Memahami Fluktuasi Rupiah
Dian Ayu Yustina ; Ekonom Bank Danamon
|
KOMPAS,
31 Oktober 2015
Beberapa pekan terakhir kita menyaksikan nilai tukar rupiah
bergerak sangat berfluktuasi. Nilai tukar rupiah sempat mengalami episode
pelemahan yang cukup tajam, menembus Rp 14.700 per dollar AS, level terlemah
sejak 1998.
Saat itu banyak yang pesimistis dalam melihat prospek rupiah dan
banyak yang memperkirakan rupiah akan terus tertekan hingga menembus Rp
15.000 per dollar AS. Namun, di luar dugaan, dalam tiga pekan terakhir kita
dikejutkan oleh dorongan penguatan rupiah yang cukup besar hingga mencapai 10
persen dan mencapai level terkuat di Rp 13.288 per dollar AS dalam empat
bulan terakhir. Apa yang terjadi? Apa penyebab terjadinya swing demikian besar
pada rupiah?
Selama ini kita menyadari bahwa rupiah kadang mengalami
fluktuasi yang sedemikian besar pada periode-periode tertentu. Rupiah dapat
menguat cukup tajam seperti pada periode 2010-2011 yang mencapai Rp 8.400 per
dollar AS saat Indonesia mengalami periode boom komoditas. Namun, rupiah juga
dapat melemah tajam seperti pada periode 2008 saat krisis mini, tahun 2013
saat The Fed mengumumkan langkah penarikan stimulus (tapering off) dan
beberapa bulan terakhir saat berkembang spekulasi The Fed akan menaikkan suku
bunga.
Hal ini tentu membingungkan bagi masyarakat, khususnya pelaku
usaha yang perlu memprediksi rupiah untuk penyusunan anggarannya. Rupiah
menjadi sulit diprediksi. Dibandingkan pergerakan mata uang lain di kawasan
Asia Tenggara, nilai tukar rupiah kadang mencatat volatilitas paling besar.
Kondisi pasar valas
Untuk mencoba memahami pergerakan rupiah, kita harus menyelami
kondisi pasar valas di Indonesia. Pergerakan rupiah dipengaruhi oleh faktor
fundamental ekonomi, faktor sentimen, dan faktor struktur pasar valas. Jadi,
meski terlihat fundamental ekonomi kita masih kuat, faktor sentimen dan
struktur di pasar valas kadang lebih dominan memengaruhi rupiah.
Pertama, kita harus memahami bahwa pergerakan rupiah erat
kaitannya dengan kondisi neraca pembayaran. Neraca pembayaran pada dasarnya
mencatat aliran masuk-keluar valas dari Indonesia, seperti kegiatan ekspor,
impor, aliran modal dan utang, serta investasi. Pelemahan atau penguatan
rupiah merupakan refleksi dari kondisi neraca pembayaran kita. Tahun ini,
misalnya, neraca pembayaran kita masih akan mencatat defisit. Jumlah impor
yang melebihi ekspor menciptakan defisit perdagangan dan jasa.
Sementara di sisi aliran modal, jumlah pembayaran utang (pokok,
kupon, dan dividen) tak diimbangi oleh masuknya aliran investasi modal asing
akibat memburuknya sentimen global. Kondisi defisit pada neraca pembayaran
terefleksikan pada melemahnya rupiah di pasar valas.
Sederhananya, hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply)
bekerja di sini. Permintaan valas yang tinggi (untuk impor, bayar pokok dan
bunga utang LN, atau return investasi) tak diimbangi dari sisi pasokan yang
biasanya berasal dari devisa hasil ekspor atau aliran investasi asing.
Kondisi kelebihan permintaan (excess
demand) diperparah dengan perilaku pelaku domestik yang cenderung sebagai
pengikut di pasar (market follower).
Memburuknya sentimen eksternal dan penarikan dana valas oleh
investor asing akan menyebabkan para pelaku domestik turut memburu valas
(dollar) dan menyimpannya di tabungan atau deposito. Ini bisa disebut sebagai
aktivitas spekulasi apabila tidak ada "dokumen underlying"-nya.
Dokumen underlying (keterangan dasar pembelian valas) harus disertakan
apabila akan membeli valas dalam jumlah besar.
Peningkatan kebutuhan valas oleh pelaku domestik ini bisa
dijelaskan oleh berkembangnya ekonomi dan tumbuhnya kelas menengah di
Indonesia sehingga aktivitas perjalanan (travelling)
ke luar negeri, sekolah, atau membeli barang ke luar negeri menjadi sesuatu
hal yang lazim. Akibatnya, kebutuhan dollar untuk individu pun meningkat.
Jika ini terjadi di tengah minimnya pasokan valas (devisa ekspor banyak
ditahan, aliran modal asing jauh berkurang), rupiah pun akan kian tertekan.
Di sinilah pentingnya upaya menjaga persepsi positif di mata masyarakat dan
pelaku sektor keuangan untuk mencegah terjadinya panic buying dollar di pasar
valas.
Melihat perilaku masyarakat seperti ini, wajar jika pergerakan
rupiah menjadi sedemikian berfluktuasi. Rupiah bisa melemah dengan cepat,
tetapi jika sentimen berbalik positif-seperti terjadi dua pekan lalu-rupiah
pun bisa menguat dengan cepat. Lihat saja fenomena yang terjadi pada awal
Oktober lalu yang diawali dengan berbaliknya sentimen global menjadi positif.
Pelemahan data ekonomi AS dinilai akan membuat The Fed menunda kenaikan suku
bunganya. Artinya, investor global melihat ini sebagai kesempatan untuk
kembali ambil risiko dan menanamkan dananya di negara-negara bertumbuh,
seperti Indonesia.
Sentimen positif semakin menguat didukung oleh dirilisnya
paket-paket kebijakan pemerintah yang membuat prospek ekonomi Indonesia kian
cerah. Hal ini membuat pelaku asing kembali masuk dan mendorong rupiah
terangkat dari level terlemah saat itu. BI pun melihat ini momen tepat untuk
intervensi pasar dan membalikkan persepsi pelaku domestik sehingga rupiah
tambah menguat. Melihat hal ini, pelaku domestik yang tadinya banyak memiliki
dollar pun segera mengikuti dengan melepas dollarnya untuk menghindari
kerugian. Akibatnya, rupiah menguat tajam hari itu, semata akibat berbaliknya
persepsi pasar.
Respons kebijakan
Bagaimana kita bisa meminimalkan volatilitas rupiah? Salah
satunya dengan memperbaiki kondisi suplai dan permintaan di pasar valas.
Upaya pembatasan dari sisi permintaan sudah banyak dilakukan bank sentral.
Salah satunya, menurunkan jumlah beli valas yang perlu disertai dokumen
underlying (dari semula 100.000 dollar AS menjadi 25.000 dollar AS). Langkah
ini dimaksudkan sebagai upaya menangkal aksi spekulasi. Namun, ini biasanya
menjadi kurang efektif jika persepsi pasar sudah negatif.
Maka, saat ini upaya fokus pada perbaikan di sisi penawaran
(pasokan) di pasar valas. Sangat penting untuk mencermati kurangnya pasokan
dollar di pasar valas kita. Kita tidak dapat terus mengandalkan suplai dari
dana jangka pendek (hot money) yang
memiliki sifat dapat masuk-keluar dengan cepat. Jadi, mau tak mau kita harus
dapat memperbaiki suplai dari sisi fundamentalnya, salah satunya dengan
menambah devisa hasil ekspor.
Kondisi lemahnya ekonomi global, terutama Tiongkok, menekan
performa ekspor kita sehingga suplai dollar dari ekspor menjadi minim. Belum
lagi faktor eksportir yang cenderung menahan devisa hasil ekspornya dalam
bentuk dollar dan ditaruhnya pun banyak di luar negeri. Ekspektasi pelemahan
rupiah bisa menjadi penyebab eksportir untuk menahan niat mengonversi ke
rupiah. Di sisi lain, penyebab eksportir banyak menaruh devisa di luar negeri
adalah alasan kepraktisan dan biaya. Banyak eksportir yang juga merupakan
importir bahan baku sehingga mereka cenderung lebih suka menaruh dollar di
luar negeri demi kemudahan bertransaksi dengan rekanannya di LN.
Hal inilah yang memicu pemerintah, BI, dan OJK untuk
mengeluarkan kebijakan pemberian insentif bagi eksportir agar mau mengonversi
devisa ekspor ke rupiah. Pemerintah memberikan diskon pajak bagi penempatan
devisa hasil ekspor di bank-bank domestik, bahkan menghapus pajak jika devisa
tersebut dikonversi ke rupiah. Koordinasi yang cukup baik pun terlihat dengan
dilengkapinya insentif itu oleh kebijakan OJK yang mempermudah pembukaan
layanan trustee bagi perbankan. Jasa trust adalah jasa penitipan dan
pengelolaan devisa dalam jumlah besar yang dilakukan bank.
Saat ini disinyalir masih banyak eksportir yang menggunakan jasa
trust bank di luar negeri untuk pengelolaan devisa, seperti aktivitas
pembayaran untuk ekspor impor (paying
agent), investasi (investment agent),
atau peminjaman (borrowing agent).
Untuk dapat menyediakan layanan trustee,
bank biasanya perlu memiliki sistem TI yang baik dan terintegrasi.
Demi dapat menarik fungsi pengelolaan devisa ini ke dalam
negeri, OJK telah menyederhanakan aturan untuk bank-bank dalam menyediakan
layanan trustee sehingga diharapkan lebih banyak bank domestik (termasuk
kantor cabang bank asing di Indonesia) yang dapat menyediakan layanan trustee ini.
Langkah-langkah dan kebijakan penambahan devisa terus diupayakan
pemerintah, BI, dan OJK demi memperbaiki pasokan valas di dalam negeri.
Kebijakan yang dikeluarkan salah satunya di bidang pariwisata. Pemerintah
memperluas jumlah negara yang mendapatkan fasilitas bebas visa dengan harapan
mendatangkan pemasukan dollar melalui pariwisata. Tentu kebijakan ini harus
disertai perbaikan pengelolaan pariwisata dan promosinya.
Kebijakan pemerintah yang giat mendorong pembangunan infrastruktur,
memberi dukungan dan insentif, serta menarik investasi untuk sektor
manufaktur saat ini pada akhirnya dimaksudkan agar sektor manufaktur
berkembang dan bisa menjadi sumber devisa ekspor utama daripada hanya
mengandalkan ekspor komoditas yang sedang terpuruk. Perbaikan infrastruktur
dan pembangunan industri manufaktur memang butuh waktu, tetapi kita sudah
berada pada jalur yang benar. Kekuatan ekonomi domestik berbasis produksi
pada akhirnya akan terefleksikan pada nilai tukar yang relatif kuat dan lebih
stabil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar