Salah Urus Komunikasi
Saifur Rohman ; Pengajar Filsafat di Universitas Negeri
Jakarta
|
KOMPAS,
07 November 2015
Surat Edaran Kapolri
Nomor 06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian telah berlaku sejak
diteken, 8 Oktober 2015. Menurut pemerintah, surat itu dikeluarkan untuk
mendukung kepedulian terhadap hak asasi manusia dalam lingkup internasional,
peningkatan harkat dan martabat bangsa, serta keberagaman.
Ketika isu-isu
tersebut diangkat pemerintah sebagai landasan berpikir, apakah itu
justifikasi (pembenaran) atau verifikasi (kebenaran)? Bagaimana duduk perkara
ujaran kebahasaan pribadi atau kelompok dalam konteks pembangunan? Pendeknya,
apakah surat edaran itu memang diperlukan?
Mulutmu politikmu
Teori linguistik dasar
menunjukkan adanya penutur, teks, dan pembaca. Penutur menyampaikan maksudnya
dalam teks sehingga bisa dimengerti oleh pembaca. Barulah kita tahu dari
Anthony Giddens bahwa praktik komunikasi tersebut mendapatkan arti penting
dalam konteks pembangunan. Giddens percaya bahwa kebebasan berpendapat
merupakan salah satu ciri penyelenggaraan negara secara demokratis.
Secara politis, negara
memberikan ruang partisipasi dalam praktik hukum dan pemerintahan. Kendati
demikian, kebebasan itu sekaligus mengandung pertanggungjawaban secara
rasional. Oleh karena itu, diperlukan perangkat etis dalam kerangka
komunikasi di tengah-tengah masyarakat. Itulah barangkali alasan ketika
pemerintah mengeluarkan langkah strategis terhadap sisi negatif kebebasan
berpendapat.
Ujaran kebencian
adalah modus berpikir untuk menghasilkan medan komunikasi yang dianggap
paling rasional dalam konteks disiplin etis komunikasi. Apabila ditelusuri
lebih jauh, tuturan kebencian dimengerti sebagai ungkapan lisan ataupun
tulisan yang ditengarai mengandung unsur-unsur pidana.
Apabila dikonkretkan
di lapangan, surat edaran tersebut, huruf (f), memberikan penjelasan
bahwaujaran kebencian dapat berupa tindakan pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP,
yakni penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak
menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong. Semua
itu memiliki tujuan atau berdampak pada tindakan diskriminasi, kekerasan,
penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.
Berdasarkan surat
edaran itu pula, persoalan yang diangkat dalam penyebaran kebencian mencakup
suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras,
antargolongan, warna kulit, etnis, jender, kaum difabel, dan orientasi
seksual. Sementara itu, media yang digunakan antara lain orasi kampanye,
spanduk, media sosial, demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa cetak atau
elektronik, dan pamflet.
Pembiaran
Ruang lingkupnya yang
mencakup pengertian, isi, dan media itu ditangani dengan empat tahapan.
Pertama, perlunya pemahaman aparat tentang bentuk-bentuk kebencian. Kedua,
lebih responsif. Ketiga, aparat melakukan analisis terhadap kondisi
lingkungan. Keempat, setiap personel harus melaporkan situasi dan kondisi
lingkungan terkait ujaran kebencian. Apabila menemukan, aparat perlu
mendeteksi, melakukan pendekatan, mempertemukan, dan mencari solusi damai.
Dalam praktiknya, suka
atau tidak, pemerintah selama ini telah membiarkan kasus-kasus ujaran
kebencian. Setelah mengatasnamakan tontonan di media publik, pelaku tak
jarang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Di sisi lain, mekanisme formal
yang selama ini dijadikan jaminan dalam praktik komunikasi itu juga tidak
bisa diandalkan.
Salah urus komunikasi
publik pun berdampak terhadap salah guna. Bukti, saluran publik dijadikan
sebagai alat kepentingan pribadi dan golongan. Karena itulah penting kiranya
memahami persoalan mendasar dalam praktik komunikasi publik. Suka atau tidak,
berdasarkan fakta yang berkembang, jelas bahwa tidak ada skala prioritas
dalam penyelesaian persoalan mendesak. Hal itu didasarkan pada tiga
argumentasi.
Pertama, selama ini
kebijakan yang terkait opini publik itu bisa saja dijadikan sebagai perangkat
untuk meredam partisipasi masyarakat di dalam praktik hukum dan pemerintahan.
Dalam praktiknya, tanggapan terhadap kekuasaan tak hanya melalui jalur
formal, tetapi juga melalui komunikasi informal yang fraktal dan terkadang
urakan. Padahal, sebelumnya, pembukaan saluran komunikasi seluas-luasnya oleh
pemerintah telah ditandai dengan pembuatan akun di media sosial sebagai
respons terhadap pentingnya informasi yang diberikan oleh publik.
Praktik komunikasi itu
bisa saja membuang-buang waktu karena tidak selalu berisi informasi penting
dalam pembangunan. Namun, ada persoalan mendasar yang direspons. Sebab, dalam
praktik komunikasi, hal yang dibutuhkan adalah ruang publik yang kondusif
untuk mengembangkan nilai-nilai bersama. Di sinilah perlunya dukungan
pemerintah terhadap partisipasi publik yang didasari pada pranata yang
disepakati, seperti kebersamaan, keterbukaan, dan kesetaraan.
Kedua, surat edaran
itu sebetulnya tidak begitu diperlukan. Hal yang dibutuhkan sekarang adalah
program nyata untuk meningkatkan partisipasi masyarakat mengembangkan nilai
yang sudah ada.
Kasus-kasus yang
diungkapkan dalam surat edaran itu telah berada di bawah payung hukum
positif. Contoh, kasus pidana di dunia maya sebetulnya sudah bisa ditangani
melalui UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Demikian pula persoalan sosial yang mengemuka itu telah menjadi obyek hukum
dalam UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan UU No
7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Sulit dinalar
Ketiga, argumentasi
pemerintah tentang isu-isu ”internasional” sebetulnya tidak mendapatkan
tempat di dalam konteks pengembangan nilai-nilai bersama. Mestinya Pancasila
merupakan refleksi awal dan final atas kebijakan-kebijakan strategis di
lapangan. Apalagi, di satu sisi, ratifikasi hak asasi manusia (HAM) universal
di Indonesia jelas tidak selalu sesuai dengan norma kebangsaan. Di sisi lain,
UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia sendiri sebetulnya tidak berfungsi
banyak karena tidak selaras dengan nilai filosofis bangsa. Selain naskah
perundang-undangan perlu perbaikan, kasus-kasus HAM di Indonesia sendiri
masih menumpuk dan tidak pernah tuntas.
Regulasi atas praktik
berbahasa secara individual hingga mengungkapkan gagasan di tengah publik
sebagai pilar demokrasi mestinya dicerminkan terhadap nilai-nilai kebangsaan
kita. Jadi, argumentasi tentang kepedulian terhadap HAM universal dalam
konteks penyusunan langkah kontekstual, selain tidak begitu diperlukan, juga
sebetulnya sulit dinalar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar