Palsu
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN JAKARTA, 30 Mei 2015
Palsu, tidak selalu
berarti menipu. Mungkin lebih dekat ke pengertian meniru. Misalnya yang
berkaitan dengan anggota tubuh seperti: rambut palsu, gigi palsu, mata palsu,
kaki palsu, atau orgasme palsu. Benda atau sikap palsu ini sengaja
diciptakan, karena kesulitan mendapatkan yang asli. Palsu yang jahat dan
merugikan yang berkaitan dengan penggunaan ijazah palsu, uang palsu, pengatur
perkawinan palsu.
Sekarang yang serba
palsu sedang marak diteriakkan. Segala hal bisa dipersoalkan karena dianggap
palsu. Termasuk katanya ada beras palsu—atau beras plastik, atau beras
sintesis, yang justru berakhir bahwa berita itu yang palsu.
Ada istilah lain yang
dekat dengan kepalsuan dan tidak menjengkelkan, karena samasama mengetahui.
Misalnya saja barang yang disebut KW, atau KW2, atau bahkan KW3. KW adalah
istilah ucapan dari singkatan kualitas, namun maksud sebenarnya adalah justru
tidak berkualitas. KW2 artinya kulitas jelek, kalah jauh dengan yang asli.
KW3 lebih jauh lagi. Namun dalam pasar tertentu, untuk barang tertentu, hal
ini seperti ini tidak dianggap jahat, tidak dianggap menipu. Barang-barang
tiruan merek terkenal, merek yang branded, yang harganya mahal, dijual dengan
lebih murah—atau murah sekali. Penjual dan pembeli sudah sama tahu ini bukan
barang asli. Konon semua jenis merek terkenal ada tiruannya dan pasar di
Hongkong dan Bangkok memanjakan barang jenis ini di pinggir jalan. Sebelum
akhirnya menyebar ke seluruh penjuru, termasuk di sini. Kalau kemudian
dianggap melanggar atau karenanya disita, lebih karena pemalsuan. Dan para
pemilik merek terkenal yang merasa sangat dirugikan menggerakkan razia ini.
Yang merugikan, yang
menjadi ancaman adalah kepalsuan yang menyangkut keselamatan atau kehormatan
atau juga kepercayaan. Kasus ditemukan banyak ijazah palsu sesungguhnya
menodai kepercayaan masyarakat luas atas prestasi seseorang. Konon pula
pemilik ijazah palsu ini para elite negeri ini—dan menurun saya memang
begitu. Mana ada pemulung atau opis-boi membeli ijazah palsu? Mereka ini,
juga tukang ojek lebih memiliki kepercayaan diri. Untuk tidak berlindung di
balik gelar tinggi dan titel mercu suar. Duluuu, pernah ada ribut nasional
mengenai gelar begini. Yang dipersoalkan adalah gelar prof.
Yang dicantumkan di
kartu nama, di iklan, di sebutan. Masalah menjadi berkepanjangan karena sang
pemakai gelar prof menganggap itu penggunaan biasa. Bukan singkatan dari
profesor, melainkan dari kata profesional. Kasusnya sempat masuk ranah hukum
dan sidang di pengadilan diliput besar- besaran. Agaknya mental feodalisme
masih menempel dalam ingatan di samping rasa kurang percaya diri. Yang
merugikan dan jelas berbahaya adalah dokter “kecantikan” palsu yang ternyata
banyak juga pasien yang menderita karenanya.
Kadang terpikir kenapa
ini bisa terjadi, kenapa dokter yang bukan dokter—dan tidak mengaku sebagai
dokter sekalipun, masih juga ada yang mempercayakan diri padanya dengan
membayar. Agaknya mental mudah percaya dan mudah dikibuli masih menempel
dalam kesadaran. Hal yang sama ketika datang ke dukun yang akan menyelesaikan
semua masalah, atau kepincut iklan meninggikan badan, misalnya. Atau berbagai
obat yang tidak jelas referensinya.
Para penipu masih
terus berkeliaran mencari mangsa, dan mereka yang kurang informasi, kurang
akses, tetap saja menjadi korban. Maka segala bentuk informasi harus
dibukakan secara massal untuk jenis pemasaran kepalsuankepalsuan seperti ini
dan juga variannya yang baru. Termasuk membuka kedok, kencanan dan atau rayuan
palsu lewat media sosial. Saya punya pengalaman tentang kepalsuan ini. Suatu
ketika di jalan, ada pengendara motor mengetuk jendela mobil. “Pak saya mau
ke Pancoran, bensin habis, minta bantuan.”
Saya masih ragu dan
berpikir kasihan sekali orang ini, tapi sopir saya mengatakan itu sudah
biasa. Saya menceritakan ini untuk berbagi hati-hati, karena inilah langkah
awal menangkal kepalsuan jenis tipu-tipu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar