Patriotisme di Tengah Arus Globalisasi
Karolin Margret Natasa ; Anggota Komisi IX DPR RI
|
KORAN
SINDO, 07 November 2015
Dalam dua pekan ini
kita memperingati dua peristiwa heroik bernilai sejarah tinggi yaitu Sumpah
Pemuda dan Hari Pahlawan. Pada 28 Oktober lalu kita memperingati Hari Sumpah
Pemuda di mana kita mengenang Ikrar Kaum Muda pada 28 Oktober 1928.
Ikrar berisi Tri-Sumpah
itu menggelorakan semangat nasionalisme kaum muda sekaligus memperteguh tekad
merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Peristiwa 28 Oktober telah
mengantar Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Rasa kebangsaan
dan cinta Tanah Air yang menggelora pada 28 Oktober 1928 mengalami ujian
hebat ketika bangsa kita berjuang hidup mati mempertahankan kemerdekaan.
Puncaknya terjadi pada
10 November 1946, di mana terjadi pertempuran hebat di Kota Pahlawan,
Surabaya. Nasionalisme dan patriotisme terasa semakin relevan dan strategis
di tengah kondisi keterpurukan dan proses pelapukan yang terus berlangsung di
berbagaisegikehidupanmasyarakat bangsa ini.
Sistem nilai
(Pancasila, UUD1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan gotong-royong) yang
melandasi eksistensi kita sebagai negara bangsa mengendur akibat tergerus
nilai-nilai individualisme, pragmatisme transaksional, konsumerisme,
hedonisme, dan seterusnya.
Perekonomian nasional
yang kian dikuasai dan ditentukan pihak asingmulai dari ketergantungan utang
luar negeri, investasi asing di sektor-sektor ekonomi strategis, membanjirnya
barang-barang impor semakin menyadarkan kita betapa nasionalisme (ekonomi)
adalah sebuah keniscayaan. Kebijakan proteksionisme menjadi sah ketika
kepentingan ekonomi rakyat banyak menjadi taruhan.
Penguatan Nasionalisme
Dalam tatanan dunia
yang mengglobal dewasa ini di mana batas antarnegara menjadi kabur,
tinggi-rendahnya nasionalisme suatu bangsa sangat ditentukan tinggi-rendahnya
peradaban dan prestasi yang dimiliki negara bangsa tersebut. Karena itu,
ketika kebangkitan nasionalisme tidak bisa meningkatkan taraf hidup
berperadaban, nasionalisme dapat meredup dan luruh dengan sendirinya.
Kemiskinan kultural
dan struktural yang permanen membuat karakter bangsa ini makin terpuruk.
Akibatnya, bangsa ini kehilangan jati diri yang membuatnya makin sulit
membangkitkan kembali semangat nasionalismenya. Pada zaman Perang
Kemerdekaan, para pahlawan yang gugur di medan tempur tentu berdiri di
barisan terdepan.
Tetapi, pada Era
Reformasi ini, banyak yang pantas mendapat gelar pahlawan dan mereka datang
dari berbagai profesi, termasuk petani, nelayan, inovator, akademisi,
peneliti, karyawan yang melayani kepentingan umum dan lain-lain.
Semangat nasionalisme
harus terus dirawat dan diperkokoh untuk memperkuat tekad dan semangat serta
energi bangsa dalam persaingan global sekaligus menaikkan harkat dan martabat
bangsa dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain secara terhormat dan
bermartabat.
Dalam era modern,
wujud nasionalisme bukan lagi dengan mengangkat senjata. Ada banyak cara
untuk merawat dan memperkokoh semangat nasionalisme. Pertama, membangun
peradaban unggul dan prestasi tinggi berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan tatanan kehidupan internasional.
Hasil penemuan dan
karyakarya terbaik putra-putri Indonesia bisa menggugah dan mempertebal rasa
nasionalisme. Bidang yang paling mudah menggugah rasa kebangsaan bisa kita
disaksikan di bidang olahraga. Secara reguler, atletatlet terbaik setiap
negara bertarung atas negara bangsa untuk merebut kampiun dunia.
Selain prestasi
membanggakan, olahraga juga mampu menghipnotis karena memakai atribut negara
bangsa, mulai dari kostum, bendera negara, lagu kebangsaan, dan simbol-simbol
kebanggaan Indonesia lainnya. Kedua, nasionalisme Indonesia juga terawat jika
kita mampu merawat kekayaan wisata alam dan warisan budaya yang tersebar di
antero Nusantara.
Semua kekayaan warisan
budaya dan alam merupakan ikon negara bangsa kita yang membanggakan. Namun,
semua itu menuntut komitmen negara untuk melestarikan dan mempromosikan itu
agar memberi kebanggaan yang mempersatukan bangsa sekaligus mendatangkan
keuntungan secara ekonomis.
Jika tidak, roh dan
pilar negara bangsa Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Bhineka Tungal Ika yang merupakan warisan sejarah
para pendiri bangsa (founding fathers)
akan terancam. Empat pilar yang merupakan alasan keberdirian dan keberadaan
sebuah negara bangsa bernama Indonesia menjadi tidak bernilai tatkala
”isinya” mengalami dekadensi akibat berbagai distorsi dari dalam maupun dari
luar.
Ketiga, kemandirian
untuk mengatur sendiri ”rumah tangga besar” NKRI di semua segi kehidupan.
Kita harus ”merdeka” menentukan visi, misi, dan arah pembangunan serta
melakukan apa yang terbaik bagi seluruh rakyat NKRI, tanpa didikte
negara-negara maju dan lembaga-lembaga donor internasional. Sejak Orde Baru
sampai Era Reformasi kini, tidak ada program konkret yang sistemik untuk
memberdayakan rakyat atau menciptakan kreativitas bangsa.
Bangsa kita terus
bergantung pada negara lain. Implikasinya, kita menjadi bangsa yang hidupnya
selalu konsumtif atau tidak produktif. Seharusnya bangsa yang kuat adalah
bangsa yang produktif, bukan konsumtif. Saat ini penguasaan asing terhadap
perekonomian kita terjadi di berbagai sektor misalnya sektor pertambangan,
industri pengolahan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan, dan sektor
perdagangan.
Akibatnya, meskipun
negara kita sudah puluhan tahun merdeka, kita masih dijajah pihak asing.
Perekonomian kita didominasi pihak asing yang ikut melunturkan kebanggaan dan
rasa nasionalisme kita. Mengenai arti penting nasionalisme ini, Presiden
Soekarno pernah menegaskan:
”Jikalau kita menghendaki negara kita ini kuat, oleh karena kita
memerlukan negara ini sebagai suatu alat perjuangan untuk merealisasikan satu
masyarakat adil dan makmur; kita harus dasarkan negara ini antara lain di
atas paham kebangsaan.”
Membenahi Sistem
Di situlah arti
penting Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak awal
pemerintahannya bersama Wapres Jusuf Kalla. Rasa kebangsaan (nasionalisme)
dan cinta Tanah Air (patriotisme). Dengan semangat itu, kita pasti mampu
mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi negara bangsa saat ini, baik dari
dalam maupun dari luar.
Revolusi Mental adalah
buah dari proses pembelajaran terus-menerus dalam sebuah sistem politik,
sistem hukum, sistem ekonomi negara bangsa, termasuk sistem pendidikan dan birokrasi,
serta sistem sosial budaya masyarakat. Dengan demikian, Revolusi Mental
seharusnya dimaknai sebagai pembenahan sistem yang akan membentuk mentalitas
manusia (Indonesia).
Mengubah mentalitas
tanpa dukungan sistem yang kuat hanya membuang-buang energi, waktu, dan tentu
saja uang. Dalam kaitan itu, pertamatama yang harus dilakukan adalah
pembenahan sistem secara terus-menerus yaitu sistem politik yang demokratis,
sistem hukum yang adil dan transparan, serta sistem sosial ekonomi yang
menyejahterakan seluruh rakyat.
Dalam membangun
sistem, acuan filosofis ideologisnya adalah Pancasila, sedangkan patokan-
patokan dasarnya ialah Konstitusi UUD 1945. Konkretnya, tugas lembaga
legislatif ialah memastikan bahwa seluruh regulasi mulai dari undangundang hingga
peraturan pelaksanaan di tingkat daerah dan desa harus mencerminkan
nilai-nilai fundamental dalam ideologi Pancasila dan konstitusi.
Tugas eksekutif, dari
pusat hingga desa, ialah memastikan bahwa sistem yang sudah dibangun itu
berjalan baik dan efektif. Kita tentu mengapresiasi pejabat negara yang lugas
dan konsisten berpikir dan bekerja sesuai sistem. Kita juga berbangga
menyaksikan beberapa menteri, gubernur, wali kota, hingga kepala desa yang
berani bekerja out of the box
(melangkahi sistem) demi kebaikan umum.
Sedangkan yudikatif
memastikan bahwa seluruh kebijakan yang diambil eksekutif dan mesin birokrasi
berjalan sesuai sistem yang sudah dibangun. Penyimpangan dan penyalahgunaan
kekuasaan yang menyalahi sistem harus ditindak tegas, adil, dan tanpa pandang
bulu.
Faktor kepercayaanlah
yang menjadi alasan mengapa KPK hingga hari ini mendapat dukungan publik dan
menolak setiap upaya pelemahan terhadap lembaga ini. Jika tiga lembaga
kekuasaan negara - legislatif, eksekutif, dan yudikatif - bekerja maksimal
sesuai fungsi dan tanggung jawabnya,
niscaya empat tugas
sekaligus tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 akan tercapai
yaitu melindungi seluruh tumpah darah (wilayah dan rakyat) NKRI, mencerdaskan
kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta menjaga
ketertiban dunia. Itulah sesungguhnya substansi Revolusi Mental.
Mental tidak korup,
mental tidak konsumtif, mental tidak menempuh jalan pintas seperti lebih suka
impor, dan mental main hakim sendiri. Semua mental negatif itu bisa dihilangkan
hanya jika sistem berjalan. Sebaliknya, sistem yang baik dan berjalan efektif
akan melahirkan mentalitas positif seperti mental kerja keras, produktif,
menghargai proses, dan menghormati perbedaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar