Selasa, 10 November 2015

Artefak

Artefak

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                KORAN SINDO, 08 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di zaman dahulu kala, orang mengira bahwa benda-benda tertentu seperti matahari, gunung, pohon besar atau batu besar punya roh. Manusia memohon kepada roh untuk keselamatan mereka, meminta panen yang banyak, meminta hujan, atau meminta kesembuhan buat yang sakit. Mereka pun bersembah (maka disebut ”sembahyang”) kepada yang dipercaya sebagai berkuasa itu. Dalam bersembah itu, manusia menciptakan alat-alat tertentu, misalnya untuk menempatkan sesajian, yang di dalam ilmu antropologi disebut ”artefak”.

Menurut antropolog Kuncaraningrat, artefak adalah salah satu dari tigaaspekkebudayaan. Duaaspekyang lain adalah keyakinan dan perilaku. Jadi kata Kuncaraningrat, orang punya keyakinan tertentu sehingga mereka berperilaku dan salah satu perilaku itu adalah membuat alat yang disebut Artefak itu. Jadi artefak adalah perwujudan dari keyakinan.

Misalnya piring- piring porselen Cina dengan pola bunga-bunga biru yang di toko barang antik harganya sangat mahal adalah artefak dari kepercayaan orang-orang di lingkungan keluarga Kaisar Cina zaman kuno tentang tata cara makan para bangsawan pada waktu itu. Demikian juga kapak genggam yang terbuat dari batu adalah artefak manusia-manusia zaman batu dan tempat-tempat peribadatan adalah artefak agama- agama.

Tapi artefak bukan bendabenda kuno saja. HP yang Anda pegang itu pun artefak, yaitu alat yang dibuat dan digunakan orang untuk berkomunikasi suara (telepon), tulisan (SMS, WA, dll), gambar, film, dan lainlain. Kalau HP kita rusak atau tidak berfungsi lagi, otomatis kita buang dan kita beli yang baru. HP bekas yang sudah ketinggalan zaman, tukang loak pun tidak mau membeli, karena itu bagusnya dimuseumkan.

Kalau ada museum HP, artefak yang dipamerkan bukan yang berumur ratusan atau ribuan tahun seperti museum Pharaoh di Mesir, tetapi hanya berbagai HP yang berumur sekitar dua puluh tahunan saja. Teknologi berkembang sangat cepat sehingga artefak berganti dengan sangat cepat juga.

Dulu orang percaya bahwa untuk menimbulkan perilaku yang baik perlu dikembangkan atau ditanamkan keyakinan, mentalitas, ideologi, jiwa atau roh yang baik. Maka berkembanglah agama, pendidikan, etika, hukum, norma, dan sebagainya yang maksudnya untuk mengembangkan jiwa yang baik, yang menghasilkan pemikiran dan perilaku yang baik.

Sebagai contoh, marilah kita cermati gejala yang satu ini. Salah satu di antara norma atau etika yang baik adalah berperilaku santun dan untuk itu orang yang lebih tua dan lebih dihormati harus memberi contoh kepada yang lebih muda; kalau tidak, anak muda akan berperilaku salah atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maka ada pepatah yang berbunyi ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Maksudnya kalau anutannya sudah memberi contoh yang jelek, pengikutnya akanberperilaku lebih jelek lagi.

Dalam pepatah itu, kencing berdiri dianggap perilaku jelek karena yang baik adalah kencing itu sambil jongkok, sementara itu kencing sambil berlari adalah hal yang paling jelek. Tapi sekarang yang masih kencing jongkok hanya kaum perempuan saja. Kalaupun ada perubahan, kaum perempuan sekarang kencing sambil duduk, sesuai dengan perkembangan toilet duduk zaman sekarang. Bagaimana dengan kaum lelaki?

Yang baik sekarang adalah kencing sambil berdiri karena hampir semua toilet laki-laki di mana pun di dunia ini menyiapkan peturasan (tempat kencing) laki-laki yang berdiri. Mungkin hanya sopir-sopir yang pipis sembarangan di pinggir jalan (sambil berdiri) yang masih dianggap tidak sopan walaupun penyebabnya adalah jalanan macet, padahal sudah kebelet betul. Karena itu, pepatah ”guru kencing berdiri” sudah tidak relevan lagi akibat adanya teknologi.

Nyatanya, ketika semua laki-laki (termasuk guru yang laki-laki) sudah kencing berdiri, belum pernah terdengar adanya murid-murid yang kencing sambil lari-larian. Artinya perubahan artefak bisa juga memengaruhi timbulnya keyakinan ataukepercayaanbaru. Perubahan tidak harus dimulai dari kepercayaan, keyakinan atau proses kognitif lainnya, melainkan bisa juga diawali dengan perubahan Artefak.

Dengan perkataan lain, siapkan artefaknya dulu, maka perilaku akan mengikuti dengan sendirinya dan melalui proses internalisasi, perilaku itu akan mengubah keyakinan, kepercayaan, norma atau bahkan jiwa seseorang. Contohnya HP (atau gadget) Anda sendiri. Anda selalu membawa- bawa dia ke mana pun Anda pergi, sementara istri ditinggal saja di rumah. Kalau HP ketinggalan, meskipun sudah jauh dari rumah, Anda memutar balik untuk mengambil HP Anda. Kepercayaan tentang HP sebagai peranti sentral-komunikasi dalam kehidupan Anda sehari- hari yang seperti itu belum ada di era 1980-an.

Dahsyat sekali perubahan mental yang terjadi. Tapi tidak semua pengadaan artefak bisa mengubah perilaku, apalagi keyakinan. Kebiasaan membuang sampah, misalnya, tidak otomatis berubah ketika disiapkan tempat-tempat sampah (artefak) di mana-mana. Masih banyak yang berpikir, ”Kalau aku buang sampah ke tempat sampah, terus apa tugas tukang sampah?” Untuk perilaku yang model beginian diperlukan reinforcement terhadap perilaku.

Perilaku yang salah dihukum. Perilaku yang benar didorong. Inilah yang dilakukan Pemerintah Singapura untuk mendidik masyarakat untuk menjaga kebersihan kota. Orang yang membuang sampah sembarangan (tertangkap oleh kamera CCTV) langsung dihukum berat sehingga ada efek jera yang lama-kelamaan diinternalisasi menjadi nilai kebersihan di dalam jiwa orang yang bersangkutan.

Kesimpulannya, di zaman sekarang, untuk mengubah suatu masyarakat menjadi lebih berbudaya, tidak harus dimulai dari pembangunan mentalnya dulu (seperti P4 di zaman Presiden Suharto) atau pembinaan agamanya dulu (seperti yang dipercaya orang sekarang, sehingga muncul guru-guru agama yang tarifnya jutaan rupiah sekali tausiah), tetapi bisa dimulai dari penciptaan dan sosialisasi Artefak atau reinforcement.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar