Pelajaran dari Gibran
Kurnia JR ; Sastrawan
|
KOMPAS,
31 Oktober 2015
Kahlil Gibran diundang ke Kongres Arab I di Paris pada 1913 yang
membahas soal pembebasan negeri-negeri Arab dari penjajahan Turki Utsmani.
Sang penyair menolak.
Gibran patriot sejati yang sepenuh hati memperjuangkan
kemerdekaan negerinya dari penjajahan asing dan kebengisan hukum feodal
bangsanya sendiri atas rakyat jelata. Bersama para sastrawan Arab yang
bermukim di Boston dan New York, AS, dia menerbitkan puisi dan esai yang
memicu revolusi sastra Arab dan menyuarakan sikap politiknya dari AS. Ia juga
menggalang dana guna menyokong rakyat yang tertindas di tanah airnya. Sebagai
warga diaspora, pelukis-penyair mistik ini seumur hidupnya merindukan
reruntuk Biara Mar Sarkis di Wadi Qadisha, Lembah Suci, di desa kelahiran di
kaki Gunung Cedar.
Lalu, kenapa dia menolak hadir dalam forum penting itu?
Alasannya lugas: para penanggung ongkos perjalanannya ke Paris menitipkan
opini politik yang tak dia setujui. Di ajang perang opini, pemimpin
seniman-intelektual Suriah di AS ini menolak dijadikan kuda troya.
Bencana sektarianisme
Gibran telah merevolusi sastra Arab yang stagnan hingga
menyentuh awal abad ke-20 itu. Isi bertaklid-mengabdi-kepada bentuk sehingga
yang mewujud dalam puisi kehampaan semata. Penyair yang sadar hanya bisa
menghela napas: merasa sia-sia.
Selain menyumbang entitas unik sastra Inggris dan Amerika,
dengan gairah "api biru" ia menuangkan isi segar ke cawan baru
sastra Arab dengan napas dan suara kritis aktual. Tak pelak lagi, sendi-sendi
kehidupan individual, sosial, politik, dan penguasa feodal di negerinya menderita
tikaman belati kritik radikal, terutama otoritas politik dan agama korup yang
hidup mewah di atas derita umat dan awam.
Lantaran puisi dan esai-esainya itulah Gibran dihujat di
negerinya. Di depan Golden Circle,
pada 1911, ia menyatakan bahwa hanya revolusi jalan untuk mewujudkan
pemerintahan yang berdaulat. Ia menyebut sikap teman-teman seperjuangan
sesama orang Suriah yang memilih "keamanan" dan
"kesabaran" sebagai "racun ketimuran".
Ia setia mengingatkan bangsanya akan bahaya sektarianisme yang
telah memicu pembantaian besar-besaran di tanah kelahiran. Pada 1910, di
London, Gibran dan sahabatnya, Amin Rihani, membuat sketsa gedung opera di
Beirut dengan dua kubah pelambang rekonsiliasi Islam dan Kristen. Dia juga
menolak kebijakan intervensi Barat yang berpotensi mendorong perpecahan
bangsa dan tanah air. Ramalannya terbukti. Dia meminta bangsa Arab yang
tertindas tidak minta bantuan negara-negara Eropa.
Dalam pandangannya, para penguasa Eropa dengan sinis mendorong
perang saudara di bumi Suriah dan dengan serakah bersaing menguasai barang
rampasan dari Kerajaan Utsmani yang terpecah belah. Ia pun tak menyerukan
reformasi yang ia yakini hanya memberi kemerdekaan dan otonomi palsu kepada
Arab. Akibatnya, ia diserang hujatan dan kontra opini.
Kemudian, yang dicemaskan sang penyair terjadi. Di tangan Barat,
Suriah Raya dipecah belah jadi Suriah, Lebanon, Jordania, dan Palestina
(sebagian diklaim Israel). Diselingi masa damai sejenak, rakyat dari bangsa
yang dulu megah dengan hikayat para rasul kini jadi pengungsi yang nestapa.
Suriah Raya potret negeri kita hari ini. Tengoklah Sumatera,
Nias, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali, Sumbawa, Flores, Papua, dan
pulau-pulau kecil nan tak tepermanaijumlah dan keelokannya sebagai kekayaan.
Dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekadar senandung dari lagu nostalgia,
melainkan kenyataan aktual geopolitik kita yang potensinya lebih besar
daripada sekadar Majapahit dan Sriwijaya. Anugerah ini menuntut kewaspadaan
dan penjagaan ketat.
Memetik pelajaran dari "Sang Nabi" dari Lebanon
tentang pahitnya bencana dari sektarianisme, para penyair, prosais, penulis
fiksi, satire, repertoar musik, dan drama; aktor, musisi, seniman panggung,
orator budaya, dan segenap pengabdi di kaki Dewi Kesenian layak berjuang
untuk menemukan relevansi eksistensi mereka dengan fenomena aktual bangsa
kita yang religius.
Ruang tak bertuan
Religiositas cenderung damai, tetapi bisa jadi militan manakala
digosok terlalu kuat dan bergesekan dengan entitas yang dianggap menodai
citra agama. Di sini ada ruang tak bertuan tempat para petualang politik
bermain. Jangan dibiarkan khalayak rentan terhadap pengaruh alkoholik dari
tingkah akrobatik politikus bayaran dan aparat korup yang jadi agen provokasi
sektarian. Saudara seagama diadu satu sama lain dengan laknat takfiri, rumah
ibadah tetangga dibakar.
Minim program penggalian nilai-nilai budaya tradisi, kita pun
kerap terancam kecenderungan bersikap lemah untuk menyerahkan kebijakan
budaya ke pelukan kultur Barat yang sebagian dekaden. Dalam kenyataannya,
justru yang dekaden itu yang kerap dominan, pesat, dan besar pengaruhnya atas
sendi-sendi kehidupan bangsa seluruhnya.
Di balik gemerlap panggung seni, berita gaya hidup, dan aksi
segelintir altruis menawan dari negeri antah-berantah, di dunia maya yang
dibanjiri gagasan berlian hingga sampah berlumur fitnah dan sinisme,
berpasang-pasang mata demonis mengintai. Dari balik tabir, mereka
menggerakkan kuda troya dari lapisan rakyat jelata hingga kelas menengah
terdidik buat menebar kebencian horizontal-vertikal hingga ke pucuk struktur
pemerintahan yang sedang bekerja.
Dari balik dinding warna-warni citra budaya kontemporer, para
pengintai siap mengerkah dan mencincang negeri kita hingga tercerai-berai.
Kita terlalu kaya dengan entitas budaya, sumber alam, barang tambang dan
mineral, serta keanekaragaman hayati untuk diabaikan begitu saja oleh
korporasi-korporasi multinasional raksasa yang berkomplot dengan pialang
ideologi.
Kita tengah menata kembali nilai kepribadian, moral birokrasi,
harkat dan martabat nasional, supremasi hukum, seraya mengevaluasi mekanisme
pemanfaatan kekayaan alam. Kerja besar ini menuntut akal sehat, pikiran
jernih tanpa prasangka, toleransi dan kebersatuan, harga diri dan kebanggaan
nasional. Untuk itu, Ibu Pertiwi butuh para abdi kebudayaan yang waskita,
arif, dan teguh sebagai juru ingat bagi putra-putrinya sepanjang perjalanan
panjang ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar