Senin, 01 Juni 2015

Palsu

Palsu

Arswendo Atmowiloto  ;  Budayawan
KORAN JAKARTA, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Palsu, tidak selalu berarti menipu. Mungkin lebih dekat ke pengertian meniru. Misalnya yang berkaitan dengan anggota tubuh seperti: rambut palsu, gigi palsu, mata palsu, kaki palsu, atau orgasme palsu. Benda atau sikap palsu ini sengaja diciptakan, karena kesulitan mendapatkan yang asli. Palsu yang jahat dan merugikan yang berkaitan dengan penggunaan ijazah palsu, uang palsu, pengatur perkawinan palsu.

Sekarang yang serba palsu sedang marak diteriakkan. Segala hal bisa dipersoalkan karena dianggap palsu. Termasuk katanya ada beras palsu—atau beras plastik, atau beras sintesis, yang justru berakhir bahwa berita itu yang palsu.

Ada istilah lain yang dekat dengan kepalsuan dan tidak menjengkelkan, karena samasama mengetahui. Misalnya saja barang yang disebut KW, atau KW2, atau bahkan KW3. KW adalah istilah ucapan dari singkatan kualitas, namun maksud sebenarnya adalah justru tidak berkualitas. KW2 artinya kulitas jelek, kalah jauh dengan yang asli. KW3 lebih jauh lagi. Namun dalam pasar tertentu, untuk barang tertentu, hal ini seperti ini tidak dianggap jahat, tidak dianggap menipu. Barang-barang tiruan merek terkenal, merek yang branded, yang harganya mahal, dijual dengan lebih murah—atau murah sekali. Penjual dan pembeli sudah sama tahu ini bukan barang asli. Konon semua jenis merek terkenal ada tiruannya dan pasar di Hongkong dan Bangkok memanjakan barang jenis ini di pinggir jalan. Sebelum akhirnya menyebar ke seluruh penjuru, termasuk di sini. Kalau kemudian dianggap melanggar atau karenanya disita, lebih karena pemalsuan. Dan para pemilik merek terkenal yang merasa sangat dirugikan menggerakkan razia ini.

Yang merugikan, yang menjadi ancaman adalah kepalsuan yang menyangkut keselamatan atau kehormatan atau juga kepercayaan. Kasus ditemukan banyak ijazah palsu sesungguhnya menodai kepercayaan masyarakat luas atas prestasi seseorang. Konon pula pemilik ijazah palsu ini para elite negeri ini—dan menurun saya memang begitu. Mana ada pemulung atau opis-boi membeli ijazah palsu? Mereka ini, juga tukang ojek lebih memiliki kepercayaan diri. Untuk tidak berlindung di balik gelar tinggi dan titel mercu suar. Duluuu, pernah ada ribut nasional mengenai gelar begini. Yang dipersoalkan adalah gelar prof.

Yang dicantumkan di kartu nama, di iklan, di sebutan. Masalah menjadi berkepanjangan karena sang pemakai gelar prof menganggap itu penggunaan biasa. Bukan singkatan dari profesor, melainkan dari kata profesional. Kasusnya sempat masuk ranah hukum dan sidang di pengadilan diliput besar- besaran. Agaknya mental feodalisme masih menempel dalam ingatan di samping rasa kurang percaya diri. Yang merugikan dan jelas berbahaya adalah dokter “kecantikan” palsu yang ternyata banyak juga pasien yang menderita karenanya.

Kadang terpikir kenapa ini bisa terjadi, kenapa dokter yang bukan dokter—dan tidak mengaku sebagai dokter sekalipun, masih juga ada yang mempercayakan diri padanya dengan membayar. Agaknya mental mudah percaya dan mudah dikibuli masih menempel dalam kesadaran. Hal yang sama ketika datang ke dukun yang akan menyelesaikan semua masalah, atau kepincut iklan meninggikan badan, misalnya. Atau berbagai obat yang tidak jelas referensinya.

Para penipu masih terus berkeliaran mencari mangsa, dan mereka yang kurang informasi, kurang akses, tetap saja menjadi korban. Maka segala bentuk informasi harus dibukakan secara massal untuk jenis pemasaran kepalsuankepalsuan seperti ini dan juga variannya yang baru. Termasuk membuka kedok, kencanan dan atau rayuan palsu lewat media sosial. Saya punya pengalaman tentang kepalsuan ini. Suatu ketika di jalan, ada pengendara motor mengetuk jendela mobil. “Pak saya mau ke Pancoran, bensin habis, minta bantuan.”

Saya masih ragu dan berpikir kasihan sekali orang ini, tapi sopir saya mengatakan itu sudah biasa. Saya menceritakan ini untuk berbagi hati-hati, karena inilah langkah awal menangkal kepalsuan jenis tipu-tipu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar