Angeline
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 14 Juni 2015
TAK ada satu pun koran di ruang tamu rumah
Romo Imam. Ditaruh di mana? "Memang saya sembunyikan supaya tak dibaca
anak-anak," kata Romo.
Serius? "Ya, koran hari ini tak cocok
dibaca anak-anak. Tragedi Angeline memenuhi halaman. Foto gadis cilik yang
cantik itu di dalam berita justru menyedihkan. Diperlakukan kasar oleh ibu
angkatnya, kumal dan bau ketika ke sekolah, kurus kering layaknya orang
kelaparan. Lalu dinyatakan hilang dan dicari ke mana-mana, ternyata
kuburannya di pekarangan rumah. Otopsi jenazah menunjukkan dia disiksa
sebelum dibunuh. Ada cerita bahkan dikubur masih dalam keadaan hidup. Duh,
bagaimana kalau anak-anak membaca berita ini."
Saya ikut sedih. "Saya juga bingung,
Romo," kata saya. "Angeline dibunuh pagi sekitar pukul sepuluh.
Mayatnya baru ditanam pukul delapan malam. Sementara ibu angkatnya sore hari
sudah mengumumkan Angeline hilang saat sedang bermain di halaman rumahnya. Lalu
kakak tiri Angeline membuat halaman di Facebook mengabarkan kehilangan itu
dengan mengunggah foto-foto Angeline yang riang gembira, mengesankan dia
sangat disayang keluarga. Lazimnya kalau ada orang hilang, foto yang
dipampang adalah foto yang terbaru. Ada apa semua ini? Kenapa secepat itu
Angeline dinyatakan hilang, kok tidak dicari dulu di dalam rumah?"
"Sudahlah, tak usah diteruskan,"
Romo memotong. "Sampeyan mantan wartawan sih, selalu curiga kalau ada
hal-hal aneh larinya ke masalah konspirasi dan membangun alibi. Yang jelas,
polisi menyebutkan ibu angkat Angeline tidak terlibat. Pelakunya tunggal,
bekas pembantu di rumah itu. Titik."
Karena Romo menyebut "titik" itu
isyarat supaya saya diam. Padahal saya ingin mengatakan polisi terburu-buru
dengan menyebutkan pelaku tunggal. Tiba-tiba Romo seperti bergumam:
"Kenapa tragedi Angeline bisa terjadi di Bali?"
Karena Romo seperti menunggu jawaban, saya pun
bicara. "Kejadian begini bisa terjadi di mana-mana, terutama di
lingkungan masyarakat eksklusif. Kawasan di mana Angeline berada itu
permukiman baru, antar-tetangga bisa saling rikuh untuk berkenalan. Apalagi
di rumah itu ada satpam, mana ada rumah tangga di Bali memiliki satpam. Ibu
angkat Angeline di mata orang Bali pasti orang kaya, suaminya orang asing.
Guru-guru Angeline yang sering kali memandikan gadis kecil ini karena kotor
dan bau juga rikuh datang ke rumah ibu angkatnya. Padahal sesekali wali kelas
Angeline mengantarkan anak ini pulang, cuma sampai di luar pagar rumah. Tak
ada komunikasi antara guru dan orang tua murid. Di pedesaan tak ada istilah
rikuh, guru biasa bertemu dengan orang tua murid. Ada ribut-ribut di sebuah
rumah, tetangga pasti berdatangan."
"Sampeyan mau ngomong apa?" tanya
Romo nyeletuk. Saya katakan: "Permukiman baru di Bali yang warganya
beragam etnis dan agama, sebaiknya belajar pada kearifan lokal, menyama-braya
yang artinya menjaga silaturahmi antarwarga. Jangan menutup diri. Yang perlu
dibenahi juga, aturan mengadopsi anak, cobalah tiru adat Bali. Mengangkat
anak di Bali harus ada saksi adat dan ada ritual sehingga anak itu jelas
dididik secara agama apa. Angeline lahir dari keluarga muslim, masih bayi
diadopsi orang asing, di sekolah ikut pendidikan Hindu karena tak ada
komunikasi dengan orang tua angkatnya. Guru dan teman-teman Angeline pun kini
berdoa secara Hindu. Sudah pasti di Banyuwangi nanti jenazah Angeline akan
dikubur dengan doa Islam."
Romo memotong: "Lha, agama Angeline apa
ya?" Saya jawab: "Tuhan Maha Besar. Tuhan tak akan mempertanyakan,
anak sekecil itu pasti diberi surga." Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar