APBN, PMN BUMN & Pembangunan
Sunarsip ; Ekonom Kepala The Indonesia Economic
Intelligence (IEI)
|
KORAN
SINDO, 02 November 2015
Pada 30 Oktober lalu,
DPR RI akhirnya mengesahkan APBN 2016. Namun, pengesahan APBN 2016 ini masih
menyisakan beberapa catatan yang akhirnya menempatkan APBN 2016 ini dalam
ketidakpastian.
Salah satu sumber
ketidakpastian tersebut adalah dibekukannya ”sementara” pos penyertaan modal
negara (PMN) pada sejumlah BUMN. Padahal, dari volume APBN 2016 sebesar
Rp2.095,7 triliun yang telah disahkan sudah termasuk di dalamnya PMN BUMN
sebesar Rp40,4 triliun. Hal ini sebenarnya tak lazim dalam tradisi APBN kita,
sebabposyangsudahmasuk dalam APBN tetapi penggunaannya dibekukan.
Salah satu alasan yang
mengemuka di balik pembekuan PMN ini adalah PMN dianggap hanya membebani
APBN. Seharusnya BUMN yang memberi kontribusi kepada BUMN melalui dividen,
bukan sebaliknya justru membebani melalui PMN. Sebenarnya, membebani atau
tidak keberadaan pos PMN BUMN dalam APBN sangat tergantung sudut pandangnya.
Bisa saja pos PMN
dianggap sebagai beban bagi APBN apabila PMN yang disuntikkan ke BUMN tidak
berdampak positif, baik secara ekonomi maupun secara finansial. Namun,
apabila PMN yang disuntikkan menghasilkan tingkat pengembalian investasi (return on investment/ROI) yang memadai
dan juga memberikan kontribusi positif bagi perekonomian, justru PMN tersebut
positif bagi APBN.
Nah, mari kita lihat
seberapa besar ROI yang dihasilkan oleh PMN yang disuntikkan ke BUMN. Salah
satu ukurannya adalah dengan melihat besarnya rasio return on equity (ROE)
BUMN, yaitu perbandingan antara laba bersih (net income) dan modal perusahaan (ekuitas). Pada 2014, BUMN
meraih laba Rp154 triliun, sedangkan ekuitas BUMN mencapai Rp1.091 triliun
sehingga ROE-nya sebesar 14,12%.
Berdasarkan kalkulasi The Indonesia Economic Intelligence
(IEI) terhadap 420 emiten nonkeuangan yang listed , ROE-nya pada 2014
mencapai 10,68%. Itu artinya, ROE BUMN relatif baik dibanding rata-rata
industri. Namun, tentunya angka ROE seluruh BUMN ini tidak bisa dijadikan
dasar sepenuhnya bagi pemberian PMN terhadap BUMN penerima PMN pada APBN
2016.
Pasalnya, tidak
seluruh BUMN penerima PMN memiliki kinerja ROE sebesar rata-rata ROE BUMN.
Bahkan, beberapa BUMN memiliki ROE negatif karena merugi. Dengan kata lain,
pemberian PMN memang harus selektif untuk menjamin PMN akan kembali dalam
bentuk dividen yang wajar. Menilai kinerja BUMN dan hubungannya dengan PMN,
tentunya juga harus dilihat sisi urgensinya bagi perekonomian.
Beberapa BUMN memang
kondisinya merugi. Namun, BUMN yang merugi tidak seluruhnya karena
operasional. Beberapa di antaranya merugi akibat faktor di luar kendali,
seperti pelemahan nilai tukar rupiah. PLN, misalnya, pada kuartal III-2015
merugi (bersih) senilai Rp27,4 triliun terutama akibat rugi selisih kurs
sebesar Rp 45,7 triliun.
Namun, kita memahami
bahwa PLN dan BUMN energi lainnya memiliki urgensi tinggi bagi perekonomian,
sehingga PMN tetap diperlukan demi berjalannya roda perekonomian. Persoalan
pemberian PMN dan penarikan dividen BUMN memang tidak cukup hanya dilihat
melalui neraca APBN.
Dalam perspektif
ekonomi yang luas, kenapa BUMN diberi PMN atau ditarik dividen, seharusnya
perlu dilihat pula dari sudut filosofisnya. Sebagai contoh, di China, sejak
1994, pemerintahnya menghilangkan pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
dari dividen BUMN dalam APBN-nya. Dengan kata lain, dividend pay out ratio bagi BUMN-nya sebesar 0%.
Kebijakan pemerintah
China yang tidak mengenakan dividen dari BUMN tersebut dilandasi filosofi
bahwa transmisi ekonomi melalui korporasi langsung ke perekonomian diyakini
lebih efektif dibanding harus terlebih dahulu melalui transmisi APBN. Tentu
ada sisi positif dan negatifnya dari pendekatan seperti ini. Sisi positifnya,
perekonomian China terbukti tumbuh lebih cepat.
Dalam dua dekade
terakhir, pertumbuhan ekonomi China rata-rata mencapai sekitar 10%, bahkan
mencapai 14,2% pada 2007. Sisi negatifnya, investasi BUMN kurang terkendali, overheating, overcapacity, terjadi moral
hazard, dan meningkatkan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Pemerintah China memang akhirnya
memberlakukan kembali pengenaan dividen dari BUMN pada 2007, itu pun tidak
besar dan lebih ditujukan untuk menyeimbangkan (smoothing) investasinya.
Pemerintah kita saat
ini sepertinya ingin mengarah pada pola pendekatan ekonomi yang dilakukan
China di atas: meningkatkan modal BUMN dan mengurangi dividenBUMN. Tujuannya,
meningkatkan investasi BUMN, khususnya pada sektor ekonomi yang terkait
infrastruktur, energi, dan pangan.
Boleh juga pola
pendekatan ini dicoba setelah melihat kinerja transmisi ekonomi melalui APBN
yang kurang efektif. Terbukti, realisasi APBN 2015 sangat rendah yang
berakibat melemahnya pertumbuhan ekonomi. Tentunya, transmisi ekonomi melalui
BUMN ini tetap perlu dikontrol agar efek negatifnya, seperti yang terjadi di
China, dapat dimitigasi. PMN BUMN sebenarnya tidak harus diberikan secara
tunai.
Pemberian PMN nontunai
juga dapat dilakukan bahkan bisa memiliki dampak yang lebih signifikan
dibandingkanj PMN tunai. Salah satunya adalah melalui revaluasi aset BUMN.
Saat ini aset BUMN sekitar Rp4.660 triliun. Estimasi saya, bila revaluasi
aset dilakukan terhadap seluruh aset tetap BUMN, hal itu bisa meningkatkan
nilai aset BUMN setidaknya 1,5 kali atau hingga Rp6.990 triliun.
Pada 22 Oktober lalu
telah mengeluarkan beleid insentif pajak atas revaluasi aset. Sayangnya,
beleid insentif pajak ini terlihat ”tanggung” bagi BUMN. Pasalnya, beleid ini
masih menyisakan konsekuensi pembayaran secara kas atas pajak yang timbul
dari revaluasi aset BUMN. Padahal, pemerintah dapat melakukan lebih dari itu
yaitu dengan melakukan konversi atas pajak yang timbul dari revaluasi aset
BUMN menjadi PMN.
Bila ini dilakukan,
leverage BUMN akan naik signifikan, jauhlebihtinggi dibandingPMN sebesar
Rp40,4 triliun dalam APBN 2016. Saya cenderung tidak sependapat dengan
pandangan yang anti terhadap pemberian PMN pada BUMN. Pasalnya, pemberian PMN
pada BUMN, sepanjang diberikan secara tepat dan dikontrol dengan baik, bisa
menjadi instrumen yang efektif untuk meningkatkan kinerja BUMN dan
kontribusinya pada perekonomian nasional.
Saya berharap
pembekuan ”sementara” ini tidak menjadi pembekuan secara penuh. Bagi beberapa
BUMN, PMN memiliki urgensi yang strategis dalam mendukung kelancaran program
pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar