Kampoeng BNI di Pulau Buru
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 05 November 2015
Saya ajak Anda
menengok ke sebuah pulau di belahan timur Indonesia. Namanya Pulau Buru. Apa
yang ada di benak Anda ketika mendengar nama pulau ini? Mungkin ada beberapa.
Pertama, pulau yang
dikenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik Orde Baru, yang hidup
bersama-sama dengan para transmigran asal Jawa.
Kedua, mungkin
Pramoedya Ananta Toer, salah seorang tahanan politik yang diasingkan ke Pulau
Buru. Selama di sana, Pram, begitu panggilannya, menulis beberapa novel
semifiksi. Di antaranya Gadis Pantai, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Arus
Balik. Pram terkenal karena pemikirannya yang kritis dan korektif terhadap
Orde Baru.
Sampai saat ini, kalau
berkunjung ke sana, saya masih bertemu rekan-rekan Pram yang sudah tak
memiliki sanak keluarga di Pulau Jawa dan memilih tinggal di sana.
Sambil ngopi di sore
hari, kadang mereka bercerita tentang hari-hari panjang dalam tahanan dan
bagaimana mereka menyelamatkan manuskrip karya Pram.
Namun sesungguhnya
yang membuat karya-karyanya menjadi terkenal adalah kekhawatiran berlebihan
dari Orde Baru sehingga melalui Kejaksaan Agung, pemerintahan Soeharto
melarang peredaran karya-karya Pram.
Masyarakat negeri kita
itu unik. Jika ada sesuatu yang dilarang, ia malah dicari-cari. Begitu pula
dengan karya-karya Pram. Kini, setelah semua karya Pram bebas beredar di
toko-toko buku dan pemikirannya menginspirasi banyak orang, ternyata tak
terjadi gejolak di masyarakat kita. Juga biasa saja responsnya.
Tumbuh di Atas Emas
Baiklah kita kembali
ke Pulau Buru. Ketiga, pulau ini terkenal dengan pohon kayu putihnya. Itu
sebabnya minyak kayu putih buatan Pulau Buru sangat disukai. Harum dan
hangatnya tahan lama.
Keempat, ini yang
menjadi kepedulian saya, hadirnya emas yang bukan hanya memicu kerusakan
lingkungan di sana, tetapi juga menyebabkan terjadinya perubahan sosial
besar-besaran. Di Pulau Buru, emas semula hanya ditemukan di kawasan Gunung
Botak. Tapi, belakangan, emas juga ditemukan di empat kawasan lain.
Hadirnya emas
membuat para petani dan anak-anaknya meninggalkan sawah dan ladang mereka. Emas yang dikelola
penambang liar diolah dengan menggunakan air raksa dan merkuri. Penggunaan
dua bahan kimia itu membuat sungai-sungai dan pantai tercemar. Di Teluk
Kayeli di Kabupaten Buru, banyak ikan yang mati akibat tercemar oleh air
raksa dan merkuri. Masyarakat luar mendengar kabar ini. Mereka pun enggan
membeli ikan dari nelayan-nelayan di Pulau Buru. Nelayan di sana pun merana.
Emas memanjakan mimpi
masyarakat adat yang ingin kaya mendadak. Anak-anak remaja meninggalkan
bangku sekolah untuk berburu emas. Mereka yang beruntung menemukan emas
segera membangun rumah-rumah baru di atas lahan sawah yang terus menyusut
akibat ditinggalkan petani dan anak-anaknya.
Mereka membeli sepeda
motor dan berbagai barang elektronik lainnya.
Adapun yang lainnya
mati terkubur timbunan lubang-lubang tambang. Bersamaan dengan itu, tak
jarang terjadi konflik. Perang antarsuku nyaris pecah. Sementara penyakit
seksual menular pun marak karena para cukong perlu menjaga stamina
buruh-buruh bawaannya yang didatangkan dari jauh.
Itulah potret
perubahan sosial di Pulau Buru. Pohon kayu putih yang tumbuh di atas emas itu
perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Bahkan tanahnya digerus karena dicurigai
ada emas di bawahnya. Padahal, pohon kayu putih tumbuh alami, pemberian Tuhan
yang tak perlu dibibitkan. Perubahan itu hingga kini masih terus bergulir dan
saya tidak tahu sampai di mana ujungnya.
Tapi, sejujurnya, saya
merasa sangat tidak nyaman dengan perubahan yang berakibat buruk dan terus
terjadi akibat adanya pembiaran. Lalu, mesti bagaimana?
Kampoeng BNI
Melalui Rumah
Perubahan, sudah sejak beberapa tahun lalu kami mulai terlibat dalam sejumlah
aktivitas pemberdayaan masyarakat di Pulau Buru. Beruntung saya mendapatkan
dukungan dari Bank BNI Tbk. Bersama-sama kami mengembangkan Kampoeng BNI
(KBNI) di Pulau Buru. Saya paparkan apa saja yang sudah dan akan kami
kerjakan di sana.
Bank BNI, melalui
kegiatan corporate social
responsibility (CSR)-nya, mendonasikan lebih dari seratus ekor sapi untuk
menambah sapi-sapi yang sudah kami pelihara bersama masyarakat. Anda tahu,
kegiatan CSR semacam ini kalau landasannya hanya charity, hasilnya akan langsung menguap. Hilang tanpa bekas.
Untungnya Bank BNI
tidak begitu. Konsepnya adalah pengembangan komunitas grass root. Untuk mengelola sapi-sapi bantuan Bank BNI tersebut,
kami pun menerapkan sistem gaduh. Apa itu? Sederhana
saja. Sapi-sapi itu kami titipkan kepada keluarga-keluarga yang ada di sana
untuk dipelihara. Ketika berkembang biak, anak pertama dari sapi tersebut
menjadi jatah mereka. Ketika sapi tersebut melahirkan lagi, anak keduanya
kami jadikan modal bergulir, dipinjamkan lagi ke keluarga yang belum
memperoleh bagian. Begitu seterusnya.
Sistem gaduh sapi ini
tidak berdiri sendiri. Kami juga mengajari masyarakat di sana untuk
memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber bahan baku biogas. Biogas itu
dijadikan sumber energi yang dipakai untuk penerangan dan bahkan memasak.
Saat ini kami sedang
membangun instalasi penyulingan minyak kayu putih kedua dengan menggunakan
biogas sebagai bahan bakarnya. Kelak, kalau ingin menyuling minyak kayu
putih, mereka tak perlu menebangi pohon hanya untuk mendapatkan kayunya.
Jadi, akan jauh lebih efisien, karena tak perlu mengeluarkan biaya untuk
bahan bakar.
Itulah, antara lain,
yang kami lakukan di Pulau Buru melalui konsep Kampoeng BNI. Di luar itu,
Anda akan dengan mudah menemukan kampoeng-kampoeng lain yang dikembangkan BNI
di berbagai daerah di Indonesia. Di Subang, misalnya, ada KBNI Peternakan
Sapi. Di Ciamis ada KBNI jagung manis. Di Rembang ada KBNI Batik Lasem
Rembang, lalu KBNI Ikan Nila di Ponorogo, dan seterusnya. Daftarnya sangat
panjang.
Saya punya catatan
soal ini. Kalau melihat konsepnya, KBNI setidak-tidaknya memiliki dua kata
kunci. Pertama, KBNI adalah program pemberdayaan masyarakat melalui
penyaluran kredit atau bantuan lainnya dengan sistem kluster. Melalui sistem
ini, setiap kluster kelak diharapkan memiliki berbagai macam produk unggulan
yang menjadi ciri khas suatu daerah. Pulau Buru, misalnya, akan memiliki
minyak kayu putih sebagai produk unggulannya.
Kata kunci kedua
dibangun atas prinsip community enterprise. Apa itu? Apa bedanya
dengan social enterprise? Social enterprise adalah wirausaha sosial, tetapi didirikan dan
dimiliki oleh individu. Sementara community
enterprise adalah lembaga wirausaha yang didirikan dan dimiliki oleh komunitas.
Lembaga ini bertujuan menyelesaikan sendiri permasalahan yang mereka hadapi.
Kalau mau disederhanakan, konsep community
enterprise ini agak mirip dengan koperasi. Dengan konsep kluster dan
komunitas, tak mengherankan kalau kita menemukan KBNI ada di mana-mana,
sebagaimana sudah saya sebutkan sebagian di atas.
Dan saya berharap daftar
KBNI akan terus bertambah panjang dan menyebar di mana-mana. Kita perlu
menjaga terus ”roh” BUMN sebagai agen pembangunan dan saya senang Menteri
BUMN kita tak melupakan peran ini, apalagi itu di Indonesia timur yang telah
banyak memberi tanpa pernah meminta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar