bahasa punya fungsi melampaui sekadar perkakas atau cara kita berkomunikasi.

Celakanya, tuntutan berbahasa yang baik dan benar tidak jarang melupakan sifat kaidah di dalamnya. Lupa bahwa kaidah, tentu saja termasuk kaidah di dalam bahasa, tidak lain dari norma atau etiket yang disusun berdasarkan kesepakatan orang-orang pemilik norma itu. Norma kita tahu bukanlah hukum positif buatan penguasa yang punya kekuatan memaksa. Tidak pernah kita jumpai ahli bahasa memukuli (atau petugas hukum memenjarakan) mereka yang ngawur bahasanya—sekalipun kita punya undang-undang kebahasaan yang sudah disahkan pada 2009 silam. Ini kira-kira sama mustahil atau absurdnya dengan tuan rumah melaporkan tamu dia kepada polisi sebab si tamu hanya mengenakan kaos singlet dan bersandal jepit.

Etiket tak punya urusan dengan perkara benar atau salah. Di mana salah orang yang makan tidak di meja makan dan tidak dengan perkakas, seperti sendok, garpu, atau pisau, tetapi di lantai dan dengan tangan telanjang? Yang kita jumpai dalam norma atau etiket adalah soal kepantasan, kepatutan yang terbentuk dari kebiasaan segolongan orang.

Berpegang pada ungkapan: ”Bahasamu kastamu”, sederhana saja sebenarnya yang ingin saya katakan. Orang puritan di dalam bahasa gampang menerbitkan sebal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar