Dari Penjara ke Penjara
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 06 November 2015
Penjara itu membatasi
dan merampas seseorang untuk bergerak secara leluasa dan bebas. Jika yang
dimaksudkan gerak adalah gerak fisik, yang namanya penjara tentu saja berupa
bangunan fisik dengan tembok tebal dan tinggi, disertai kawat berduri.
Tidak cukup itu saja,
melainkan ada penjaganya lengkap dengan senjata mengawasi selama 24 jam.
Bahkan banyak penjara yang dibangun di wilayah yang lokasinya sulit dijangkau
karena terletak di pulau terpencil agar pengamanannya lebih mudah andaikan
ada tahanan yang berusaha melarikan diri. Sebut saja Penjara Nusakambangan.
Tapi di sana juga ada
penjara nonfisik yang menghalangi seseorang bergerak bebas, baik secara fisik
maupun intelektual. Ketika salah memilih sekolah dan lingkungan pergaulan,
bisa jadi seorang remaja tanpa sadar sudah melangkah terseret ke penjara
sosial. Masih beruntung kalau dia mampu mengubahnya menjadi tempat menempa
diri agar tumbuh kuat, lalu suatu saat keluar dari penjara yang
mengungkungnya. Tapi, jika tidak, dirinya terkurung sehingga sulit tumbuh
mengembangkan potensinya untuk mewujudkan cita-citanya yang tinggi. Sebagian
besar umurnya tak ubahnya bagaikan penjara.
Begitu pun mereka yang
pindah-pindah partai politik, jangan-jangan hanya pindah dari penjara ke
penjara ketika suasana dan budaya politik yang dimasuki malah menjerat tak
bisa melangkah dan berkiprah untuk membangun bangsa. Niat dan tujuan
didirikannya parpol itu untuk mengemban tugas sangat mulia, yaitu melakukan
pendidikan politik untuk rakyat, terutama konstituennya, dan memberikan
pikiran serta kader terbaiknya untuk memperkuat kinerja pemerintahan.
Tapi ketika para
kadernya malah terlibat korupsi yang kemudian menjadi penghuni penjara,
sementara partainya hanya ribut melulu dari kongres ke kongres, jika kondisi
ini berkelanjutan, bukankah akan menjadikan keberadaan parpol kehilangan
justifikasi moralnya? Dulu, di berbagai kelompok masyarakat, menjadi pegawai
negeri merupakan posisi yang sangat didambakan. Jika seseorang kuliah di
perguruan tinggi, tujuan akhir setelah jadi sarjana adalah melamar menjadi
pegawai negeri sipil (PNS) agar nantinya memperoleh gaji pensiunan sekalipun
tidak lagi bekerja.
Padahal, jumlah kursi
PNS sangat terbatas, gaji pun tidak berlebihan. Alhamdulillah, nasib PNS
sekarang semakin baik. Kesejahteraan meningkat. Namun sangat disayangkan,
korupsi di kalangan PNS masih juga besar karena terjebak gaya hidup yang
melampaui batas kemampuannya. Lagi-lagi, kadang kita terpenjara oleh
angan-angan, citacita, dan gaya hidup yang sering kali tidak lagi sesuai
dengan kenyataan dan kemampuan.
Statemen ini tidak
berarti saya anti-PNS, melainkan ingin memberikan peringatan, kalau ingin
kaya-raya janganlah menjadi PNS. Jadilah pengusaha, tapi pengusaha yang
pintar dan benar. Fanatisme dan kesetiaan eksklusif terhadap asal etnis juga
bisa memenjarakan seseorang, menutupi dan menghalangi untuk berbaur
memperluas wawasan dan pergaulan lintas budaya dan agama. Kita tahu, dunia
semakin plural.
Bagi masyarakat
Indonesia yang sejak awal mula sudah majemuk, mestinya tidak lagi kaget
berjumpa dan bekerja sama dengan komunitas yang berbeda budaya dan agama.
Mestinya justru menjadi model dan percontohan ideal bagi dunia bagaimana
menjaga taman sari keragaman budaya dan agama. Cukup menggembirakan, sekarang
ini eksklusivisme etnis semakin mencair. Mobilitas dan partisipasi masif
anak-anak bangsa dalam pendidikan semakin memperluas jalan bagi terciptanya
integrasi nasional yang kokoh.
Lembaga universitas
menjadi tempat bertemunya putra-putri terbaik bangsa. Mereka berbicara dengan
bahasa yang sama, tumbuh berkembang dalam budaya akademis yang sama, yang
pada urutannya perkenalan dan perkawinan silang budaya juga semakin
berkembang. Ini terlihat dengan semakin banyaknya pasangan suami-isteri
lintas etnis yang pada urutan selanjutnya melahirkan generasi hibrida,
generasi yang kian mengindonesia.
Dengan perkembangan
ini, identitas etnis bukan jadi rumah sempit bagaikan penjara, tetapi menjadi
kamar-kamar yang nyaman dihuni, bagian dari rumah besar Indonesia. Rasulullah
Muhammad pernah bersabda, dunia itu bagaikan penjara bagi orang beriman, tetapi tak
ubahnya surga bagi orang kafir. Artinya, banyak batasan, hambatan, dan larangan bagi orang
beriman agar tidak ditabrak dan dilanggar.
Di sana banyak rambu-rambu
yang mesti dipahami dan ditaati demi kebaikan dan keselamatan hidupnya.
Larangan untuk kebaikan dan keselamatan bukan belenggu yang menyengsarakan.
Sebaliknya, bagi orang yang tidak beriman, dunia ini panggung kebebasan,
tetapi ujungnya bisa membawa mereka pada kerugian dan kesengsaraan. Jika
tidak di dunia, kesengsaraan itu akan dirasakan di akhirat kelak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar