Kamis, 05 November 2015

Dunia yang Tak Aman

Dunia yang Tak Aman

Kristi Poerwandari  ;  Penulis Kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 01 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mungkin banyak dari kita menganggap dunia tempat kita tinggal tidak aman. Hampir setiap hari surat kabar dan televisi memberitakan kecelakaan lalu lintas, pemutusan hubungan kerja, persoalan ekonomi negara, kekerasan seksual, hingga pembunuhan sadis. Beberapa berita terkini yang mengisi media adalah persoalan hukum yang membelit Bu Risma, kabut asap yang mengganggu kesehatan, bahkan telah membunuh anak, hingga kasus penculikan yang diduga melibatkan orang dalam.

Kita jadi bertanya-tanya bagaimana dapat hidup tenang dan memiliki pemimpin yang baik apabila pihak berkuasa jegal-menjegal dengan memperalat hukum, atau bagaimana dapat merasa aman meninggalkan anak di rumah sementara kita harus bekerja sampai malam di lokasi yang jauh untuk mencari uang. Masa kini saja dijalani dengan napas ngos-ngosan dan hati deg-degan, mungkin kita tidak sempat memikirkan masa depan atau bahkan tidak berani membayangkannya daripada dilanda lebih banyak kecemasan.

Bagaimana membangun rasa aman dalam dunia yang tidak memberi rasa aman? Melanie Greenberg (2012), Suzanne Hosang (2014), dan Alix Purcell (2014) mengajak kita untuk pertama-tama, menerima dan mengakui perasaan kita. Munculnya perasaan cemas, bingung, atau sedih adalah suatu reaksi wajar dan normal.

Membangun rasa aman

Penting untuk kita tetap membangun rutinitas hidup. Jangan membaca atau menonton berita sepanjang waktu apabila itu akan menghabiskan waktu kita secara tidak produktif, atau membuat kita merasa tak berdaya. Mencanangkan capaian harian akan membantu menetralisasi, serta mengarahkan pikiran dan tindakan kita menjauh dari kecemasan dan rasa takut.

Tidak perlu memarahi diri yang sedang melemah, atau memaksa membuang perasaan yang memang masih kita rasakan. Lebih penting untuk menemukan lingkungan yang memberikan rasa nyaman, dengan keluarga dan teman, atau melalui aktivitas sederhana seperti mendengarkan musik, merawat tanaman, dan mengurus binatang peliharaan.

Rutinitas hidup perlu diperbarui dengan memasukkan olahraga, makan sehat, dan tidur cukup. Merenung, yoga, atau meditasi dapat memperbarui sumber daya diri. Apabila diperlukan, kita dapat membangun ’mental safe place’, maksudnya tempat aman dalam batin kita untuk membantu membuang tekanan hidup, entah riil (misal di depan kolam ikan di samping rumah) atau yang bersifat imajiner. Afirmasi dan visualisasi positif membantu mengeset mood yang positif pula.

Kita dapat mengalami peristiwa traumatik atau sangat menekan, atau bahkan menjadi kehilangan keseimbangan bukan karena mengalami sendiri, melainkan karena menyaksikan suatu peristiwa menakutkan. Apabila itu terjadi, baik untuk menuliskan apa yang mengganggu kita, apa yang kita pikir dan rasakan terkait peristiwa. Banyak orang menulis buku harian untuk menemukan diri atau solusi dari persoalannya. Ini karena menulis dapat membantu kita mengorganisasi situasi dan reaksi menjadi cerita yang lebih jelas. Bahkan, dalam perjalanan menulis itu, kita sering dapat melakukan rekonstruksi atas apa yang terjadi. Yang sebelumnya dirasa mengguncang sedemikian dahsyat dapat dimaknai secara berbeda (”Saat itu aku masih lemah, sekarang aku kuat, aku bisa mengatasi bahkan dapat membantu orang lain.”).

Untuk memberi rasa nyaman pada diri, lebih baik menjauh dari mereka yang terus menyalahkan pihak lain, banyak mengkritik, tetapi kurang berefleksi pada perilaku diri sendiri. Lingkungan yang positif membantu kita untuk tetap dapat menemukan berbagai sisi positif dari hidup yang tidak sempurna.

Dalam situasi sulit, menjadi makin perlu bagi kita untuk menghadirkan yang positif. Kita menetralisasi situasi sulit dengan menggunakan kata-kata positif dalam percakapan dengan orang lain dan dengan diri sendiri. Kita melakukan hal baik yang dapat kita lakukan dan berserah untuk yang di luar pengendalian kita.

Sebelum tidur, dan saat bangun, akan baik apabila kita dapat memikirkan hal baik yang terjadi, meski kecil dan sederhana. Tetap dapat bersyukur dan mencintai yang (masih) kita miliki menjadi salah satu hal penting untuk dapat melewati saat-saat sulit. Kita berterima kasih atas titipan kepemilikan dan kehadiran orang-orang di masa lalu dan masa kini, yang memberikan dukungan, kasih sayang, dan kekuatan pada kita.

Bagian dari perubahan

Akhirnya, dalam situasi sulit, kita tetap perlu membangun komitmen pada nilai-nilai hidup yang kita anggap paling penting atau bernilai. Apa yang menurut kita terpenting? Integritas? Keluarga dan orang-orang terdekat? Kepedulian dan saling membantu?

Nilai-nilai penting dengan mudah tergerus oleh kesulitan hidup, atau oleh ketidakpedulian yang diakibatkan kesulitan hidup itu. Yang dulunya berpikir kerja sama penting, karena pengalaman dicurangi atau dijahati menjadi tak peduli lagi, dan ikut melakukan berbagai tindakan yang merugikan orang lain.

Tidak perlu berpikir menjadi tokoh sehebat Nelson Mandela atau pemimpin dunia lainnya yang siap dipenjara atau dianiaya karena keyakinan politik dan perjuangannya. Cukup berpikir mengenai keluarga, anak, atau lingkungan terdekat yang menjadi bagian dari tanggung jawab kita.

Ada yang mungkin demikian melemah bahkan kehilangan keberanian untuk berkompetisi di sekolah atau di tempat kerja—di Jepang ada ’hikikomori’, fenomena anak-anak muda yang mundur karena ketakutan dan memilih mengurung diri di rumah. Apabila demikian halnya, kita perlu mengaku ’aku saat ini bermasalah’ dan meminta bantuan orang terdekat yang dipercaya atau profesional agar dapat keluar dari ketakutan, dan memandu dalam mulai beraktivitas.

Hidup serba tidak sempurna. Semoga kita bukan menjadi bagian dari sumber persoalan yang makin mengacaukan, melainkan menjadi bagian dari perubahan yang konstruktif dan penyelesaian masalah dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar