Rabu, 24 Juni 2015

KPK, Haruskah Layu Sebelum Benar-benar Bermekaran?

KPK, Haruskah Layu

Sebelum Benar-benar Bermekaran?

M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 23 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Usia 13 tahun merupakan masa remaja. Masa-masa itu pasti hiperaktif, agresif, atau secara sinikal disebut masa "nakal-nakalnya". Sebab, energi remaja sangat besar, mimpi-mimpinya sangat tinggi. Wataknya bertindak apa adanya, tidak neka-neka, dan tak pernah berpikir aneh-aneh. Benar, kita tengah membicarakan Komisi Pemberantasan Korupsi, institusi produk reformasi yang menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi.

Namun, sejak kelahirannya pada 2002, KPK selalu berada di ujung tanduk. Rasa-rasanya banyak sekali mereka yang duduk di legislatif, eksekutif, dan yudikatif menginginkan KPK lemah. DPR termasuk institusi paling giat yang ingin melemahkan KPK, mulai dari pernyataan anggota dan pimpinannya sampai tindakan lebih substantif berupa rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pekan lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengungkapkan soal rencana revisi UU itu yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini. Kontan saja publik bereaksi. Runyamnya, Presiden Joko Widodo tidak tahu-menahu soal rencana revisi UU itu. Memang aneh, mengapa bisa pembantu presiden jalan sendiri tanpa sepengetahuan presiden? Ternyata peran penting DPR yang menghendaki revisi UU itu. Sebaliknya, DPR tak terima dan menuding balik bahwa pemerintahlah yang menjadi inisiator rencana revisi UU itu dalam Prolegnas 2015. Saling tuding sudah tak mengherankan lagi dalam panggung politik kita. Kalau DPR menjadi inisiator, tentu bukan kisah baru. Wacana revisi UU tersebut sudah berkali-kali terdengar dalam beberapa tahun ini.

DPR sejak periode 2009-2014 memang berulang kali menghajar KPK, baik dengan pemangkasan wewenang sampai paling ekstrem pembubaran KPK. Wacana pembubaran KPK bahkan sudah santer sejak KPK pada era Antasari Azhar dan Busyro Muqoddas. Kasus Antasari bahkan diduga juga tak lepas dari konspirasi pelemahan KPK. Dan, itulah yang ingin terus-menerus dibuktikan Antasari dengan segala tindakan perlawanan hukumnya.

Tindakan paling riil pembunuhan KPK adalah kriminalisasi dua unsur pimpinan KPK, yaitu Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, yang dituduh menerima suap dari Anggoro Widjojo, tersangka kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu tahun 2009, melalui adiknya, Anggodo Widjojo. Bibit dan Chandra dijadikan tersangka dan sempat mendekam di penjara.

Serangan balik

Serangan balik terhadap KPK itu dilakukan setelah KPK menyadap Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Susno Duadji yang diduga menerima gratifikasi terkait Bank Century. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai cicak versus buaya jilid 1. Publik marah membela KPK. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun turun tangan. Tim Delapan yang dibentuk Presiden SBY merekomendasikan Presiden menggunakan hak abolisinya untuk memerintahkan penghentian kasus tersebut.

Serangan muncul lagi tahun 2012. Setelah KPK mengobok-obok Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dan menetapkan mantan Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka kasus korupsi proyek simulator berkendara, Polri pun marah. Kembali perseteruan KPK dan Polri tak terelakkan. Aparat kepolisian kemudian mengepung gedung KPK dengan alasan menangkap Novel Baswedan, penyidik KPK asal Polri, yang sangat berperan dalam pengusutan kasus Korlantas.

Novel dituduh menganiaya tersangka pencuri sarang burung walet tahun 2004. Inilah anehnya, ke mana saja Polri selama ini? Mengapa kasus itu muncul setelah kasus Korlantas dibongkar KPK? Publik kembali marah dan menjaga gedung KPK. Peristiwa cicak versus buaya jilid 2 ini juga membuat Presiden SBY turun tangan.

Lalu, serangan balik terhadap KPK lagi-lagi muncul tahun 2015. Setelah Komjen Budi Gunawan yang dicalonkan sebagai Kapolri dijadikan tersangka penerimaan gratifikasi, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap dan ditersangkakan dalam kasus perbuatan menyuruh memberi keterangan palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Lalu, Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen. Kedua unsur pimpinan KPK itu akhirnya dinonaktifkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar