Membangun
Integritas
Bambang Widjojanto ; Komisioner KPK
|
KOMPAS,
02 September 2014
JIKA
tak ada aral melintang, Oktober kelak, presiden ketujuh Indonesia akan
dilantik. Secara de jure,
pelantikan itu akan menjadi penanda bekerjanya pemerintahan baru. Tantangan
konkret pemerintahan ke depan, memaknai dan memastikan agar ”Tridaulat”,
yaitu daulat rakyat, daulat hukum, dan daulat kemanusiaan yang tersebut dalam
konstitusi, diwujudkan secara material dan substantif.
Ketika
Proklamasi Kemerdekaan dideklarasikan, 69 tahun lalu, kita telah berikrar
untuk membentuk suatu pemerintahan baru yang mewujudkan kesejahteraan umum
dan keadilan sosial. Nyatanya, kini, kita baru akan menyelesaikan ”Peta
Indonesia yang utuh dan satu”. Bahkan, hak-hak sosial, budaya, hukum, dan
kemanusiaan dari seluruh rakyat sebagiannya masih diingkari dan belum
sepenuhnya dilaksanakan.
Awal
Orde Reformasi yang terjadi 15 tahun lalu adalah salah satu moment of the truth. Rakyat bersatu
padu melakukan dekonstruksi dan delegitimasi kekuasaan pemerintahan Orde Baru
yang secara sistematis dan terstruktur selama tiga dekade mengingkari
”Tridaulat” dan sekaligus merampas hak dasar rakyat. Pada era Orde Baru,
korupsi merajalela dan mencapai puncak kejayaannya dan nyaris tak ada kasus
korupsi yang bersifat big fishes
dari penyelenggaraan negara dapat dibawa ke peradilan.
Modal sosial
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah salah satu lembaga tinggi negara yang
dilahirkan dan menjalankan mandat konstitusionalitas Orde Reformasi. Kendati
baru berusia 10 tahun, sudah lebih dari 400 kasus korupsi yang menyangkut high-ranking officials dibawa KPK ke
peradilan dan para koruptor yang terlibat di dalamnya telah dinyatakan
bersalah dan dihukum oleh pengadilan. Persoalannya, pendekatan represif yang
berhasil memenjarakan begitu banyak koruptor tidak berarti akar permasalahan
dan penyebab utama korupsi sudah dapat dikendalikan dan ditaklukkan serta
menimbulkan efek jera (deterrent).
Pertanyaan
dasar yang harus diajukan, sejauh mana kelak presiden Joko Widodo (Jokowi)
dan wakil presiden Jusuf Kalla (JK) mampu menciptakan moment of the truth kedua untuk memastikan agar three in one korupsi, berupa korupsi
konstitusi, demokrasi, dan politik, dapat dikendalikan dan diminimalkan. Pada
situasi itu, rakyat akan bersatu padu dan berupaya mengendalikan potensi
penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan. Hal ini dimaksudkan juga agar
”Tridaulat” dapat dilaksanakan secara utuh, paripurna, dan material sehingga
kesejahteraan umum dan keadilan sosial dapat segera diwujudkan.
Ada
modal sosial dan beragam program strategis yang dapat dikapitalisasi untuk
menaklukkan korupsi dan membangun integritas guna mengakselerasi pencapaian
tujuan dan amanah konstitusi.
Pertama,
Jokowi-JK harus menunjukkan sifat dan level kepemimpinan yang berbeda dengan
para presiden pendahulunya. Tidak cukup hanya bersikap sederhana dan
merakyat, tetapi juga harus berperilaku zuhud dan juga mendeliberasi
asal-usul kekayaan serta bersedia mengumumkan aset dan kekayaannya kepada
ruang publik secara transparan serta akuntabel. Mereka juga bersedia untuk
dirampas harta kekayaannya apabila ditemukan aset yang tidak pernah
dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKN) serta
menjelaskan pembayaran pajak tahunannya. Kesediaan bersikap sebagaimana
tuntutan di atas akan menjadi modal sosial sebagai pemimpin yang patut
diteladani dan menjadi raw model
keteladanan.
Kedua,
meningkatnya ”kerelawanan sosial” untuk terlibat dalam proses Pemilihan Umum
Presiden 2014 adalah sesuatu yang khas dan menarik. Keadaan seperti ini
adalah modal sosial yang otentik serta seyogianya bisa dikonsolidasikan dan
dikapitalisasi agar dapat menjadi energi sosial yang kelak diintegrasikan dan
disinergikan sebagai bagian dari partisipasi publik dalam mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial. Aktivisme sosial dari kalangan
”Gen-Z”—generasi digital, generasi multimedia—yang sangat familiar dengan
dunia virtual, media sosial, dan gadget mengindikasikan bahwa mereka memiliki
smart power untuk mengonsolidasikan
keberpihakan terhadap nilai serta sistem yang anti korupsi dan kolusi.
Ketiga,
Jokowi-JK harus dapat melakukan tiga hal secara simultan pasca pelantikan
sebagai presiden dan wakil presiden untuk memberikan sinyal yang jelas,
digunakannya momentum kepemimpinannya sebagai awal perubahan yang
fundamental. Ketiga hal dimaksud, yaitu (1) mendapatkan orang terbaik sebagai
pembantunya untuk menunjukkan keseriusan dalam pemberantasan korupsi utuh dan
menyeluruh; (2) mempunyai program quick wins dan jangka selanjutnya yang
berpihak pada kemaslahatan dan percepatan pencapaian kesejahteraan sosial;
dan (3) mendelegitimasi sistem birokrasi yang mempunyai sifat dan karakter
koruptif, kolusif, dan nepotistik.
Keempat,
Jokowi-JK harus memiliki program sistem integritas nasional (SIN) dan
membangun fraud control system untuk memastikan reformasi birokrasinya
dilaksanakan agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan. Rendahnya integritas
individu, institusi, dan masyarakat menjadi salah satu penyebab utama terjadi
korupsi. Pembangunan integritas institusi ini akan meningkatkan kepercayaan,
keyakinan, dan kualitas pelayanan suatu organisasi. Tentu saja, perbaikan
sistem agar tidak koruptif dan kolusif menjadi bagian tidak terpisahkan dan
satu kesatuan dengan pembangunan integritas.
KPK
telah mengembangkan konsep SIN Indonesia dengan perspektif anti korupsi yang
memuat prinsip, pendekatan dan strategi, serta setidaknya ada sekitar 19
program strategis. Dokumen finalnya sudah diserahkan ke pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Kini, KPK tengah mengujicobakan tes integritas dan membangun indeks
integritas di kalangan internalnya.
Momen terbaik
Kelima,
pembangunan budaya anti korupsi berbasis keluarga harus mulai dilakukan dan
dijadikan mainstreaming dalam program dan strategi pemberantasan korupsi
pemerintah. Fakta menegaskan, korupsi kini dilakukan bersama antara ayah dan
anak, suami bersama istri, serta adik dan kakak sehingga muncul kosa kata
”korupsi dinasti”. Fakta lain menegaskan, konsep jujur diinterpretasi berbeda
di antara para anggota keluarga serta dimaknai berbeda antara keluarga satu
dan lainnya.
Kini
orangtua tidak lagi menjadi pusat preferensi nilai oleh anak baru gede di
sebagian kota besar. Bahkan, kita dikepung screen culture yang melakukan penanaman nilai jauh lebih masif
dan sistematis ketimbang institusi sekolah atau keluarga. Pada konteks ini,
KPK sedang melakukan program piloting
untuk membangun budaya korupsi berbasis keluarga di Yogyakarta dengan kota
kontrol di Solo.
Inilah
momen terbaik untuk mewujudkan imagine nation bahwa Indonesia yang bebas dan
bersih dari korupsi bukanlah sekadar mimpi. Hal itu karena kita punya peta
jalan, strategi dan program, serta tekad, itikad, dan kepemimpinan yang kuat
untuk menaklukkan korupsi dan membangun integritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar