Minggu, 08 November 2015

APBN, PMN BUMN & Pembangunan

APBN, PMN BUMN & Pembangunan

Sunarsip  ;  Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
                                                KORAN SINDO, 02 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 30 Oktober lalu, DPR RI akhirnya mengesahkan APBN 2016. Namun, pengesahan APBN 2016 ini masih menyisakan beberapa catatan yang akhirnya menempatkan APBN 2016 ini dalam ketidakpastian.

Salah satu sumber ketidakpastian tersebut adalah dibekukannya ”sementara” pos penyertaan modal negara (PMN) pada sejumlah BUMN. Padahal, dari volume APBN 2016 sebesar Rp2.095,7 triliun yang telah disahkan sudah termasuk di dalamnya PMN BUMN sebesar Rp40,4 triliun. Hal ini sebenarnya tak lazim dalam tradisi APBN kita, sebabposyangsudahmasuk dalam APBN tetapi penggunaannya dibekukan.

Salah satu alasan yang mengemuka di balik pembekuan PMN ini adalah PMN dianggap hanya membebani APBN. Seharusnya BUMN yang memberi kontribusi kepada BUMN melalui dividen, bukan sebaliknya justru membebani melalui PMN. Sebenarnya, membebani atau tidak keberadaan pos PMN BUMN dalam APBN sangat tergantung sudut pandangnya.

Bisa saja pos PMN dianggap sebagai beban bagi APBN apabila PMN yang disuntikkan ke BUMN tidak berdampak positif, baik secara ekonomi maupun secara finansial. Namun, apabila PMN yang disuntikkan menghasilkan tingkat pengembalian investasi (return on investment/ROI) yang memadai dan juga memberikan kontribusi positif bagi perekonomian, justru PMN tersebut positif bagi APBN.

Nah, mari kita lihat seberapa besar ROI yang dihasilkan oleh PMN yang disuntikkan ke BUMN. Salah satu ukurannya adalah dengan melihat besarnya rasio return on equity (ROE) BUMN, yaitu perbandingan antara laba bersih (net income) dan modal perusahaan (ekuitas). Pada 2014, BUMN meraih laba Rp154 triliun, sedangkan ekuitas BUMN mencapai Rp1.091 triliun sehingga ROE-nya sebesar 14,12%.

Berdasarkan kalkulasi The Indonesia Economic Intelligence (IEI) terhadap 420 emiten nonkeuangan yang listed , ROE-nya pada 2014 mencapai 10,68%. Itu artinya, ROE BUMN relatif baik dibanding rata-rata industri. Namun, tentunya angka ROE seluruh BUMN ini tidak bisa dijadikan dasar sepenuhnya bagi pemberian PMN terhadap BUMN penerima PMN pada APBN 2016.

Pasalnya, tidak seluruh BUMN penerima PMN memiliki kinerja ROE sebesar rata-rata ROE BUMN. Bahkan, beberapa BUMN memiliki ROE negatif karena merugi. Dengan kata lain, pemberian PMN memang harus selektif untuk menjamin PMN akan kembali dalam bentuk dividen yang wajar. Menilai kinerja BUMN dan hubungannya dengan PMN, tentunya juga harus dilihat sisi urgensinya bagi perekonomian.

Beberapa BUMN memang kondisinya merugi. Namun, BUMN yang merugi tidak seluruhnya karena operasional. Beberapa di antaranya merugi akibat faktor di luar kendali, seperti pelemahan nilai tukar rupiah. PLN, misalnya, pada kuartal III-2015 merugi (bersih) senilai Rp27,4 triliun terutama akibat rugi selisih kurs sebesar Rp 45,7 triliun.

Namun, kita memahami bahwa PLN dan BUMN energi lainnya memiliki urgensi tinggi bagi perekonomian, sehingga PMN tetap diperlukan demi berjalannya roda perekonomian. Persoalan pemberian PMN dan penarikan dividen BUMN memang tidak cukup hanya dilihat melalui neraca APBN.

Dalam perspektif ekonomi yang luas, kenapa BUMN diberi PMN atau ditarik dividen, seharusnya perlu dilihat pula dari sudut filosofisnya. Sebagai contoh, di China, sejak 1994, pemerintahnya menghilangkan pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari dividen BUMN dalam APBN-nya. Dengan kata lain, dividend pay out ratio bagi BUMN-nya sebesar 0%.

Kebijakan pemerintah China yang tidak mengenakan dividen dari BUMN tersebut dilandasi filosofi bahwa transmisi ekonomi melalui korporasi langsung ke perekonomian diyakini lebih efektif dibanding harus terlebih dahulu melalui transmisi APBN. Tentu ada sisi positif dan negatifnya dari pendekatan seperti ini. Sisi positifnya, perekonomian China terbukti tumbuh lebih cepat.

Dalam dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi China rata-rata mencapai sekitar 10%, bahkan mencapai 14,2% pada 2007. Sisi negatifnya, investasi BUMN kurang terkendali, overheating, overcapacity, terjadi moral hazard, dan meningkatkan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Pemerintah China memang akhirnya memberlakukan kembali pengenaan dividen dari BUMN pada 2007, itu pun tidak besar dan lebih ditujukan untuk menyeimbangkan (smoothing) investasinya.

Pemerintah kita saat ini sepertinya ingin mengarah pada pola pendekatan ekonomi yang dilakukan China di atas: meningkatkan modal BUMN dan mengurangi dividenBUMN. Tujuannya, meningkatkan investasi BUMN, khususnya pada sektor ekonomi yang terkait infrastruktur, energi, dan pangan.

Boleh juga pola pendekatan ini dicoba setelah melihat kinerja transmisi ekonomi melalui APBN yang kurang efektif. Terbukti, realisasi APBN 2015 sangat rendah yang berakibat melemahnya pertumbuhan ekonomi. Tentunya, transmisi ekonomi melalui BUMN ini tetap perlu dikontrol agar efek negatifnya, seperti yang terjadi di China, dapat dimitigasi. PMN BUMN sebenarnya tidak harus diberikan secara tunai.

Pemberian PMN nontunai juga dapat dilakukan bahkan bisa memiliki dampak yang lebih signifikan dibandingkanj PMN tunai. Salah satunya adalah melalui revaluasi aset BUMN. Saat ini aset BUMN sekitar Rp4.660 triliun. Estimasi saya, bila revaluasi aset dilakukan terhadap seluruh aset tetap BUMN, hal itu bisa meningkatkan nilai aset BUMN setidaknya 1,5 kali atau hingga Rp6.990 triliun.

Pada 22 Oktober lalu telah mengeluarkan beleid insentif pajak atas revaluasi aset. Sayangnya, beleid insentif pajak ini terlihat ”tanggung” bagi BUMN. Pasalnya, beleid ini masih menyisakan konsekuensi pembayaran secara kas atas pajak yang timbul dari revaluasi aset BUMN. Padahal, pemerintah dapat melakukan lebih dari itu yaitu dengan melakukan konversi atas pajak yang timbul dari revaluasi aset BUMN menjadi PMN.

Bila ini dilakukan, leverage BUMN akan naik signifikan, jauhlebihtinggi dibandingPMN sebesar Rp40,4 triliun dalam APBN 2016. Saya cenderung tidak sependapat dengan pandangan yang anti terhadap pemberian PMN pada BUMN. Pasalnya, pemberian PMN pada BUMN, sepanjang diberikan secara tepat dan dikontrol dengan baik, bisa menjadi instrumen yang efektif untuk meningkatkan kinerja BUMN dan kontribusinya pada perekonomian nasional.

Saya berharap pembekuan ”sementara” ini tidak menjadi pembekuan secara penuh. Bagi beberapa BUMN, PMN memiliki urgensi yang strategis dalam mendukung kelancaran program pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar