Politik Kebudayaan
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS,
31 Oktober 2015
If there is a sphere whose very nature precludes all
prognostication, it is that of culture, and especially of the arts and
humanities.
Vaclav Havel, "Six
Asides about Culture"
Tidak jelas
apakah belum ditemukannya sosok pas untuk direktur jenderal kebudayaan hingga
lebih dari setengah tahun ada sangkut pautnya dengan Rancangan Undang-Undang
Kebudayaan yang masih menggantung, atau menteri terkait menyadari kerumitan
dan kegagalan politik kebudayaan selama ini. Yang jelas, polemik kebudayaan
sejak 80 tahun lalu masih belum tuntas.
Sementara kebudayaan Jepang,
Korea, atau Tiongkok sudah go international,
pemerintah kita sibuk dengan raga kebudayaan dan nilai ekonomisnya. Politik
kebudayaan jadi defensif: agar kekayaan budaya tak diklaim negara lain dan
demi identitas bangsa. Negara menjadi museum warisan budaya. Kebudayaan
diluhurkan sebagai bagian dari romantisisme masa lalu tanpa getarnya pada
masa kini. Roh kebudayaan pun luput.
Gerak kebudayaan
Gerak kebudayaan terhenti
karena reifikasi dan kompartemensasi. Kebudayaan hanya dilihat sebagai
peninggalan berharga yang harus diselamatkan dan dipelihara. Tak heran draf
RUU Kebudayaan disusupi pasal kretek. Dengan menautkan kebudayaan pada
pendidikan dasar dan menengah, masalah jual-beli karya ilmiah, ijazah palsu,
joki ujian, perguruan tinggi abal-abal, minimnya riset, seolah-olah tak ada
hubungannya dengan budaya ilmiah.
Seolah-olah juga kebiasaan
melawan arus dalam berkendaraan dan maraknya pelanggaran berlalu lintas tak
ada hubungan dengan budaya tertib. Seolah-olah praktik korupsi yang sudah
membudaya tak memerlukan budaya tandingan. Baru genap setahun pemerintahan
baru, tiga anggota DPR dari partai pengusung pemerintah terjerat korupsi.
Tolikara dan Singkil hanya
dilihat sebatas masalah kerukunan antarumat. Seolah-olah tragedi itu tidak
ada hubungannya dengan keberagaman yang terputus dari kultur keindonesiaan.
Masalah bangsa dan penyakit masyarakat diselesaikan sangat naif dengan
mengambinghitamkan pendidikan agama. Keindonesiaan seperti atribut kebangsaan
tanpa daya hidup. Orang Indonesia terombang-ambing ke Barat, Tiongkok, Arab,
atau Jerusalem.
Kebudayaan seharusnya menjadi
sebuah modal sosial yang membuat bangsa sintas dan pentas di era global.
Untuk itu, kebudayaan harus terlibat dalam dialog peradaban, lalu direkayasa
untuk kemajuan bangsa. Kemajuan di zaman modern identik dengan penguasaan
ilmu dan teknologi. Tidak cukup hanya pandai menggunakan gawai komunikasi
modern untuk komunikasi dan kesenangan, tanpa peningkatan produktivitas dan
keilmuan.
Rekayasa kebudayaan
Tak ada bangsa dengan gen
ilmiah. Setiap bangsa pernah memiliki para genius yang tenggelam dalam kultur
primordial dan feodal. Mereka seperti lahir pada zaman salah. Orang Tiongkok
sudah mengenal serbuk mesiu, alat cetak, dan kompas, berabad-abad sebelum itu
dikenal di Barat. Konstruksi piramida memperlihatkan kebudayaan Mesir kuno
yang sudah sangat tinggi pada masanya. Namun, episentrum revolusi sains tak
di sana.
Eropa yang sebelumnya hidup
dalam kegelapan selama berabad-abad (tidak melek sains) tiba-tiba mengalami
fajar pencerahan akal budi dan melahirkan sains modern. Fenomena kebendaan
pertama-tama bukan untuk dinikmati, melainkan untuk diselidiki, untuk
memuaskan hasrat ingin tahu. Semangat meneliti dan berinovasi menjadi bagian
dari peradaban Barat, setelah beberapa abad menular ke bangsa-bangsa Asia.
Sudah lama praktik berbangsa
dan bernegara kita lepas dari bingkai kebudayaan yang bergerak maju
(progresif). Jauh sebelum ini (1974), antropolog Koentjaraningrat sudah
mengingatkan bahwa keberhasilan pembangunan di Indonesia amat bergantung pada
kebudayaan pendukung. Ia menyebut kelemahan mentalitas orang Indonesia yang
melekat pada sistem nilai tradisional maupun nilai-nilai baru sesudah
revolusi. Bisa ditambahkan lagi, orang kita karena lama terjajah cenderung
pasif dan minder berhadapan dengan orang Barat. Mentalitas itu melumpuhkan
inisiatif. Orang lebih suka jadi bawahan yang diperintah daripada memerintah
diri sendiri dengan bertanggung jawab. Akhirnya, cenderung konsumtif daripada
produktif, cenderung impor daripada susah payah berswasembada.
Mentalitas tradisional,
mentalitas terjajah, dan mentalitas pasca revolusi, ketiga lapisan mentalitas
itulah yang tanpa disadari membentuk Indonesia hari ini dan menghambat gerak
maju bangsa. Di sinilah sebenarnya signifikansi revolusi mental dalam jargon
kampanye presiden lalu. Selama masyarakat dan elite politik masih mengidap mentalitas
lama, Indonesia tidak akan bergerak ke mana-mana.
Untuk menjadi modern,
mentalitas dan peradaban juga harus modern untuk persemaian sains dan
teknologi. Salah satu ciri budaya ilmiah adalah jelas dan terbedakan, clare
et distincte dalam
ungkapan bapak rasionalisme modern, René Descartes. Mustahil Indonesia
menjadi negara maju apabila tidak mampu membedakan antara kebakaran dan
pembakaran hutan. Terlalu lama kejahatan lingkungan yang melibatkan
pemerintah sebagai pemberi izin konsesi dibiarkan.
Kita ingin jadi negara maju,
tetapi di mana ada negara maju dengan korupsi terstruktur, dengan penegakan
hukum lemah, lalu lintas amburadul? Nilai rapor Indonesia masih merah, di
bawah skor rata-rata indeks persepsi korupsi dunia sebesar 43. Indonesia
masih termasuk dua pertiga dari 175 negara terkorup di dunia dengan skor di
bawah 50.
Memang benar budaya korupsi
tidak cukup dikikis dengan penindakan, tetapi benar juga bahwa budaya
tandingan termasuk konsistensi dan berkelanjutan penindakan, dimulai dari
memerangi korupsi di lingkaran kekuasaan. Budaya korupsi yang sejak 1970-an
sudah disebut-sebut Bung Hatta kini semakin menggila sehingga tergolong
kejahatan luar biasa. Perlawanan dari lingkaran kekuasaan justru hendak
membuatnya sebagai suatu kejahatan biasa. Usulan revisi UU Komisi
Pemberantasan Korupsi dibalut istilah "penguatan" atau
"penyempurnaan," sebenarnya pelemahan, dengan dalih hak asasi dan
asas praduga tak bersalah. Kewenangan penyadapan yang terbukti efektif dan
selama ini tidak pernah disalahgunakan untuk memeras warga, hendak
dibirokratisasi adalah bukti budaya anti korupsi belum terbentuk.
Jalan terstruktur melawan
korupsi terstruktur adalah atasan wajib proaktif memerangi korupsi bawahan.
Korupsi merajalela karena atasan tutup sebelah mata, entah dirinya sendiri
melakukan korupsi lebih besar atau ia tak mau repot. Rakyat enggan melaporkan
praktik korupsi di institusi dengan kultur pembiaran seperti itu. Budaya
permisif pun berkembang. Skenario korupsi tetap jalan, hanya pelaku atau
partainya berbeda. Apabila menteri yang membidangi kebudayaan hendak menoreh
sejarah dalam kepemimpinannya, ia harus berhati-hati dengan birokratisasi
kebudayaan.
Apabila tak yakin dapat
mengembalikan getar dan gerak kebudayaan, sebaiknya biarkan kebudayaan bebas
tak menghuni rumah birokrasi. Toh, ada UU yang mengatur produk kebudayaan.
Rekayasa kebudayaan sebuah keniscayaan politik untuk kemajuan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar