Berhala
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN SINDO, 31 Mei 2015
Mahasiswa saya memang
bermacammacam. Salah seorang di antaranya (perempuan) tidak mau difoto bareng
seusai kuliah terakhir saya di kelas itu (tradisi foto-foto orang Indonesia
sudah ada sejak saya masih SD). Dia cuma mau motret, tidak mau dipotret.
Ketika belakangan saya tanya kenapa tidak mau dipotret, jawabnya ”dilarang
agama”.
Bahkan, dia
melanjutkan ”... ada hadis yang mengatakan bahwa kita jangan memasang gambar,
foto, atau patung manusia di rumah kita, karena malaikat tidak mau masuk ke
rumah-rumah seperti itu”. Waduuh ... kalau dia benar, selama ini nggak ada
malaikat yang mampir ke rumahku dong. Rumahku penuh dengan foto keluarga,
anak-cucu, bahkan ada foto-foto kakek-eyang dan nenek-moyang yang sudah
almarhum. Belum lagi foto-foto narsis di berbagai objek turis yang pernah
saya dan istri saya kunjungi.
Barangkali memang
tidak ada malaikat yang masuk ke rumahku, tetapi tamu-tamu yang masuk rumah
saya, selalu tertarik kepada foto-foto itu dan kami yang tuan rumah siap jadi
tour guide, menceritakan kisah setiap foto, dan sering kali nyambung ke si
tamu ... eeehhh... nggak tahunya masih saudara, atau .... dulu sekolahnya
sama, ya... atau kamu kenal si itu, nggak? Dunia memang kecil, ya?
Pokoknya tali
silaturahmi tersambung. Dan setahu saya, silaturahmi juga sangat dianjurkan
dalam Islam.
Tetapi memang benar.
Nabi Ibrahim pernah menghancurkan berhala-berhala yang disembah Raja Namrud
dan rakyatnya. Ketika itu, beliau bertujuan untuk mendidik raja dan
pengikutnya bahwa tidak ada gunanya menyembah patung yang tidak bisa bicara
itu, karena penguasa alam semesta ini adalah Allah SWT.
Terbukti, ketika
Namrud menyuruh membakar Nabi Ibrahim hidup-hidup, atas perkenan Allah SWT
api tidak mampu membakarnya, bahkan Nabi Ibrahim keenakan, karena merasa
sejuk seperti di ruang ber-AC dengan temperatur 230 C (bagian yang terakhir
ini karangan saya sendiri, jangan dianggap serius). Begitu juga dalam 10
perintah Tuhan yang dibawakan oleh Nabi Musa, salah satu perintah-Nya adalah
dilarang menduakan Tuhan, termasuk dengan menyembah berhala.
Karena itulah ketika
pasukan ISIS yang menduduki Kota Mosul di Irak beberapa waktu yang lalu,
mereka langsung menghancurkan patung-patung bersejarah yang sudah berusia
2.500 tahun dengan maksud tidak dijadikan sesembahan manusia. Karena itu pula
mahasiswa saya tidak mau difoto, walaupun sudah saya ingatkan bahwa kelak
anak-cucumu tidak bisa melihat bagaimana wajahmu ketika masih muda dan
mungkin sampai tua juga (kalau seumur hidup tetap nggak mau difoto). Dan
karena itu pula, beberapa tahun yang lalu kelompok radikal pernah
menghancurkan patung-patung wayang di Kota Purwakarta (yang sekarang sudah
dibangun kembali oleh Bupati Dedi Mulyadi).
Tetapi apakah benar
otomatis setiap lukisan, gambar, patung dari sosok manusia dan juga hewan,
otomatis akan dituhankan oleh manusia?
Saya pernah ke Nepal.
Jauuh... sebelum gempa. Bersama serombongan peneliti Indonesia yang terdiri
atas ilmuwan dari berbagai disiplin. Di dalam rombongan, ada seorang dokter
asal Bali, namanya Dokter Muninjaya. Ketika kami berkeliling Kota Kathmandu
dan menemukan sebuah kuil di tepi sebuah sungai (di setiap dan sepanjang hari
orang bersuci di sungai itu), Dokter Muninjaya ingin masuk dan berdoa di
dalam kuil. Kami yang lain siap mengikuti, tetapi ditolak oleh penjaga.
Dokter Munin lolos karena di KTP-nya ada tulisan agama: Hindu (jadi sama
dengan kota-kota haram dalam Islam, yaitu Mekkah dan Madinah, di mana
nonmuslim dilarang masuk).
Tetapi dia hanya
sebentar saja di dalam kuil, tak lama dia keluar lagi. Kami tanya, mengapa
kok cepat amat? Jawabnya, ”Dewa-dewanya
tak ada yang saya kenal”. Tentu saja kami semua tertawa, tetapi di situ
saya belajar bahwa manusia tidak bisa begitu saja menjadikan sesuatu sebagai
sembahannya. Semua objek yang akan disembah harus punya ikatan batin dengan
si penyembah. Dokter Munin tidak bisa bersembahyang di depan dewa-dewi yang
asing buat dia. Padahal di Bali, dewadewinya juga sama, tetapi wajah dan
penampilannya sudah sangat dia kenal sejak kecil.
Itu pula yang
menyebabkan patung Buddha versi Muangthai (berwajah oval) berbeda dari patung
Buddha versi Borobudur (wajah bulat). Masing-masing mencerminkan raut wajah
umat setempat. Namun, ada aliran Buddha (Nichiren)
yang di dalam kuilnya sama sekali tidak menampilkan patung Buddha. Tempat
biasanya duduk patung Buddha Gautama, hanya ada tulisan tentang beberapa ajaran-Nya.
Sama seperti di
masjid-masjid hanya ada tulisan Allah, atau kaligrafi ayat-ayat suci. Bahkan
kalau sedang berdoa sendiri, apa pun agama manusia, tidak diperlukan patung
atau benda lain sama sekali. Cukup dengan menutup mata, menengadahkan, atau
merapatkan tangan dan berdoa, dan selesai. Jadi sebetulnya tidak diperlukan
patung apa pun atau berhala apa pun untuk keperluan spiritual manusia.
Di sisi lain, orang
Jawa sampai hari ini masih banyak yang menyembah pohon, batu, air terjun,
atau gunung. Kata sebagian pakar, itu cara-cara yang paling primitif dalam
ekspresi beragama. Tetapi tunggu dulu. Seandainya tulisan Allah dan kaligrafi
ayat suci di dinding masjid hilang dicuri orang, bagaimana kira-kira reaksi
umat yang biasa salat di situ? Pasti marahlah.
Maka dicari siapa
pelakunya. Kebetulan ketemu. Seorang gila, dan dia sedang santai nongkrong
dan pigura bertuliskan Allah yang hilang itu dijadikannya alas duduk.
Bagaimana reaksi orang? Pasti ngamuklah! Bisa jadi orang gila itu babak belur
bahkan bisa tewas dikeroyok massa yang marah.
Padahal kalau benar
bahwa kita tidak menduakan Allah, kenapa kita harus marah kepada orang (yang
gila pula) yang hanya duduk di atas kertas yang bertuliskan huruf Arab?
Dengan marah itu, bukankah kita menduakan Tuhan, namanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar