Politik Anggaran di Tengah Bencana
Bambang Soesatyo;
Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR RI;
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 06 November 2015
TAHUN 2016 seharusnya
sarat dengan program dan kegiatan preventif agar dampak negatif yang masif
dari rangkaian bencana tahun ini tidak terulang. Sayangnya, Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 tidak memberi perhatian
ekstra pada kebutuhan program-program preventif dimaksud. RAPBN 2016 bahkan
tidak realistis karena tidak prorakyat yang sering dihantui bencana.
Rangkaian bencana
sepanjang 2015 benar-benar mengejutkan. Bukan karena bencana itu sendiri yang
datang silih berganti, melainkan semua elemen masyarakat terkejut karena
negara ini nyaris tak berdaya mereduksi dampak negatif dari rentetan bencana
itu. Demikian tak berdayanya sehingga risiko bencana itu pun harus dipikul
masyarakat di negeri tetangga.
Agar penderitaan
jutaan warga di sejumlah daerah tidak terulang pada tahun-tahun mendatang,
pemerintah dan masyarakat harus belajar dari pengalaman buruk tahun ini.
Bencana karena reaksi alam memang tak mungkin ditangkal manusia. Tetapi,
manusia yang dibekali akal budi harus mampu membaca kelemahannya sendiri pada
setiap bencana yang menghadang agar ketika bencana itu datang lagi manusia
siap memperkecil dampak negatifnya.
Apakah Indonesia sudah
menyusun dan mempersiapkan program-program preventif untuk mengantisipasi
dampak negatif dari El Nino atau musim kekeringan berkepanjangan pada 2016
nanti? Jawabannya bisa ditemukan dalam RAPBN 2016. Cukup memprihatinkan
karena kemampuan Indonesia mengantisipasi ancaman itu kembali patut
diragukan. Potret ketidakberdayaan negara tahun ini akan terlihat lagi pada
2016. Alokasi anggaran untuk penanggulan bencana alam tidak mengalami
perubahan yang signifikan.
Padahal, semua dampak
negatif dari bencana tahun ini secara tidak langsung sudah memberi referensi
yang sangat jelas bahwa Indonesia harus melakukan perubahan signifikan dalam
merespons bencana alam akibat El Nino atau musim kering yang berkepanjangan.
Perubahan itu tidak hanya dalam bentuk aksi, tetapi juga besaran alokasi
anggaran.
Puncak penderitaan
masyarakat sepanjang periode musim kering adalah menyusutnya stok bahan
pangan, kehilangan air bersih, serta kebakaran hutan yang menyebabkan jutaan
orang mengalami gangguan pernafasan. Di beberapa daerah, masyarakat bahkan
kehabisan bahan pangan layak konsumsi. Baru-baru ini dilaporkan bahwa warga
Dusun Tandai Rotu, Desa Katiku Luku di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara
Timur, terpaksa makan ubi beracun untuk mencegah kelaparan.
Sebelumnya dari
Sulawesi juga dilaporkan bahwa warga pedesaan di Polewali Mandar, Sulawesi
Barat, pun harus mengonsumsi tumbuhan umbi beracun yang disebut Undo. Tumbuh
liar di tengah hutan, Undo menjadi sumber pangan alternatif warga setempat
setelah mereka gagal panen akibat kemarau panjang tahun ini. Situasi yang
hampir sama juga dialami warga di Puncak Jaya, Papua.
Warga pada banyak desa
di Jawa pun tak luput dari penderitaan. Di Jawa Tengah, 487 desa di 122
kecamatan sempat dalam kondisi siaga darurat kekeringan. Gagal panen sudah
mengancam ketahanan pangan dan potensi defisit gizi warga di ratusan desa
itu, terutama anak-anak. Warga dua desa di Kecamatan Karanggede, Desa Klumpit
dan Desa Pinggir, memberanikan diri meminta bantuan bahan pangan ke Pemkab
Boyolali. Mereka mengalami krisis pangan akibat lahan pertanian gagal panen.
Di tengah bencana
kekeringan itu, lima gunung berapi pun meletus. Meliputi Gunung Raung di
Pulau Jawa, letusan di pegunungan Gamalama dan Dukono di Kepulauan Maluku,
gunung berapi Sinabung di Pulau Sumatera, dan letusan Gunung Karangetang di
Pulau Siau.
Kebakaran hutan dan
lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan seperti ini menegaskan bahwa negara
ini benar-benar berselimut bencana nyaris sepanjang paruh kedua 2015 ini.
Dahsyatnya bencana ini tergambar dari catatan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB).
Menurut BNPB, luas
area kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015 sudah setara dengan 32
kali wilayah Provinsi DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali. Total area
hutan dan lahan yang terbakar 2.089.911 hektare. Dampak ekonominya luar
biasa. Kerugiannya sudah puluhan triliun. Selain menelan korban jiwa, jutaan
warga mengalami gangguan pernafasan. Masa depan kesehatan mereka rapuh.
Secara umum, bisa
dipastikan telah bermunculansejumlah masalah serius pada semua daerah
terdampak bencana. Mulai dari kekurangan bahan pangan, kekurangan air bersih,
ketidaknyamanan warga karena harus tinggal di lokasi pengungsian, penyakit
sesak nafas dan gangguan kesehatan lainnya, sampai persoalan kegiatan belajar
mengajar anak-anak.
Respons RAPBN 2016
Penderitaan puluhan
juta warga negara tahun ini tidak boleh terulang pada tahun-tahun mendatang.
Karena itu, Fraksi Partai Golkar (FPG) mencermati betul rencana kebijakan dan
rencana aksi pemerintah dalam merespons kemungkinan terjadi bencana alam pada
2016. Kemampuan pemerintah mengantisipasi bisa dibaca pada postur APBN 2016.
Siapa pun tidak menginginkan terjadi bencana. Tetapi, kesiapan menanggulangi
bencana merupakan kewajiban karena manusia harus belajar dari rentetan
bencana sebelumnya.
Sayangnya, RAPBN 2016
tidak memberi perhatian ekstra pada kebutuhan program-program preventif
terkait penanggukan bencana. Karena itu, FPG menilai RAPBN 2016 bukan hanya
tidak realistis, tetapi juga tidak prorakyat. Realisasi penerimaan dari
sektor pajak diperkirakan semakin menurun, tetapi sejumlah pos pengeluaran
tampak membengkak. Ketidakseimbangan seperti itu bisa memberi dampak buruk
pada kualitas kesejahteraan rakyat serta menambah jumlah penganggur.
Karena itu, FPG
mendorong pemerintah untuk merumuskan postur APBN 2016 yang realistis dan
sehat. Logika berpikirnya sederhana saja dan mengacu pada kecenderungan dan
potensi penerimaan negara. Penerimaan pajak pada 2015 sudah mengalami
perlambatan sebab pada akhir Oktober 2015 baru 57% dari target penerimaan
Rp1.295 triliun. Realisasi penerimaan pajak hingga 31 Desember 2015
diperkirakan maksimal 80% dari target atau sekitar Rp1.050 triliun.
Berdasarkan perkiraan
itu, FPG menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan perubahan pengurangan
pagu Anggaran total APBN 2016 sehingga menjadi realistis dan sehat secara
keuangan negara. Kalau pemerintah tidak melakukan hal itu, konsekuensinya
adalah defisit anggaran semakin membengkak. Jika defisit anggaran itu ditutup
dengan utang, besar kemungkinan rasio utang yang tercantum dalam undang-undang
telah dilanggar.
Selain itu, FPG pun
harus memberi perhatian khusus pada alokasi penyertaan modal negara (PMN) di
BUMN yang terus saja membesar. Seharusnya dibalik; BUMN berkontribusi pada
APBN, bukan malah menggerogoti APBN.
Maka itu, FPG meminta
pemerintah untuk mempertimbangkan kembali dan tidak memaksakan PMN di BUMN
tersebut, termasuk nanti dalam pembahasan RAPBNP 2015. Permintaan ini
mengingat target penerimaan pajak dan penerimaan lainnya tidak tercapai. FPG
bahkan meminta pemerintah untuk menambah pengeluaran untuk program-program
yang lebih prorakyat seperti pembelian peralatan penanggulangan bencana alam,
merealisasikan Dana Desa Rp1 miliar per desa, pemberian subsidi suku bunga
pinjaman bagi pengusaha kecil/ UKM, peningkatan subsidi pupuk, dan program
prorakyat lainnya.
Khusus untuk
penanggulangan bencana kekeringan dan bencana alam lain misalnya, pemerintah
seharusnya meningkatkan kapasitas dan kompetensi BNPB, membeli pesawat water
bombing, mengalokasikan anggaran yang cukup untuk hujan buatan, program
menyediakan air bersih, memperlancar distribusi bantuan bahan pangan ke
daerah yang berpotensi menghadapi masalah kelaparan, hingga memperbesar
wewenang dan organisasi polisi kehutanan berikut perlengkapannya di setiap
daerah.
Mencermati alokasi PMN
untuk BUMN itu, FPG pun akan sulit menerimanya, terutama karena alokasi
anggaran untuk bidang pertanian, perikanan, kelautan, kehutanan, dan
infrastruktur pedesaan relatif kecil. Karena itu, terkait Dana Desa, FPG
mengingatkan pemerintah tentang urgensi pengawasan yang cermat dan lebih
diperketat agar tidak dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan
tujuan-tujuan politik tertentu yang berpotensi menjadikan Dana Desa tersebut
sebagai lahan korupsi baru.
Dua catatan kritis
lainnya terkait dengan dorongan FPG kepada pemerintah untuk melaksanakan APBN
2016 dengan sungguh-sungguh, terutama terkait dengan penyelesaian hutang
negara yang telah jatuh tempo. Kemudian, FPG harus mengkritik pemerintah
karena tidak terlihat usaha yang signifikan untuk mengurangi pemakaian bahan
bakar minyak (BBM) dan pemanfaatan penggunaan energi baru terbarukan termasuk
alokasi dana riset untuk pengembangan energi baru terbarukan.
Karena pemerintah
berjanji dan menyepakati enam catatan kritis itu, FPG dan sembilan fraksi
lainnya di DPR akhirnya bisa menyetujui Rancangan Undang-Undang Tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 disahkan menjadi
UU dalam sidang paripurna DPR pekan lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar