Kejaksaan Harus Kuat
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 07 November 2015
Belakangan ini
semangat teman-teman di kejaksaan untuk menguatkan posisi dirinya dalam dunia
penegakan hukum mulai menggelora. Berbarengan dengan Hari Bhakti Adhyaksa
ke-55, sejak Juli 2015 diselenggarakan serangkaian diskusi di beberapa kejati
yang mengusung tema penguatan kejaksaan.
Rabu pekan ini fokus
diskusi tentang itu diselenggarakan juga oleh Kantor Kementerian Politik,
Hukum, dan Keamanan. Arahnya, bagaimana memperkuat posisi kejaksaan agar
kinerjanya optimal dan efektif. Ada beberapa pernyataan dan pertanyaan pokok
dalam diskusi-diskusi tersebut.
Pertama, agar posisi
konstitusionalnya mantap maka nomenklatur jaksa dan atau Kejaksaan Agung
harus disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi seperti lembaga negara
yang vital lainnya. Mungkinkah itu dilakukan? Kedua, harus ada kejelasan satu
posisi kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan, tidak seperti sekarang yang
tugas pokoknya di bidang yudikatif tetapi struktur organisasinya di
eksekutif.
Bisakah itu? Ketiga,
bagaimana mengejawantahkan prinsip een en ondeelbaar (kesatuan dan
ketidakterpisahan) wewenang penuntutan di tangan jaksa agung atau Kejaksaan
Agung, padahal sampai sekarang wewenang penuntutan masih terbagi pula kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Oditorat Militer?
Kalau ditelusuri
sebenarnya pada masa lalu, sejak zaman penjajahan Belanda sampai 1960,
organisasi kejaksaan berdampingan dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga
yudikatif yang mandiri meskipun secara administratif sama-sama berada di
bawah Departemen Kehakiman.
Presiden Soekarno-lah
yang pada 22 Juli 1960 mengeluarkan Keppres No 204/1960 yang memisahkan
kejaksaan dari Mahkamah Agung dan menjadikannya sebagai bagian dari
eksekutif. Posisi ini tak berubah sampai sekarang. Untuk upaya penguatan
kejaksaan dan proporsionalitas pembagian kekuasaan, ide untuk melepaskan
kejaksaan dari lembaga eksekutif perlu diseriusi.
Keberlanjutan ide ini
tidak bisa dipertentangkan dengan Keputusan MK No. 49/PUUVII/ 2010 yang
menyatakan bahwa sebagai anggota kabinet, jaksa agung harus diangkat dan
diberhentikan oleh presiden pada periode yang bersangkutan. MK tidak
mengharuskan jaksa agung menjadi anggota kabinet,
tetapi menurut putusan
MK itu, jika jaksa agung menjadi anggota kabinet seperti yang berlaku saat
ini maka pengangkatan dan pemberhentiannya harus dilakukan oleh presiden pada
periode yang bersangkutan dan masa jabatannya berakhir bersama dengan
berakhirnya jabatan presiden pada periode yang bersangkutan, seperti halnya
menterimenteri atau anggota kabinet lainnya.
Seandainya jaksa agung
tidak diletakkan sebagai anggota kabinet, tentu MK tak mungkin memutus bahwa
jabatan jaksa agung berakhir bersamaan dengan habisnya masa jabatan presiden
yang mengangkatnya. Jadi sangat mungkin kalau pembentuk UUD maupun UU
memosisikan kembali jaksa agung sebagai lembaga di luar eksekutif dan
menjadikannya sebagai lembaga independen dalam tugas bidang yudikatif.
Adapun tentang
kemungkinan memasukkan nomenklatur jaksa agung dan atau kejaksaan di dalam
konstitusi itu sangat mungkin pula dilakukan. Tetapi harus dipahami dulu
secara jelas bahwa sekarang ini jaksa agung dan kejaksaan agung sudah sangat
kuat secara konstitusional. Dalam arti luas, konstitusi itu mencakup semua
peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Konstitusi mencakup
UUD, UU, PP, perda, bahkan perdes. UUD sebagai bagian dari konstitusi bisa
disebut sebagai konstitusi dalam dokumen khusus, sedangkan peraturan
perundang-undangan lainnya bisa disebut konstitusi dalam dokumen tersebar.
Dalam pengertian
seperti itu, sebenarnya kedudukan konstitusional jaksa agung dan kejaksaan
sudah sangat kuat karena sudah diatur dengan UU tersendiri dan sudah
disebutkan di dalam banyak UU lainnya. Tetapi dalam kekuatannya yang seperti
itu, kedudukan konstitusional kejaksaan akan menjadi lebih kuat lagi jika
nomenklaturnya disebutkan secara eksplisit di dalam UUD sebagai konstitusi
dalam arti dokumen khusus.
Oleh sebab itu, ide
untuk memasukkan nomenklatur jaksa agung dan kejaksaan di dalam UUD NRI 1945
patut didukung dalam rangka pembenahan struktur ketatanegaraan kita. Di dunia
ini terdapat tidak kurang dari 113 negara yang konstitusinya menyebut
kejaksaan secara eksplisit.
Tentu agenda seperti
ini hanya bisa dilakukan jika ada perubahan kembali atas UUD NRI 1945. Tanpa
harus menunggu momentum ada amendemen lagi atas UUD NRI 1945 upaya menerapkan
prinsip een en ondeelbaar (kesatuan
dan ketidakterpisahan) wewenang penuntutan pada jaksa agung dan atau
kejaksaan agung perlu juga dilakukan sejak sekarang.
Dalam kaitan ini
diperlukan pengaturan yang lebih tegas bahwa semua tugas penuntutan baik yang
dilakukan oleh KPK di pengadilan khusus tindak pidana korupsi maupun yang
dilakukan oleh Oditorat Militer di Peradilan Militer hanya bisa dilakukan
oleh jaksa fungsional yang dikendalikan oleh Kejaksaan Agung.
Dalam rangka een en
ondeelbaar itu maka rekrutmen calon jaksa, pemberian jabatan fungsional
jaksa, penempatan jaksa, dan pembinaan karier teknis yudisial jaksa harus
terpusat di Kejaksaan Agung. Persyaratan administratif yang sifatnya khusus
untuk oditur pada Peradilan Militer dapat diatur bersama oleh Mabes TNI dan
Kejaksaan Agung.
Selanjutnya terlepas
dari soal apakah KPK itu lembaga ad hoc
atau bukan, penuntutan yang dilakukan oleh KPK di pengadilan tipikor haruslah
dilakukan oleh jaksa-jaksa fungsional yang dibina oleh Kejaksaan Agung.
Intinya, kalau kita ingin konstitusionalisme dan tujuan-tujuan bernegara bisa
berjalan bagus, kejaksaan sebagai institusi penegak hukum harus independen
dan kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar