Presiden Vs Bangsa Konsumtif
Garin Nugroho ; Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 21 Juni 2015
Sebulan yang lalu
Presiden kita menyerukan kepada masyarakat untuk mengurangi sifat konsumtif
berbangsa dewasa ini. Seruan ini tentu saja menjadi sangat penting di tengah
gaya hidup konsumtif yang terasa menjadi kultur baru ketika bangsa Indonesia
dipenuhi paradoks ekonomi. Di satu sisi dipuji pertumbuhan ekonominya, di
sisi lain prasyarat daya hidup ekonomi dalam kegamangan terus-menerus, dari
produktivitas hingga daya tahan pangan maupun energi serta kualitas sumber
daya manusianya dibandingkan negara-negara ASEAN.
Perilaku konsumtif
berbangsa senantiasa berkait dengan daya hidup berbangsa di berbagai aspek.
Pertama, budaya konsumtif berlebihan mendorong hilangnya budaya menabung
untuk kehidupan masa depan hingga mencapai 30 persen. Kedua, budaya konsumtif
mendorong warga bangsa menjadi pasar dari sejumlah negara serta tidak lagi
menjadi produsen, simak 39 jenis hasil bumi yang diimpor (gula, tebu, beras,
kedelai, garam, dan lain-lain). Ketiga, budaya konsumtif mendorong tumbuhnya
karakter bangsa serba instan, melahirkan perilaku korupsi hingga karakter
serba vulgar memamerkan gaya hidup menumbuhkan perilaku kekerasan ketika
tidak mampu memenuhi gaya hidup tersebut.
Keempat, budaya
konsumtif mendorong runtuhnya kecintaan pada produk dalam negeri tertelan
dalam perlombaan memamerkan gaya hidup serba bertren global. Kelima, budaya
konsumtif berlebihan mendorong kualitas sumber daya manusia kehilangan esensi
profesionalisme dan jati dirinya, keseluruhan hidup berbangsa ditujukan
meraih gaya hidup kemasan.
Sebutlah, perspektif
pendidikan, politik, hingga agama menjadi bagian menuju gaya hidup serba
pameran dan kemasan, tetapi tidak lagi pada esensi menuju pada memanusiakan
manusia itu sendiri. Keenam, budaya konsumtif melahirkan politik uang serta
jabatan politik sebagai mata pencarian.
Namun, seruan Presiden
hanya menjadi seruan semata, sekiranya syarat-syarat mengurangi budaya
konsumtif tidak ditumbuhkan dalam ruang hidup sehari-hari. Salah satu yang
terpenting adalah bertumbuhnya ruang publik warga bangsa sebagai strategi
budaya mengolah sifat produktif kritis bangsa. Celakanya, ruang publik
sehari-hari telanjur menjadi ruang yang mendorong perilaku konsumtif.
Simak, mal-mal besar
dibangun tepat di depan perkampungan atau kompleks hunian, ditambah lagi
waralaba bertebaran masuk wilayah terpencil. Ditambah lagi, fasilitas publik
di sekitar mal sangatlah memudahkan warga bangsa mengakses. Simak,
tersedianya jembatan penyeberangan hingga kelokan jalan yang langsung efektif
masuk ke mal. Mal-mal tersebut menjadi goa besar konsumtif langsung di depan
mata penduduk. Dengan kata lain, mal-mal menjadi goa Aladin yang memberi
mimpi lampu emas ajaib bagi kenikmatan hidup.
Simak pula, wilayah
seputar kampus-kampus, sangatlah langka ruang produktif, yang muncul adalah
mal, waralaba, toko, warung hingga sampah visual iklan-iklan yang bertebaran.
Contoh lain prasayarat
memerangi budaya konsumtif adalah panduan gaya hidup elite politik.
Celakanya, pada aspek panduan karakter elite politik justru menjadi persoalan
terbesar. Simak, fasilitas dan gaya hidup anggota DPR yang terlalu sering
dibicarakan, tetapi tidak melahirkan rasa jera.
Catatan-catatan kecil
di atas menunjukkan, memerangi budaya konsumtif adalah menegakkan panduan
yang dibangun oleh elite politik sekaligus membangun dasar hidup warga berupa
ruang publik produktif, dari ruang olahraga, ruang keterampilan, ruang
relaksasi sehat hingga ruang informasi dan pelayanan publik yang terakses
untuk pertumbuhan masyarakat sipil yang sehat dan berkarakter.
Jika catatan kecil di
atas tidak diperhatikan, jangan heran, seruan presiden akan tergusur oleh
megahnya mal seperti layaknya ruang produktif lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar