Selasa, 23 Juni 2015

Melampaui Dana Aspirasi

Melampaui Dana Aspirasi

Paulinus Yan Olla  ;   Rohaniwan; Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di SpiritualitÀ Teresianum, Roma;
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang
KOMPAS, 22 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Wacana tentang dana aspirasi kembali menjadi buah bibir masyarakat. Usulan program pembangunan daerah pemilihan Rp 15 miliar-Rp 20 miliar per anggota DPR dipertanyakan efektivitas dan manfaatnya bagi rakyat. Alih-alih mewujudkan kesejahteraan rakyat, banyak kalangan melihatnya sebagai pemicu korupsi baru wakil rakyat (Kompas, 16/6/2015).

Menyerap aspirasi sejatinya merupakan kerja batin. Para wakil rakyat seharusnya lebih banyak menjalin batin dengan rakyat untuk memahami kenyataan hidup rakyat.

Meminjam ide teolog dan pembela rakyat miskin, Jon Sobrino, langkah awal yang harus ditempuh dalam memperjuangkan mereka yang terlupakan (baca: rakyat miskin) adalah "kejujuran terhadap kenyataan" (Jon Sobrino, 1988). Maksudnya adalah perjumpaan para pembela kaum kecil dengan penderitaan, keputusasaan, dan "kematian" konkret yang dialami rakyat.

Maka, titik tolak perjuangan para wakil rakyat dalam menyerap kebutuhan dasar rakyat bukanlah dana, melainkan suatu kerja rohani untuk mencerna segala yang membelenggu hidup rakyat dan memperjuangkan solusinya lewat lembaga eksekutif.

Sebelum sebuah aspirasi menjadi keputusan publik, akar aspirasi dibangun dari empati wakil rakyat pada penderitaan, kegelapan, dan kegelisahan hidup keseharian rakyat biasa. Empati itu selanjutnya mendorong pertobatan intelektual dan komitmen untuk membela kepentingan rakyat (Todd Walatka, 2013).

Maka, transformasi realitas rakyat pertama-tama lahir dari pertobatan intelektual wakil rakyat karena dari dalam batinnya mereka memperjuangkan apa yang mereka alami bersama rakyat. Di sana ada solidaritas sosial- religius. Pertobatan intelektual itu berbasis pengalaman ikut merasa tersakiti oleh realitas yang mendesak rakyat kecil ke tepi kemiskinan. Mereka tersentuh kesalahan putusan-putusan yang tidak memihak rakyat.

Aspirasi rakyat yang akhirnya diusung para wakil rakyat jauh melampaui sekadar urusan dana dan lebih merupakan perjuangan "kemartiran": mengadakan transformasi melalui fungsi- fungsi pokok parlemen. Aspirasi itu diperjuangkan menjadi keputusan publik tanpa menjadikan wakil rakyat sinterklas (baca: tukang bagi hadiah). Ia mengalir dari dalam batin wakil rakyat sebagai sebuah pengambilan posisi politik radikal berpihak pada rakyat yang menjadi korban.

Para wakil rakyat seharusnya mengambil jalan transformasi kenyataan melalui pengawasan agar anggaran pembangunan memihak seluruh rakyat di negeri ini, bukan hanya kepentingan sektarian kedaerahan. Perubahan bisa dilakukan melalui produksi legislasi yang memberikan rasa adil kepada rakyat kecil. Yang paling esensial, aspirasi rakyat diperjuangkan wakil rakyat dengan tidak ikut ambil bagian dalam membunuh harapan-harapan rakyat melalui korupsi.

Salah satu kekhawatiran utama dalam jebakan dana aspirasi adalah bakal makin jauhnya disparitas antardaerah dan rusaknya dana perimbangan melalui penggelontoran dana aspirasi. DPR yang seharusnya menjadi representasi kepentingan nasional digiring hanya menjadi corong pembangunan di daerah pemilihannya (Kompas, 16/6/2015).

 Kekhawatiran di atas sangat beralasan karena negeri ini masih tertatih mendefinisikan diri dalam menyeimbangkan antara prinsip-prinsip "otonomi" dan prinsip "subsidiaritas"  dalam kerangka negara kesatuan RI.

Prinsip otonomi

Dalam prinsip otonomi, instansi yang lebih rendah (baca: pemerintahan daerah) diberi keleluasaan mengurus diri sendiri. Sedangkan hakikat prinsip subsidiaritas adalah pengendalian diri instansi yang lebih tinggi (baca: pemerintahan pusat) untuk tidak mengambil alih tanggung jawab instansi yang lebih rendah. Namun, institusi yang lebih tinggi bertanggung jawab menolong instansi yang lebih rendah mencapai kemandirian.

Kegagalan menyeimbangkan prinsip-prinsip sosial dalam tata kelola pemerintahan memicu munculnya peraturan daerah yang bertentangan dengan UUD 1945 dan kepala daerah yang bertindak seakan raja-raja kecil.

Otonomi yang dimaksudkan bisa memberi diskresi untuk menyejahterakan daerah, dalam perjalanannya dibajak dan disalahgunakan elite politik yang mengusung sektarian kedaerahan untuk keuntungan pribadi.

Selain kekhawatiran di atas, lama dicatat pula, parlemen, terutama DPRD, merupakan lembaga dengan indikator kinerja paling buruk (Ignas Kleden, 2014). Maka. di tingkat nasional, banyak pihak mengusulkan agar DPR sebaiknya meningkatkan kinerja dengan memaksimalkan fungsi-fungsi pokok dibandingkan memboroskan energi mengurus dana aspirasi. Kenyataannya, banyak negara maju dicekam jebakan fiskal utang yang membengkak dan Indonesia menghadapi mislokasi fiskal akut. Dana aspirasi dikhawatirkan melanggengkan mislokasi fiskal itu dan aspirasi DPR memperjuangkan kesejahteraan rakyat malahan makin sulit terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar