Mitos Migrasi Jakarta
Edy Priyono ; Peneliti
di Pusat Kajian Kebijakan Publik "Akademika"; Dosen FEB UI
|
KOMPAS, 22 Juni 2015
Operasi Yustisi
Kependudukan merupakan salah satu rutinitas Pemprov DKI Jakarta yang
dijalankan setiap tahun, khususnya setelah Lebaran. Sejak tahun 2014 namanya
diganti menjadi Operasi Bina Kependudukan, tetapi tujuannya sama, membatasi
migran dari luar Jakarta masuk ke Ibu Kota.
Kebijakan itu bertolak
dari asumsi bahwa migrasi merupakan salah satu masalah kependudukan di
Jakarta. Migrasi dianggap sebagai penyebab terus bertambahnya jumlah penduduk
Jakarta: 10,1 juta jiwa tahun 2015.
Untuk sebuah provinsi, angka 10,1 juta
sebenarnya tidak istimewa, masih kalah dengan Jawa Barat (46,7 juta jiwa),
Jawa Timur (38,8 juta jiwa), Jawa Tengah (33,8 juta jiwa), Sumatera Utara
(13,9 juta jiwa), bahkan Banten (11,9 juta jiwa). Jumlah penduduk Jakarta
baru terasa dilihat dari sisi kepadatan.
Tahun 2013, kepadatan
penduduk Jakarta 15.000 orang per kilometer persegi. Tak ada satu provinsi
pun yang mendekati angka itu. Yang terdekat, Jawa Barat, hanya 1.282 orang
per km2. Kepadatan penduduk Jakarta bahkan lebih dari dua kali lipat
kepadatan penduduk Hongkong, salah satu kota terpadat di Asia.
Sebenarnya tidak
pernah ada perdebatan tentang jumlah karena sudah banyak yang tahu Jakarta
sudah masuk kategori megacity. Masalahnya, apakah benar migrasi merupakan
faktor kunci di balik fakta tersebut? Pertanyaan tersebut kemudian akan
berimplikasi pada penilaian tentang relevansi Operasi Yustisi/Bina
Kependudukan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta.
Lebih banyak keluar
Jika yang
diperhitungkan adalah migrasi masuk selama lima tahun terakhir sebelum
pendataan (recent migration), data BPS menunjukkan bahwa jumlah migran masuk
ke Jakarta tahun 2010 (atau mereka berpindah selama periode 2005-2010) adalah
644.000 orang. Jumlah tersebut relatif besar, tetapi ada beberapa hal yang
patut dicermati.
Pertama, meskipun
besar, jumlah migran masuk ke Jakarta bukan yang terbesar. Angka tersebut memang
lebih besar dari Banten (urutan berikut setelah Jakarta, 465.000 orang),
tetapi masih cukup jauh dibandingkan migran masuk ke Jawa Barat pada periode
yang sama, 1 juta orang.
Kedua, jika dilihat
antarwaktu, jumlah migran ke Jakarta sebenarnya menunjukkan kecenderungan
menurun. Tahun 1990, migran masuk ke Jakarta tercatat 833.000, tahun 2000
angka tersebut turun menjadi 702.000.
Angka migrasi di
Jakarta semakin "tidak mengkhawatirkan" jika melihat migrasi
keluar. Pada tahun 2010 BPS mencatat lebih dari 883.000 orang keluar dari
Jakarta, diduga banyak di antara mereka yang berpindah ke Jawa Barat dan
Banten (mengingat besarnya migrasi masuk ke dua provinsi itu). Angka migrasi
keluar Jakarta hanya kalah dengan Jawa Tengah (980.000 orang).
Dengan mudah dapat
teramati, jumlah migran keluar Jakarta lebih besar daripada yang masuk.
Sebagai konsekuensinya, tahun 2010 migrasi neto di DKI Jakarta adalah negatif
(-239.000). Angka tersebut memang lebih rendah dibandingkan provinsi lain
yang sama-sama punya migrasi neto negatif, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Sumatera Utara, tetapi tetap penting bagi orang-orang yang masih
menganggap Jakarta masih terus disesaki kaum pendatang.
Angka migrasi neto
yang negatif itu bahkan bukan hanya terjadi tahun 2010. Sejak tahun 1990,
migrasi neto selalu negatif dan berkecenderungan meningkat (nilai negatif
semakin besar). Migrasi neto positif (artinya lebih banyak orang yang masuk
ke Jakarta daripada yang keluar) di Jakarta hanya terjadi sampai tahun 1985.
Jadi, dapat dikatakan
Jakarta sebenarnya sudah tak bermasalah dengan migrasi. Sejak 1990,
pertambahan penduduk Jakarta bukan disebabkan oleh migrasi, melainkan karena
pertumbuhan penduduk alamiah (selisih antara kelahiran dan kematian).
Masalah kualitas
Meski sebenarnya tidak
punya masalah dengan migrasi, bukan berarti Jakarta tidak punya masalah
kependudukan sama sekali. Masalah itu terletak pada beberapa aspek yang
mencerminkan kualitas penduduk.
Tahun 2013 angka
pengangguran terbuka di Jakarta adalah 9,02 persen. Angka tersebut lebih
tinggi daripada rata-rata nasional (6,25 persen). Fakta itu menunjukkan, tak
benar di Jakarta orang mudah mendapatkan pekerjaan, kecuali kalau yang
dimaksud adalah pekerjaan di sektor informal.
Akibatnya, kesenjangan
pendapatan antarpenduduk di Jakarta relatif besar. Hal itu terlihat dari Gini
Ratio (GR) yang mengukur kesenjangan. Tahun 2013, rata-rata GR di Jakarta
adalah 0,433, juga lebih besar daripada rata-rata semua provinsi sebesar
0,413. Bahkan, tidak sedikit yang berpendapat bahwa angka itu underestimate
atau lebih rendah daripada kenyataan sebenarnya.
Dari sisi pembangunan sanitasi, tahun 2013
tercatat ada 0,44 persen penduduk Jakarta yang tidak mempunyai atau
menggunakan toilet. Artinya, itulah persentase penduduk yang buang air besar
sembarangan (BABS) di ruang terbuka (open
defecation).
Angka BABS 0,44 di atas sebenarnya terendah
dibandingkan semua provinsi lain di Jakarta. Namun, jika direfleksikan ke
dalam jumlah penduduk, angka tersebut melibatkan kurang lebih 45.000 orang.
Itu merupakan sebuah angka yang perlu ditangani serius jika ada individu
melakukan BABS, yang terkena dampak adalah seluruh anggota masyarakat di
sekelilingnya (bukan hanya pelaku BABS).
Masih terkait dengan
sanitasi, cukup mengejutkan bahwa akses terhadap air minum layak di Jakarta
ternyata tidak bagus. Tahun 2013, data BPS menunjukkan, hanya 23 persen
penduduk Jakarta yang mengakses air minum layak. Angka tersebut jauh di bawah
rata-rata nasional sebesar 41 persen.
Besar kemungkinan
rendahnya akses terhadap air minum layak tersebut disebabkan buruknya
kualitas air tanah di Jakarta, padahal masih banyak penduduk yang
menggunakannya sebagai sumber air minum. Jika akses terhadap air pipa tak
segera ditingkatkan, persoalan air minum akan semakin serius.
Selain berbagai
indikator di atas, aspek kualitas hidup lain, seperti keamanan dan keluhan
terhadap gejala penyakit di Jakarta, juga mengkhawatirkan. Kesemuanya
menunjukkan, penduduk Jakarta masih menghadapi masalah kualitas hidup.
Tidak sulit menarik
kesimpulan dari apa yang dipaparkan secara singkat tersebut. Jelas bahwa
Jakarta sebenarnya tidak bermasalah dengan migrasi. Oleh karena itu, jika
tujuannya adalah secara langsung ataupun tidak langsung membatasi migrasi
masuk ke Jakarta, Operasi Yustisi atau Bina Kependudukan sebaiknya dihentikan
karena tidak relevan.
Lain ceritanya kalau
tujuannya untuk ketertiban administrasi kependudukan secara umum. Itu boleh
dilakukan, tetapi tak usah dikaitkan dengan Lebaran, juga tidak usah diberi
istilah "operasi". Penertiban administrasi kependudukan merupakan
bagian dari tugas rutin jajaran Pemprov DKI.
Terkait kependudukan,
Pemprov sebaiknya fokus di peningkatan kualitas hidup, terutama terkait
dengan akses terhadap air minum layak, fasilitas sanitasi yang baik,
keamanan, dan penyediaan lapangan kerja layak bagi penduduknya. Yang tidak
boleh dilupakan adalah masalah kesenjangan antarpenduduk.
Jika tidak bisa
menurunkan kesenjangan, setidaknya Pemprov dapat menyusun langkah- langkah
untuk mengantisipasi dan mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh
tingginya kesenjangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar