Selasa, 02 September 2014

Strategi Kebudayaan dan Revolusi Mental

Strategi Kebudayaan dan Revolusi Mental

Haidar Bagir  Pendidik,
Pengajar Filsafat dan Mistisisme di ICAS-Paramadina, Jakarta
KOMPAS, 02 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SAYA ingat persis, ketika masih mahasiswa pada akhir tahun 1970-an, kami biasa dengan bangga membawa ke sana kemari dan membaca buku Strategi Kebudayaan karya Van Peursen yang diterjemahkan  Dick Hartoko.
Entah siapa yang mulai, pada sekitar tahun 1978 itu kritik mahasiswa terhadap rezim Orba yang bersifat developmentalist  dan teknokratis diwarnai oleh concern tentang absennya strategi kebudayaan yang matang. Pada masa itu ada cukup banyak intelektual yang melahirkan wacana-wacana strategis seperti ini, termasuk Emil Salim dan Soedjatmoko yang bahkan adalah bagian dari birokrasi.

Sayangnya, justru ketika kemudian terjadi reformasi—tak kurang dari 20 tahun kemudian—  wacana strategis ini seperti hilang. Tentu Departemen/ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih ada. Bahkan, saat ini sedang ramai diperdebatkan tentang RUU Kebudayaan. Namun, saya khawatir pembahasan tak akan bersifat cukup fundamental sehingga benar-benar menjadi panduan yang efektif sekaligus membimbing ke jalan yang benar dalam upaya pengembangan kebudayaan kita. Khususnya di tengah-tengah persaingan berbagai budaya, mungkin lebih tepat disebut ideologi dan paham, bahkan hegemoni oleh negara-negara dan bangsa-bangsa kuat dan ”maju” seperti sekarang ini.

Spritualisme-panteisme

Kekhawatiran seperti ini tidak perlu mencuat andaikan kita tak yakin bahwa Indonesia memiliki warisan kebudayaan dan pemikiran budaya yang unggul, dan bahwa ada tanda-tanda kebudayaan hegemonik yang menerpa semua bangsa—tak terkecuali bangsa Indonesia—tak sepenuhnya berada di rel yang benar. Termasuk di dalamnya kecenderungan pada materialisme eksesif (crass materialism) dan individualisme serta terdesaknya spiritualisme yang tak jarang melahirkan alienasi sosiologis dan psikologis yang fatal.

Dengan berpikir demikian, tentu saja kita tak sedang berpikir tentang suatu kebudayaan chauvinistik dalam isolasi. Justru sebaliknya, meyakini kewajiban kita dalam berkontribusi terhadap peradaban dan kedamaian dunia dengan menawarkan sumber alternatif pembentukan kebudayaan sesuai kekayaan khazanah kebudayaan kita dan keyakinan kita padanya.

Rasanya hampir-hampir  seperti menikmati  buku-buku silat yang penuh petualangan dan romantis setiap saya membaca hal-hal yang terkait ”Polemik Kebudayaan” di antara berbagai pemikir dan pujangga Indonesia yang berlangsung pada 1930-an itu. Tentu saja termasuk kompetisi dalam menjajakan kebudayaan asli Nusantara yang berorientasi harmoni (keselarasan) dan tawaran untuk mengakomodasi kebudayaan Barat yang didominasi gagasan tentang progress.

Orang tak bisa lupa pada konflik terkait tawaran ikon-budaya Arjuna yang penuh kelembutan dan kehati-hatian dalam bertindak. Juga Faust yang bahkan bersedia menjual jiwanya kepada setan demi mendapatkan ilmu pengetahuan dan kenikmatan duniawi yang tak terbatas.

Kita tak bisa lupa pada Sutan Takdir Alisjahbana muda pada saat itu. Ia begitu menggebu-gebu menjajakan gagasan progresif Barat, hingga terkesan bersifat at all cost karena kekhawatiran bahwa apa yang disebut sebagai budaya asli Nusantara yang eksesif akan terus menjadikan bangsa Indonesia tertinggal karena kalahnya rasionalisme dan naturalisme oleh mitos dan superstisi. Maka, menarik membaca karya Alisjahbana yang lebih matang, berjudul Indonesia: Social and Cultural Revolution (terjemahan Ben Anderson, terbitan Oxford University Press, 1966). Di dalamnya, pujangga ini telah siap menawarkan semacam sintesis di antara keduanya.

Dalam buku ini Alisjahbana secara lebih telaten mengupas budaya Nusantara, yang ia sebut memiliki tiga lapisan. Pertama, lapisan budaya asli Indonesia yang lebih kurang masih primitif. Kedua, lapisan budaya Hindu (India) yang telah diwarnai oleh budaya literasi. Ketiga, lapisan budaya Islam yang telah membawa bersamanya rasionalisme keagamaan dan ilmu pengetahuan.

Yang mungkin agak lepas dari perhatian Alisjahbana adalah bahwa budaya Islam mayoritas bangsa Indonesia sesungguhnya tidak semodernis itu. Ia masih banyak dikuasai oleh spiritualisme, bahkan panteisme (monistik) yang menekankan kebersatuan manusia dengan alam selebihnya dan Tuhan, sebagaimana yang dominan dalam lapisan pertama dan kedua. (Kebudayaan Kekristenan yang datang belakangan, meski dibawa ke negeri kita bersama bangsa Barat, tetap saja seperti agama-agama yang lain: kental spiritualisme.)

Tanpa mengabaikan budaya rasionalistik dan keilmuan, yang dalam terminologi Peursen disebut sebagai melampaui tahap ontologis menuju fungsional, sesungguhnya spiritualisme panteistik —yang berorientasi pada etika dan keselarasan alam—semesta (tahap mistis) inilah yang menjadi kekuatan budaya Nusantara.

Budaya kemanusiaan

Ketiga tahap kebudayaan ala Van Peursen itu tak boleh dilihat sebagai perkembangan yang saling mengeksklusi. Apalagi bersifat historis belaka, melainkan sebagai tiga unsur yang tak pernah kehilangan relevansinya dalam membentuk setiap kebudayaan.  Ini penting bukan saja agar kita dapat  tetap memiliki kuda-kuda yang kuat dalam ”menyaring” terpaan hegemoni budaya yang eksesif, juga demi memiliki bekal indigenous yang dapat dikontribusikan pada pembentukan budaya kemanusiaan.

Sudah waktunya seluruh komponen bangsa duduk dan berpikir bersama untuk merumuskan kembali arah kebudayaan negeri ini. Karena dalam kebudayaan inilah strategi pendidikan, keagamaan, sosial, politik, bahkan ekonomi kita harus didasarkan. Dan dalam strategi ini juga revolusi mental yang didengung-dengungkan belakangan ini harus ditegakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar