Senin, 01 Juni 2015

Berhala

Berhala

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 31 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Mahasiswa saya memang bermacammacam. Salah seorang di antaranya (perempuan) tidak mau difoto bareng seusai kuliah terakhir saya di kelas itu (tradisi foto-foto orang Indonesia sudah ada sejak saya masih SD). Dia cuma mau motret, tidak mau dipotret. Ketika belakangan saya tanya kenapa tidak mau dipotret, jawabnya ”dilarang agama”.

Bahkan, dia melanjutkan ”... ada hadis yang mengatakan bahwa kita jangan memasang gambar, foto, atau patung manusia di rumah kita, karena malaikat tidak mau masuk ke rumah-rumah seperti itu”. Waduuh ... kalau dia benar, selama ini nggak ada malaikat yang mampir ke rumahku dong. Rumahku penuh dengan foto keluarga, anak-cucu, bahkan ada foto-foto kakek-eyang dan nenek-moyang yang sudah almarhum. Belum lagi foto-foto narsis di berbagai objek turis yang pernah saya dan istri saya kunjungi.

Barangkali memang tidak ada malaikat yang masuk ke rumahku, tetapi tamu-tamu yang masuk rumah saya, selalu tertarik kepada foto-foto itu dan kami yang tuan rumah siap jadi tour guide, menceritakan kisah setiap foto, dan sering kali nyambung ke si tamu ... eeehhh... nggak tahunya masih saudara, atau .... dulu sekolahnya sama, ya... atau kamu kenal si itu, nggak? Dunia memang kecil, ya?

Pokoknya tali silaturahmi tersambung. Dan setahu saya, silaturahmi juga sangat dianjurkan dalam Islam.

Tetapi memang benar. Nabi Ibrahim pernah menghancurkan berhala-berhala yang disembah Raja Namrud dan rakyatnya. Ketika itu, beliau bertujuan untuk mendidik raja dan pengikutnya bahwa tidak ada gunanya menyembah patung yang tidak bisa bicara itu, karena penguasa alam semesta ini adalah Allah SWT.
Terbukti, ketika Namrud menyuruh membakar Nabi Ibrahim hidup-hidup, atas perkenan Allah SWT api tidak mampu membakarnya, bahkan Nabi Ibrahim keenakan, karena merasa sejuk seperti di ruang ber-AC dengan temperatur 230 C (bagian yang terakhir ini karangan saya sendiri, jangan dianggap serius). Begitu juga dalam 10 perintah Tuhan yang dibawakan oleh Nabi Musa, salah satu perintah-Nya adalah dilarang menduakan Tuhan, termasuk dengan menyembah berhala.

Karena itulah ketika pasukan ISIS yang menduduki Kota Mosul di Irak beberapa waktu yang lalu, mereka langsung menghancurkan patung-patung bersejarah yang sudah berusia 2.500 tahun dengan maksud tidak dijadikan sesembahan manusia. Karena itu pula mahasiswa saya tidak mau difoto, walaupun sudah saya ingatkan bahwa kelak anak-cucumu tidak bisa melihat bagaimana wajahmu ketika masih muda dan mungkin sampai tua juga (kalau seumur hidup tetap nggak mau difoto). Dan karena itu pula, beberapa tahun yang lalu kelompok radikal pernah menghancurkan patung-patung wayang di Kota Purwakarta (yang sekarang sudah dibangun kembali oleh Bupati Dedi Mulyadi).

Tetapi apakah benar otomatis setiap lukisan, gambar, patung dari sosok manusia dan juga hewan, otomatis akan dituhankan oleh manusia?

Saya pernah ke Nepal. Jauuh... sebelum gempa. Bersama serombongan peneliti Indonesia yang terdiri atas ilmuwan dari berbagai disiplin. Di dalam rombongan, ada seorang dokter asal Bali, namanya Dokter Muninjaya. Ketika kami berkeliling Kota Kathmandu dan menemukan sebuah kuil di tepi sebuah sungai (di setiap dan sepanjang hari orang bersuci di sungai itu), Dokter Muninjaya ingin masuk dan berdoa di dalam kuil. Kami yang lain siap mengikuti, tetapi ditolak oleh penjaga. Dokter Munin lolos karena di KTP-nya ada tulisan agama: Hindu (jadi sama dengan kota-kota haram dalam Islam, yaitu Mekkah dan Madinah, di mana nonmuslim dilarang masuk).

Tetapi dia hanya sebentar saja di dalam kuil, tak lama dia keluar lagi. Kami tanya, mengapa kok cepat amat? Jawabnya, ”Dewa-dewanya tak ada yang saya kenal”. Tentu saja kami semua tertawa, tetapi di situ saya belajar bahwa manusia tidak bisa begitu saja menjadikan sesuatu sebagai sembahannya. Semua objek yang akan disembah harus punya ikatan batin dengan si penyembah. Dokter Munin tidak bisa bersembahyang di depan dewa-dewi yang asing buat dia. Padahal di Bali, dewadewinya juga sama, tetapi wajah dan penampilannya sudah sangat dia kenal sejak kecil.

Itu pula yang menyebabkan patung Buddha versi Muangthai (berwajah oval) berbeda dari patung Buddha versi Borobudur (wajah bulat). Masing-masing mencerminkan raut wajah umat setempat. Namun, ada aliran Buddha (Nichiren) yang di dalam kuilnya sama sekali tidak menampilkan patung Buddha. Tempat biasanya duduk patung Buddha Gautama, hanya ada tulisan tentang beberapa ajaran-Nya.

Sama seperti di masjid-masjid hanya ada tulisan Allah, atau kaligrafi ayat-ayat suci. Bahkan kalau sedang berdoa sendiri, apa pun agama manusia, tidak diperlukan patung atau benda lain sama sekali. Cukup dengan menutup mata, menengadahkan, atau merapatkan tangan dan berdoa, dan selesai. Jadi sebetulnya tidak diperlukan patung apa pun atau berhala apa pun untuk keperluan spiritual manusia.

Di sisi lain, orang Jawa sampai hari ini masih banyak yang menyembah pohon, batu, air terjun, atau gunung. Kata sebagian pakar, itu cara-cara yang paling primitif dalam ekspresi beragama. Tetapi tunggu dulu. Seandainya tulisan Allah dan kaligrafi ayat suci di dinding masjid hilang dicuri orang, bagaimana kira-kira reaksi umat yang biasa salat di situ? Pasti marahlah.

Maka dicari siapa pelakunya. Kebetulan ketemu. Seorang gila, dan dia sedang santai nongkrong dan pigura bertuliskan Allah yang hilang itu dijadikannya alas duduk. Bagaimana reaksi orang? Pasti ngamuklah! Bisa jadi orang gila itu babak belur bahkan bisa tewas dikeroyok massa yang marah.

Padahal kalau benar bahwa kita tidak menduakan Allah, kenapa kita harus marah kepada orang (yang gila pula) yang hanya duduk di atas kertas yang bertuliskan huruf Arab? Dengan marah itu, bukankah kita menduakan Tuhan, namanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar