Pemerintah (Keliru) Menolak Revisi UU KPK
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Unpad/Unpas
|
KORAN
SINDO, 23 Juni 2015
KPK dan Komisi III DPR RI telah sepakat untuk merevisi UU KPK.
Namun, kemudian rapat terbatas antara Presiden, petinggi penegak hukum,
termasuk KPK, membatalkan kesepakatan tersebut.
Menurut penulis, dari pengamatan perjalanan KPK Jilid I sampai
III, pemerintah telah keliru untuk menolak revisi UU KPK. Berdasarkan
pengamatan terhadap perkembangan gaya kepemimpinan KPK yang berbeda-beda,
kita harus mempertimbangkan masalah itu. Memang lima pimpinan KPK terpilih
melalui seleksi ketat, namun mereka manusia juga, bukan ”manusia setengah
malaikat” seperti sering kita dengar.
Bukti-bukti tentang ini telah cukup memprihatinkan seperti
kasus Antasari, kasus Bibit-Chandra, kasus Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto, serta kasus Novel Baswedan, salah satu pegawai KPK. Yang sangat
memprihatinkan adalah informasi dipercaya menyebutkan dan diakui ketua Plt
pimpinan KPK, penetapan 36 tersangka yang buktinya tidak memenuhi
sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai KUHAP.
Saat ini di KPK ada pemahaman keliru bahwa satu alat bukti
saja telah dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka. Ada pandangan cukup
dugaan atas LHA PPATK, pemilik LHA dengan harta yang signifikan dapat
ditetapkan sebagai tersangka; alat bukti lainnya dicari kemudian selama dalam
status tersangka.
LHA PPATK bukan alat bukti, melainkan bahan bukti material (material evidence) awal untuk
penetapan tersangka. LHA PPATK tidak bersifat pro-justitia dan masih harus
diperlukan alat bukti lainnya untuk memenuhi bukti permulaan yang cukup
sesuai KUHAP.
Dalam konteks perkembangan ini, Presiden dan Wakil Presiden
tampak berbeda pendapat. Perbedaan pendapat ini biasa, namun kesepakatan KPK
yang tidak mewakili pemerintah dan Komisi III DPR RI kemudian dianulir oleh
Presiden.
Keputusan hasil rapat terbatas Presiden dan petinggi hukum
termasuk KPK bukan salah, melainkan keliru dalam memahami perkembangan
situasi KPK baik internal maupun eksternal dan terlalu berlebihan menanggapi
jargon ”pelemahan KPK”.
Kekeliruan tersebut terjadi karena beberapa alasanalasan. Pertama,
tidak memahami sifat manusia yang lazim dikenal dengan adagium ”power tends to corrupt, absolute power
corrupt absolutely”. Kondisi ini telah mewujud di dalam implementasi UU
KPK karena memberikan kewenangan yang luar biasa kepada pimpinan KPK yang
sejak awal dimaksudkan untuk mengatasi hambatan-hambatan psikologis dan fisik
dalam penyidikan dan penuntutan tersangka korupsi.
Kedua, tidak dipahami bahwa ketentuan UU KPK mengenai
pengangkatan penyelidik dan penyidik telah menimbulkan multitafsir sehingga
terjadi putusan praperadilan yang sangat ”merugikan” wibawa KPK sebagai
lembaga superbodi dan memiliki fungsi trigger
mechanism.
Ketiga, pemahaman asas kolektif kolegial dalam pengambilan
keputusan oleh pimpinan KPK sering disalahartikan oleh pimpinan KPK Jilid III
dengan cukup disetujui satu atau dua orang pimpinan saja. Padahal diketahui
bahwa sejatinya ketentuan asas kolektif kolegial tersebut agar kelima
pimpinan KPK berhatihati dan cermat dalam mengambil keputusan karena tidak
diperbolehkan mengeluarkan SP3. Kenyataannya jauh berbeda dan telah jatuh
”korban” yang belum tentu bersalah.
Keempat, tidak dipahami keadaan sebenarnya mengenai praktik
penyadapan KPK. Berdasarkan hasil audit BPK atas kinerja KPK per tanggal 23
Desember 2013 (laporan hasil pemeriksaan Nomor 115/HP/ XIV/12/2013) yang
menegaskan bahwa, ”...proses evaluasi dan monitoring masih perlu ditingkatkan
khusus terkait eksaminasi penanganan TPK dan audit atas kegiatan lawful interception yang terakhir
dilaksanakan oleh Tim Pengawas pada tahun 2009”.
Sekalipun KPK telah meminta Kemenkominfo mengaudit penyadapan
pada tanggal 27 Maret 2012, tetapi tidak dapat dilaksanakan dengan alasan
putusan MKRI Nomor 5/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011 yang telah
membatalkan pembentukan Tim Pengawas.
KPK telah menerbitkan SOP-1/20/2012 tentang Prosedur Baku
Penyadapan Informasi yang Sah (Lawful
Interception), telah berlaku sejak tanggal 6 Januari 2013, akan tidak
berjalan efektif. Dalam laporan audit SPI KPK, BPK menyatakan bahwa, ”belum
optimalnya audit terhadap lawful
interception menyebabkan akuntabilitas proses interception yang dilakukan KPK belum sepenuhnya terpenuhi ”.
Atas dasar alasan ini, revisi ketentuan mengenai penyadapan perlu diperjelas
di dalam UU KPK.
Kelima, audit BPK tersebut juga telah menyatakan bahwa sistem
pengendalian internal KPK dalam pelaksanaan fungsi koordinasi dan supervisi
terhadap instansi yang berwenang tidak berjalan efektif.
Keenam, ketentuan mengenai ”kekosongan pimpinan KPK” dalam UU
KPK perlu diperjelas mengenai batas waktu pengisiannya sehingga tidak
menghambat efisiensi KPK.
Ketujuh, pemahaman mengenai pengertian lex specialis pada UU KPK telah keliru. Pengertian tersebut hanya
berlaku untuk kewenangan KPK yang luas dan menyimpang dari ketentuan KUHAP;
bukan terletak pada status penyelidik dan penyidik serta penuntut yang tetap
harus merujuk pada KUHAP sebagai ”umbrella
act ”.
Kedelapan, diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada
kekecualian dalam melaksanakan seluruh ketentuan dalam UU KPK termasuk dan
tidak terbatas pada hak pimpinan/pegawai KPK untuk mengajukan gugatan atau
tuntutan pidana.
Kesembilan, perlu ketentuan dalam revisi UU KPK mengenai
pertanggungjawaban pimpinan KPK atas kinerja dan keuangan KPK disertai sanksi
administratif dan sanksi pidana. Hal ini didasarkan pada laporan BPK atas
kinerja fungsi penyidikan dan keuangan KPK. Penerimaan uang rampasan (PNBP)
pada 2010 telah terlambat setor antara tujuh hari sampai 584 hari mencapai
nilai sebesar Rp137.390.086.477. Dalam kurun waktu 2005-2012, denda yang
belum terbayar sampai terpidana bebas bersyarat sebesar Rp4.450.000.000. PNBP
yang terlambat setor ke kas negara dan denda yang tidak terbayar tersebut
termasuk kerugian negara dengan total sebesar Rp 141.84.086.477. Tidak ada
sanksi pidana dan administratif terhadap pimpinan KPK terkait kerugian negara
tersebut.
Selain alasan-alasan tersebut, empat putusan praperadilan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah membatalkan penetapan tersangka
dan status penyelidik/penyidik pada KPK merupakan bukti KPK belum optimal
melaksanakan sistem pengendalian internal (SPI). Karena itu, revisi UU KPK
merupakan keperluan mendesak dan bersifat segera.
Tentu ada pendapat untuk mengabaikan putusan praperadilan
dengan alasan bukan yurisprudensi yang mengikat, tetapi berdasarkan UU Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pendapat tersebut bertentangan
dengan Pasal 17 ayat (2) huruf c tentang larangan bertindak sewenang-wenang
jo Pasal 18 ayat (3) yaitu tindakan pejabat yang dilakukan bertentangan
dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (b). Solusi satu-satunya
dan bersifat segera adalah revisi UU KPK sehingga pimpinan KPK Jilid IV tidak
akan mengalami masalah hukum yang sama di kemudian hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar