Senin, 22 Juni 2015

Rezeki

Rezeki

Samuel Mulia  ;   Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS, 21 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di bagian belakang sebuah truk tertulis kalimat yang membuat saya tersenyum kemudian berpikir keras. ”Tuhan berikan aku rezekimu. Cukup satu miliar saja.”

Tidak cukup

Cukup, adalah sebuah kata yang sudah lama sekali menjadi sebuah kata yang digaungkan ke gendang telinga oleh begitu banyak orang, ketika saya merasa tidak cukup dalam segala hal. Ketika saya ingin memiliki hal yang lebih dari yang sekarang saya miliki.

Waktu saya berpenghasilan dua ratus lima puluh ribu rupiah, dua puluh tujuh tahun lalu, saya berkeinginan memiliki penghasilan satu juta rupiah. Dengan berjalannya waktu, saya pindah kerja, saya memiliki upah dengan nilai yang lebih dari cita-cita itu. Tetapi itu tidaklah cukup. Demikian seterusnya.

Waktu upah saya masih rendah dan berkeinginan memiliki lebih, itu semua gara-gara saya tak tahan melihat orang lain bisa memiliki hidup yang berkelimpahan. Dapat membeli ini dan itu dengan mudahnya, berlibur dari utara ke selatan tanpa berpikir panjang. Saya hadir dalam acara-acara mereka yang serba mewah, di rumah tinggal yang saking luasnya yang membuat saya bisa kehilangan arah di rumah sendiri.

Bahkan minggu lalu saya berkunjung ke sebuah area di Jakarta dan menyaksikan rumah besar dan terbuka, yang garasinya saja lebih besar dari tempat tinggal saya dan memuat lima mobil mewah di dalamnya.

Tak jauh dari rumah itu terlihat kapal laut mewah, yang mampu menghanyutkan bayangan saya berlayar bersama teman-teman dengan nyaman, dan yang membuat saya berucap dengan suara lirih: ”Kapan ya Tuhan, saya bisa memiliki yang seperti ini.” Suara lirih itu telah membuat teman yang sedang menyetir berkomentar: ”Lo ngomong apa, bro?”

Sudah lama saya curhat dengan Yang Kuasa dalam doa-doa dengan kalimat yang persis seperti kalimat yang saya lihat dan baca di bagian belakang truk di atas. Tetapi kenyataannya setelah sekian belas tahun meminta, hasilnya belum kelihatan.

Rezeki yang diberikan masih belum cukup untuk membuat mata orang menjadi silau, bukan mata saya. Karena kekayaan yang menyilaukan mata orang lain itu mampu membuat mereka memberikan fasilitas lebih kepada saya, mampu membuat mereka menjadi teman yang belum tentu setia, tetapi bisa menjadi dayang-dayang yang saya setia setiap saat seperti deodoran.

Bersyukur

Setelah lama berdoa dan bekerja, dan cita-cita memiliki rezeki yang berlimpah ruah itu belum tercapai, maka kemudian saya berpikir untuk mengganti cara saya meminta dan curhat kepada Yang Mahakuasa. Kali ini meminta dengan alasan yang mulia.

Saya menjelaskan bahwa kalau saya ini hanya punya kekayaan yang hanya segini-segini saja, saya tak bisa membantu orang lain yang membutuhkan dan sejuta alasan mulia lainnya. Namun, doa sejenis itu yang sudah saya jalankan tiga tahun terakhir ini pun tetap tak mampu membuat buku tabungan kalau selesai dicetak memesona mata saya.

Maka seperti semua aktivitas yang saya lakukan yang telah mencapai titik yang optimal dan tak ada hasilnya, akan menurunkan semangat dan keinginan. Persis seperti setelah menenggak obat penurun panas. Dalam kondisi seperti itu, yang ada hanya ketidakinginan.

Bukan menerima keadaan. Bukan juga mengundang akal sehat untuk berpikir lebih rasional. Karena sampai hari ini saya tak bisa menerima. Saya tak bisa menerima bahwa kehidupan saya ini begini-begini saja, terutama soal kekayaan.

Dalam kondisi seperti itu banyak orang akan mulai menghakimi saya sebagai orang yang tak tahu diri. Biasanya mereka membuat perbandingan antara kekayaan saya dengan orang yang kurang dari apa yang saya miliki.

Atau mereka akan mengatakan kekayaan itu tak mampu membuat saya berbahagia. Saya tak tahu dari mana mereka bisa mengatakan itu, hanya karena melihat kondisi beberapa orang kaya raya yang kehidupannya berantakan. La wong saya juga punya teman yang bisa dikatakan sangat bersahaja saja, hidupnya juga tak kalah berantakannya.

Saya sendiri juga tak tahu apakah mereka yang menasihati itu hanya ingin terlihat seperti malaikat, padahal jauh di dalam hati, bisa jadi mereka juga ingin seperti apa yang saya cita-citakan.

”Sebagai manusia, merasa cukup itu enggak perlu. Itu enggak masuk akal. Manusia kok bisa disuruh merasa cukup. Yang perlu itu, terutama kamu, harus belajar bersyukur dan berhenti meminta. Orang yang bersyukur untuk hal kecil dan enggak minta-minta kayak elo, bakal makin dikasih. Bersyukur itu awal kekayaan, bukan meminta, tahu!”

Demikian suara dari nurani saya. Saya sungguh tak tahu apa teknik usulan nurani itu bisa tokcer. Tetapi itu perlu dicoba. Siapa tahu saya bisa kaya raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar