Reformasi Penyiaran Jilid Kedua
R Kristiawan ; Manajer Program Yayasan Tifa Jakarta;
Anggota
Tim Lobi Masyarakat Sipil untuk Prolegnas Penyiaran 2015
|
KOMPAS, 23 Juni 2015
Senada dengan Nawacita
yang mendorong reformasi penyiaran, Program Legislasi Nasional 2015 juga
memutuskan akan merevisi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) ini jadi sangat strategis untuk masa depan kualitas
penyiaran kita. Alasannya sederhana. Sejak reformasi penyiaran lewat UU No
32/2002, banyak hal membuktikan reformasi itu telah gagal dalam mengemban
fungsi penyiaran sebagai alat pendorong kepentingan publik.
Beberapa kegagalan
penting yang patut dicatat, misalnya, tidak berjalannya rencana stasiun
berjaringan, konsentrasi kepemilikan penyiaran swasta, tata kelola lembaga
penyiaran publik, instrumentalisasi penyiaran swasta sebagai alat politik,
serta pengingkaran frekuensi sebagai benda publik. Kegagalan itu bukan baru
disadari. DPR periode 2009-2014 sudah berniat merevisi UU Penyiaran.
Substansi dokumen revisi versi DPR sebenarnya bagus, tetapi segera dihadang
oleh Daftar Isian Masalah versi pemerintah yang jumlahnya ratusan. Revisi itu
akhirnya tidak terjadi sampai periode pemerintahan berakhir pada 2014.
Empat isu pokok
Setidaknya ada empat
isu pokok yang harus dikelola Prolegnas kali ini.Pertama, lembaga penyiaran
publik. Prolegnas ini akan memisahkan regulasi penyiaran dan regulasi
penyiaran publik yang mengatur TVRI dan RRI. Pemisahan ini sudah tepat karena
dengan penyatuan dalam satu regulasi seperti sekarang, lembaga penyiaran
publik terutama TVRI belum mampu
menjadi lembaga penyiaran publik yang independen, universal, dan melayani
fungsi kewarganegaraan. TVRI masih dihantui oleh tata kelola yang tidak
akuntabel serta cenderung melayani kepentingan tertentu. Pengaturan lembaga
penyiaran publik dalam UU khusus diharapkan mampu mengatur lembaga penyiaran
publik sampai pada level manajerial yang tidak diatur dalam UU Penyiaran
sekarang.
Kedua, sistem siaran
berjaringan dan kepemilikan. Kegagalan terpenting dalam tata kelola penyiaran
swasta sampai saat ini adalah tidak mampunya penyiaran swasta beroperasi
dalam konteks keindonesiaan yang berwilayah luas dengan keragaman yang sangat
tinggi. Konteks itu sebenarnya sudah diantisipasi UU Penyiaran lewat mandat
sistem siaran berjaringan (SSJ). SSJ pada intinya meniadakan sistem penyiaran
monolitik nasional.
SSJ mewajibkan stasiun
swasta yang akan memperluas wilayah siarannya bekerja sama dengan stasiun
siaran di provinsi lain. Ini penting untuk mengakomodasi keragaman ekspresi
kultural lokal serta mendorong
desentralisasi ekonomi. Mandat ini gagal dilaksanakan. Penyiaran swasta hadir
sebagai entitas yang oligarkis dengan struktur kepemilikan yang terpusat dan
bias Jakarta. Struktur kepemilikan ini beririsan kuat dengan politik yang
memuncak pada Pilpres 2014, di mana televisi swasta bertingkah sebagai
instrumen politik. Faktor SSJ dan kepemilikan ini akan menjadi tantangan
terbesar dalam Prolegnas kali ini karena menyangkut risiko divestasi bagi
industri penyiaran.
Ketiga, digitalisasi.
Digitalisasi penyiaran terestrial belum diakomodasi dalam UU Penyiaran No
32/2002. Yang mengherankan, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul
Sembiring mengeluarkan Permen No 22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free to air).
Permen ini kemudian dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada Oktober 2013.
Anehnya, Kemenkominfo
kemudian menerbitkan Permen No 32/2013
tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran
Multipleksing Melalui Sistem Terestrial yang senada dengan Permen No 22/2011
yang dibatalkan MA. Masalah utama Permen 32/2013 adalah memberikan hak
pengelolaan multipleks kepada penyelenggara siaran analog sehingga
melanggengkan oligarki kepemilikan penyiaran swasta.
Asosiasi Televisi
Berjaringan Indonesia lalu meminta MA untuk menggugurkan Permen No 32/2013.
Pada 11 Desember 2014, MA kemudian menyatakan bahwa Permen 32/2013 batal demi
hukum karena isinya sama dengan Permen No 22/2011.
Ada sebagian kalangan
yang meragukan bahwa digitalisasi tidak bisa mendukung SSJ. Pendapat ini
perlu diluruskan.
Digitalisasi adalah
perkembangan teknologi yang mampu meningkatkan kualitas audiovisual televisi
serta mampu meningkatkan jumlah kanal dan frekuensi. Digitalisasi tetap bisa
mendukung SSJ dengan tetap memegang prinsip keragaman kepemilikan lewat
keadilan dalam pemberian izin kepada pengelola multipleks.
Tidak bisa dihindari
lagi, Prolegnas Penyiaran 2015 harus mampu mengatur digitalisasi untuk semua
jenis penyiaran karena teknologi ini selain lebih baik secara teknis juga
potensial mendorong keragaman kepemilikan. Regulasi yang lalu terbukti telah
membelokkan digitalisasi untuk tujuan yang tidak demokratis. Dengan demikian,
perubahan cara pandang secara mendasar oleh regulator, terutama Kemenkominfo,
sangat diperlukan dalam pengaturan penyiaran digital terestrial tersebut.
Keempat, regulator
independen. Salah satu kegagalan penting reformasi penyiaran tahun 2002
adalah pelemahan KPI sebagai regulator independen melalui judicial review
tahun 2005 dan PP 50/2005. Saat ini sedang ada wacana mereformulasi
organisasi regulator independen dengan salah satu pilihan organisasi
terpusat, seperti Federal Communication
Commmission. Apa pun bentuk yang dipilih, prinsip yang harus dikedepankan
adalah eksistensi regulator tak sekadar pemantau isi siaran, tetapi juga
berwenang pada proses perizinan.
Dibandingkan reformasi
pers tahun 1999 yang relatif mampu melahirkan sistem pers yang sesuai standar
demokrasi, reformasi penyiaran tahun 2002 sampai kini belum mampu melahirkan
sistem penyiaran demokratis sesuai kehendak publik. Dalam beberapa hal,
penyiaran justru mengancam kualitas demokrasi itu sendiri dan sekadar alat
kekuasaan ekonomi politik. Walaupun dalam beberapa isu harus mengulang
reformasi penyiaran 2002, Indonesia masih membutuhkan reformasi penyiaran
jilid kedua lewat Prolegnas 2015 untuk menciptakan penyiaran yang benar-benar
demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar